Ciri Seorang Mukmin: Menjauhi Sifat Wahn

Oleh: Dr. Muhammad Iqbal Irham, M.Ag.

Dalam Alquran, Allah menunjukkan beberapa sifat atau ciri orang beriman sehingga mereka dikenal dengan sifat atau ciri tersebut. Tulisan ini akan menjelaskan salah satu sifat atau ciri tersebut sesuai dengan petunjuk Alquran, kemudian akan diberikan penjelasan sehingga semakin mudah untuk dipahami. Sifat atau ciri tersebut adalah mampu menghindari sifat wahn.

Mari kita perhatikan ayat berikut ini yang terdapat dalam Qs. Ali Imran, 3: 139.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.

Ayat ini sebenarnya sebuah bentuk larangan bagi orang yang beriman. Artinya, Allah melarang orang beriman melakukan atau memiliki sifat wahn yang disebut dalam ayat. Pada pertengahan ayat ini, Allah menjelaskan kelebihan dan keutamaan orang beriman dibandingkan kelompok lainnya, dengan kalimat antumul a’launa… Kamu orang yang paling tinggi (derajatnya) …”. Kata a’launa dalam ayat ini adalah bentuk jamak (plural) dari a’la, yang berarti tinggi, mulia, dan hebat. Kata a’la ini diberikan dan disandangkan oleh Allah kepada Nabi Musa sebagai bentuk ketinggian dan kemuliaan dirinya. Innaka anta al-a’la (Sesungguhnya engkau (wahai Musa) berada pada kedudukan yang tinggi).

Orang beriman, dengan kata a’launa memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan seolah-olah disamakan dengan kedudukan dan kemuliaan Nabi Musa. Ini artinya orang beriman dari umat Muhammad saw memiliki kemuliaan yang istimewa, yang merupakan hadiah terbesar dari-Nya. Pertanyaannya, apakah kedudukan tinggi dan mulia akan terus dipertahankan atau diabai­kan begitu saja, atau bahkan dibuang? Oh… sungguh merugi orang yang menga­baikan atau bahkan menghilang­kan posisi terhormat ini.

Namun, bagaimana cara memperta­han­kan kedudukan mulia ini…? Lihatlah pada pangkal ayat tentang larangan Allah bagi orang yang beriman. Seolah-olah ayat ini menga­takan bahwa jika kalian melakukan atau memiliki sifat ini, maka posisi terhormat yang kalian sandang, akan lenyap dari diri kalian (na’udzu Billah min dzalik).

Allah melarang orang yang beriman agar tidak bersikap atau memiliki sifat lemah (wala tahinu). Ini berasal dari kata w-h-n dan penyakitnya disebut wahn. Wahn merupakan penyakit yang menjangkiti umat ini secara indvidu maupun komunitas. Penyakit ini menjerumuskan umat ke dalam kekala­han dan kehinaan. Secara bahasa wahn bermakna dha’f (lemah), baik secara materi atau maknawi, menimpa pribadi atau kolektif. Wahn juga bisa diartikan dengan jubn (takut atau pengecut), yang juga masih bagian dari dha’f.

Al-Qur’an telah menggunakan makna ini dalam beberapa ayat, di antaranya:

“Ia (Zakaria) berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah “lemah” dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” (Qs. Maryam: 4)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengan­dungnya dalam keadaan “lemah” yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Qs. Luqman: 14).

Sedangkan makna Wahn dalam hadits dijelaskan langsung oleh Ra­sulullah saw, yaitu cinta dunia dan takut mati. Dari Tsauban ra, ia berkata: Ra­sulullah saw bersabda: “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkum­pul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Kata­kan­lah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah bersab­da,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sam­pah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menim­pakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemu­dian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad.

Wahn dalam hadits ini dapat dilihat sebagai efek dan kondisi. Sebagai efek, wahn berposisi sebagai hukuman (ekses/dampak). Sedangkan sebagai kondisi (hal), wahn merupakan kondisi orang-orang Islam yakni dalam kondisi lemah tak berdaya. Akibat dari sifat wahn ini orang Islam menjadi penakut dan pengecut, sehingga musuh tidak me­miliki rasa takut atau gentar. Akibatnya kaum muslimin terhina dalam banyak hal, laksana buih yang tak memi­liki nilai di hadapan umat yang lain.

Indikasi dari penyakit wahn ini, menurut Rasulullah saw, adalah cinta dunia dan takut pada kematian. Kedua hal ini tampaknya saling mempengaruhi satu sama lain. Orang yang memiliki kecintaan pada dunia adalah orang yang memiliki keinginan atau kecenderungan (hawa) atau obsesi yang besar terhadap­nya. Dalam kondisi ini, hati dan jiwa ter­paut pada keindahan dan kemegahan dunia. Akibatnya muncul sifat rakus terhadapnya, dan memiliki angan-angan dan cita-cita pada sesuatu yang bersifat materi serta terus berusaha menumpuk-numpuk harta kekayaannya.

