Oleh: Adelina Savitri Lubis
TAK ada rasa gamang di kepala orangtua di Gayo Lues ketika akan menikahkan anaknya. Padahal, dana tak terkira dan kebutuhan lain sudah membayang dan harusnya membuat mereka hati-hati dalam berhitung dan bertindak. Ini semua karena ada alang tulung, sebuah tradisi indah yang terus bertahan meski serangan zaman begitu garang.
Dua asap berasal dari tempat berbeda mengepul di antara tawa dan dialog malam itu. Para lelaki bersarung mengadu kata dengan kepulan asap dari rokok kawung di bibir mereka. Sebagian lagi mengusir hawa panas dari seduhan kopi dalam cangkir.
Kaum ibu, yang juga bersarung, turut hadir dan berkelompok dengan nyonya rumah. Wajah mereka menyungging senyum atas dialog yang sedang mereka bicarakan. Malam itu, tatkala suara jangkrik melantun pascahujan yang turun sekejap di sore hari, warga Desa Rikit Dekat, Kecamatan Kuta Panjang, Kabupaten Gayo Lues, sedang mengadakan acara genap mufakat: sebuah pernikahan akan dihelat.
Mufakat menjadi bagian dari tradisi alang tulung masyarakat Gayo Lues. Gerimis masih jatuh malam itu, namun seluruh masyarakat Rikit Dekat wajib hadir. Atas nama tradisi, suhu 24 derajat celcius bukan jadi penghalang. Mereka akan saling berembuk, membicarakan seperti apa pernikahan itu dihelat. Mereka membagi tugas antara kelompok bapak, kaum ibu, bahkan muda-mudi di desa itu, termasuk menyepakati materi penting dalam rembukan tersebut, tanggal pernikahan.
Seorang lelaki membuka suara. Sebuah kotak berukuran sedang dia pegang. Isinya uang. “Setelah dihitung...,” katanya mengawali kalimat. Spontan warga yang hadir diam. Suara jangkrik pun terdengar sampai ke dalam rumah. “Total sumbangan yang terkumpul sebesar Rp20 juta,” sambung lelaki itu.
Warga yang hadir memanjat syukur. Alhamdulillah. Tawa kembali terdengar, obrolan kembali disambung. Wajah warga penuh binar senang.
Bagi masyarakat Gayo Lues, alang tulung bukan hanya dilakukan masyarakat di desa itu, mulai kepala desa hingga bupati tak terabaikan dalam tradisi itu. Sebaliknya, jika bupati mengadakan perhelatan serupa, mufakat bersama seluruh kerabat dan tetangga wajib dilakukan. Sebuah tradisi indah tanpa membedakan strata sosial masyarakat di Gayo Lues.
Tradisi ini bukan hanya berlaku saat menyambut pernikahan atau duka cita seperti kematian. Menurut Harun, warga Rikit Dekat, dulu alang tulung meliputi segala bidang kehidupan masyarakat di Gayo, seperti membangun rumah atau di bidang pertanian.
Ada hukum sosial yang harus ditanggung jika tradisi itu tidak dilakukan. “Warga yang tidak ikut serta dalam tradisi ini akan dikucilkan,” katanya kepada Analisa, belum lama ini.
Dijaga kuat
Dia tak memungkiri, perkembangan zaman, kemajuan teknologi, telah menyentuh masyarakat Gayo. Namun, ada hal-hal utama yang tak boleh ditampik masyarakat Gayo. Salah satunya tradisi alang tulung. Bagi mereka, menampik tradisi ini sama saja menampik ajaran Islam.
“Alang tulung dalam bahasa Indonesia artinya kegiatan gotong-royong dalam suka dan duka. Keindahan dunia apalagi yang kita cari jika kita semua menjalani hidup di dunia ini secara bersama-sama,” papar petani ini.
“Sumbangan yang terkumpul itu wajib diumumkan agar seluruh warga yang hadir tahu. Biasanya penyelenggara pernikahan akan mencatat nama-nama serta jumlah sumbangan yang diberikan,” katanya tentang sumbangan yang disampaikan dalam alang tulung malam itu.
Harun melanjutkan ceritanya, “Akar tradisi masih dijaga masyarakat desa ini. Persis acara ngenap mufakat tadi. Kelak, jika salah satu warga yang menyumbang dalam acara ngenap tadi melaksanakan perhelatan serupa, yang lain wajib menyumbang sesuai nilai yang disumbangkan sebelumnya. Selain adil, hal itu juga menghindari fitnah atau berburuk sangka.”
Saddam Husin (25), pemuda yang mendapingi Harun membenarkan hal itu. Menurutnya, saat ini alang tulung meliputi pendidikan. Acara wisuda salah satu warga di Gayo Lues ini juga melibatkan hampir seluruh masyarakat di Gayo Lues.
“Menamatkan tingkat pendidikan tinggi sudah menjadi hal yang membanggakan, siapa pun orangnya, di mana pun keberadaannya. Juga masyarakat di sini. Keberhasilan orang Gayo mengecap pendidikan tinggi menjadi kebanggaan seluruh warga Gayo,” katanya.
Sistem nilai pembangunan dalam masyarakat suku Gayo masih dijabarkan dalam wujud sistem norma dari adat istiadat (edet). Nilai-nilai adat di atas menjadi acuan bagi tindakan dalam berbagai sendi dan aspek kehidupan masyarakat, baik dalam kekerabatan, kepemimpinan, mata pencaharian, kesenian, maupun upacara keagamaan, dan lainnya.
Luntur
Situasi ini berbanding terbalik dengan fenomena masyarakat era digital. Gotong royong kini langka. Perkembangan teknologi disebut-sebut sebagai alasan melunturnya budaya itu.
Dalam lima tahun belakangan, situs internetworldstas.com melansir fakta mengagetkan. Disebutkan Indonesia mempunyai 30 juta pengguna internet pada September 2009, dengan 12,5 persentase penetrasi. Selain dapat dilihat dari penggunaan internet, peningkatan penggunaan media digital juga dapat dilihat dari aktivitas daring (online). Jejaring sosial adalah media yang paling sering digunakan.
Pada 2013, Chairman Internet Data Center, Johar Alam Rangkuti, menyebutkan, Indonesia kini memiliki penetrasi internet 22 persen atau 55 juta pengguna. Jumlah pengguna internet di Indonesia kini menempati urutan ke-8, sedangkan pengguna media sosial ada di urutan ke-4.
Jika pengaruh media sosial dan teknologi modern bisa diaplikasikan sedemikian rupa untuk kebutuhan bisnis, tentu saja hal ini bisa dipertimbangkan dan dikaji untuk menyebarkan kebudayaan Indonesia melalui media digital.
Harus diakui, pada dasarnya, menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dibutuhkan ialah strategi meningkatkan daya tahan budaya lokal dalam menghadapinya.
Jika tradisi alang tulung ala Gayo Lues masih dipertahankan hingga saat ini, agaknya miris jika masyarakat perkotaan yang dimudahkan dengan segala fasilitas enggan melakoni perilaku yang sejatinya merupakan budaya bangsanya sendiri ini.
Pukul satu dini hari. Harun dan anak lelakinya permisi untuk tidur. Empat pemuda lain yang berada di sana masih melanjutkan obrolan dan khayalan. Ada khayalan tentang biaya pernikahan, membangun rumah, dan wisuda sarjana.
“Apakah kita harus pindah ke Gayo Lues?”
Sebuah tanya mengawang di antara dengkuran-dengkuran yang nyaring terdengar dimakan sepi.