Oleh: Budi Hatees
Saya agak kaget ketika seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Padangsidimpuan menolak memakai e-book (buku elektronik) sebagai referensi dalam menulis skripsi untuk syarat memperoleh gelar sarjana strata satu. Setelah saya jelaskan e-book tidak berbeda dengan buku cetakan (konvensional), barulah si mahasiswa menceritakan alasan yang sesungguhnya.
Menurut si mahasiswa, dosen pembimbing skripsi mensyaratkan agar mahasiswa membawa buku referensi dalam bimbingan penulisan skripsi dan menunjukkan bentuk fisik buku itu jika ingin skripsinya dilanjutkan. Menurut si mahasiswa, pernyataan si dosen bukan sebuah kekeliruan karena syarat yang disampaikannya tertuang dalam buku panduan penulisan skripsi di perguruan tinggi tersebut.
Saya memutuskan berpikir positif saja soal ini. Saya tidak perduli apakah dosen atau mahasiswa yang sesungguhnya tidak menganggap e-book sebagai produk ilmu pengetahuan, karena bagi saya e-book sama pentingnya dengan buku konvensional. Saya sudah beralih ke e-book sejak beberapa tahun lalu. Saya mengubah format semua koleksi buku di perpustakaan saya ke dalam e-book, lalu menyumbangkan semua buku itu ke berbagai perpustakaan yang digagas kelompok-kelompok literasi. Kelak buku-buku dan perpustakaan hanya akan ditemukan di tempat-tempat tertentu, menjadi sebuah ruang nostalgia bagi siapa saja yang ingin mengetahui sejarah peradaban manusia dan apa hubungannya dengan buku.
Tulisan berikut ini akan membicarakan perihal fenomena e-book di lingkungan masyarakat kita sebagai sebuah keniscayaan dalam era perkembangan teknologi informatika dan komunikasi (TIK). Cepat atau lambat, e-book akan menjadi bagian dari peradaban keseharian masyarakat, menyebabkan masyarakat mengalami ketergantungan karena pada dasarnya membaca buku bagi seseorang merupakan ejawantah dari hakikat manusia sebagai makhluk yang bercerita (Homo narrans).
Buku adalah salah satu medium yang menampung sekian banyak cerita (narasi) tentang peradaban manusia, dan perubahan format buku menjadi e-book membuat manusia sebagai mahluk yang bercerita akan bisa menikmati cerita tersebut kapan saja dan dimana saja.
Konvergensi Media
Sudah umum diketahui, saat ini segala jenis media massa cetak (koran dan majalah) sedang memasuki era konvergensi yang ditandai perubahan format konvensional berupa cetakan menjadi elektronik. Sejumlah majalah dan koran mainstream yang selama ini menghampiri masyarakat dalam bentuk konvensional, secara perlahan-lahan dan pasti berubah formatnya menjadi elektronik.
Perubahan ini sebuah keniscayaan zaman dimana peradaban manusia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kemajuan TIK, karena ilmu pengetahuan dan teknologi terus-menerus dikembangkan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Kita bisa mengambil contoh penemuan perangkat teknologi komunikasi berupa gawai. Perangkat elektronik ini menawarkan budaya baru dalam pemanfaatan waktu, tidak hanya digunakan manusia pada waktu luang (leisure time) tapi juga pada jam-jam penting atau pokok karena dimanfaatkan sebagai sarana untuk bekerja. Gawai juga memudahkan manusia dalam banyak hal, sehingga segala urusan yang selama ini menyita waktu bisa diringkas. Batasan waktu, ruang dan jangkauan menjadi hilang akibat gawai. Selain itu, gaungnya pun menjadi luas tanpa sekat-sekat seperti pada efek dari media konvensional.
Sejumlah penelitian dilakukan produsen gawai menyebutkan, pengguna sarana telekomunikasi ini tidak mengenal batas usia; mulai dari bayi sampai orang tua. Setiap pengguna memanfaatkan gawai untuk kepentingan masing-masing. Anak-anak bayi menggunakan gawai untuk sarana hiburan, baik berupa mendengarkan lagu-lagu anak maupun permainan-permainan khusus untuk anak.