Orang yang memiliki kecintaan pada keindahan dan kemegahan dunia, akan menempuh berbagai cara untuk menda­patkannya, tanpa memperduli­kan halal – haram. Kalau harta, kedu­dukan dan kemewahan dunia sudah diperoleh, maka akan muncul sifat buruk lainnya yakni kikir (bakhil), curang dan khianat. Ia juga akan kehilangan sema­ngat jihad (berjuang) di jalan Allah, dalam aktifitas hidup, yakni dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Sementara takut akan kematian meru­pakan konsekuensi logis dari ke­cintaan pada dunia dan segala kegemerla­pannya. Ia selalu menghindar dari ke­taa­tan beribadah, dan tidak mau memper­siap­kan diri untuk menghadapi kematian.

Karena itu orang beriman diingatkan oleh Allah agar tidak memiliki sifat wahn, supaya terhindar dari berbagai keburu­kan dan kerugian. Maknanya orang beriman adalah mereka yang hidup di dunia, mencari kehidupan dunia, menik­mati ragam materi keduniaan, namun “tidak terikat pada dunia”. Dunia diletak­kan di kedua tangan, supaya mudah berbagi dengan yang lain.

Jika dalam makna hadits tersebut wahn berarti cinta dunia dan takut kematian, maka dalam Psikologi Islam, wahn lebih pada makna lahiriahnya yakni lemah (kelemahan) yakni lemah­nya jiwa seseorang. Al-Quran menje­laskan bahwa jiwa (nafs) memiliki dua sifat atau potensi yakni potensi buruk (fujur) dan potensi baik (taqwa) seba­gaimana yang dijelaskan oleh ayat “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (Qs. Asy-Syam, 91: 8).

Perlu dijelaskan bahwa jiwa adalah salah satu dari tiga unsur diri, selain fisik dan ruh. Jika fisik bersifat kehewanan, dan ruh bersifat keilahian, maka jiwa bersifat kemanusiaan. Dalam sifat kemanusiaan ini, ada dua hal yang sama besar dan kuat potensinya, yakni fujur dan taqwa. Jiwa yang buruk (fujur) sesungguhnya merupakan kekurangan atau kelemahan jiwa yang harus diperbaiki. Di antara ciri-ciri orang yang lemah jiwanya adalah memuji diri sendiri. Dalam tinjauan psikologi, sebenarnya orang seperti ini adalah orang yang hendak menghibur hatinya yang sedang galau, gelisah. Di sisi lain, sikap memuji diri adalah sebagian dari tanda kelemahan akal. Madh an-nafs ‘alamatu qalil al-‘aql (Memuji diri adalah tanda rendahnya akal). Kalimat ini menunjukkan bahwa orang yang suka memuji dirinya, sebenarnya adalah orang yang “belum dewasa” cara berpikirnya. Ia masih kekanak-kanakan dalam penggunaan akal, meski usianya sudah tua. Meminta pertimbangan atau nasehat kepada orang seperti ini, tentu saja merupakan sebuah kekeliruan.

Ciri lain dari jiwa yang lemah adalah rasa bangga ketika ia memperoleh keberhasilan dan kesuksesan. Lebih dari itu, apabila mendapatkan kenikma­tan atau kesenangan, mereka akan menun­jukkan kegembiraan secara berlebih-lebihan. Berjingkrak-jingkrak kegirangan, melompat kesana kemari, tertawa terbahak-bahak, berjalan dengan sombong dan congkak. Namun jika ditimpa musibah atau kesulitan, maka mereka akan mengumpat, memaki-maki, marah-marah serta menyalahkan berba­gai pihak atas kejadian yang menim­panya. Sebaliknya, boleh jadi mereka akan merasa terpuruk, terkucil dan terhina. Efeknya mereka sering melamun, mengunci diri, atau bahkan menyendiri serta bicara dan tertawa sendiri.

Allah menggambarkan keadaan orang yang berjiwa rapuh ini dalam surat Al-Fajr ayat 15-16 : “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhan­ku telah memuliakanku. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi Rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. (Al Fajr, 89: 15-16).

Ego atau kesombongan juga meru­pakan merupakan tanda dari kelemahan jiwa. Ia mengambil sifat yang bukan sifat­nya. Itu adalah sifat Tuhan yang Maha Agung lagi Maha Berkuasa. Allah melarang orang beriman memiliki jiwa yang lemah. Ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran, adalah tanda lain dari kelemahan jiwa yang dilarang-Nya. “Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika ka­mu menderita kesakitan, maka se­sung­guhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu (pernah) merasakan penderitaan itu; sedangkan kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs. An-Nisa, 4: 104).

Dalam ayat ini secara tersirat dijelaskan bahwa orang yang selalu berharap (raja’) kepada Allah, tidak mudah mengeluh karena penderitaan atau sakit yang dirasakan. Ia tetap berjuang meski mengalami berbagai kesulitan. Bahkan, dalam perjuangan menegakkan kebenaran, ia akan terus mengejar dan memburu musuh, meski sampai ke lubang semut. Inilah gambaran dari ketegaran orang beriman, karena kuatnya harapan kepada Allah. Dengan demikian orang beriman memiliki ketegaran dan kemampuan menghadapi berbagai ujian sehingga berdampak pada kekuatan jiwa dan kesabaran.

()

Baca Juga

Rekomendasi