Ketergantungan manusia terhadap gawai inilah yang mendorong terjadinya konvergensi media. Para gatekepress berlomba-lomba mengubah format media konvensional menjadi media berbasis elektronik, berupa pemanfaatan arsitektur internet sebagai penyedia teknologi pengelolaan data digital. Bentuk fisik pemanfaatan itu hadir berupa portal atau situs koran atau majalah, juga dalam bentuk perekaman elektronik koran dan majalah dengan memanfaatkan teknologi baru. Kita bisa membaca koran dan majalah berbentuk rekaman format .pdf melalui gawai.
Sebagaimana media cetak di era konvergensi media yang berubah ke dalam format elektronik, format buku juga diubah menjadi format elektronik. Kata e-book berasal dari bahasa Inggris, electronik book atau sama saja dengan buku elektronik (buku el). Buku jenis ini bagian dari perkembangan TIK yang begitu pesat dan sudah merangsek ke dalam semua dinamika kehidupan masyarakat.
Artinya, buku-buku yang selama ini dalam bentuk cetakan di atas kertas, kini diubah menjadi bentuk elektronik yang bisa dibaca menggunakan ragam perangkat elektronik seperti komputer, laptop, dan gawai. Tidak perlu kertas, karena buku elektronik merupakan jawaban atas kekhawatiran banyak kalangan terhadap dampak pemanasan global akibat penebangan pohon sebagai bahan baku kertas.
Dengan kata lain, e-book adalah produk dunia industri yang ramah lingkungan. Sebagai produk, e-book diciptakan sebuah lembaga bisnis dengan tujuan merauf profit yang tinggi. Lembaga bisnis tersebut belum tentu sebuah percetakan, apalagi sebuah perusahaan penerbitan buku. Belum tentu juga lembaga bisnis itu memiliki aset yang berkaitan dengan percetakan dan penerbitan buku.
Inilah fenomena unik dunia bisnis saat ini. Kita tahu Uber sama sekali tidak memiliki aset berupa taksi, tapi lembaga bisnis ini menjadi perusahaan taksi terbesar di dunia. Nilai perusahaan yang baru berdiri kurang dari delapan tahun ini sebesar 68,6 miliar dolar AS, lebih besar dibandingkan nilai perusahaan dari raksasa otomotif seperti Toyota, Mitshubishi, Ford, General Motors, dan Chrysler.
Hampir semua sektor bisnis mengikuti dinamikan perkembangan TIK. AirBnB banyak mendorong pertumbuhan pariwisata Bali karena hotel dan ragam tempat penginapan di Pulau Dewata ditawarkannya, merupakan perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia. Tapi, perusahaan ini tidak memiliki aset berupa hotel dan properti. Perusahaan ini membantu memudahkan para turis datang ke Indonesia. Kemudahan yang sama juga diberikan Traveloka, perusahaan penyedia layanan tiket pesawat dan hotel terbesar di Indonesia, meskipun tidak punya maskapai penerbangan.
Sekaitan dengan e-book, kita mengenal Amazon.com. Situs jual-beli ini menjual berbagai jenis e-book meskipun perusahaan Amazon tidak punya aset di bidang penerbitan buku atau percetakan. Amazon menghubungi (atau dihubungi) para penerbit buku, juga para pengarang, dan menyediakan tempat berupa situs Amazon.com sebagai lapak untuk jualan buku. Buku-buku tersebut bisa dibeli dalam bentuk fisik, juga bisa berbentuk e-book.
Sejumlah perusahaan sejenis juga muncul di Indonesia, menawarkan produk e-book kepada pembaca. Perusahaan-perusahaan ini mengincar konsumen dari tifikal masyarakat yang ingin serba praktis, tapi tetap punya minat literasi yang tinggi dalam rangka menambah wawasan dan ilmu pengetahuannya. Pembaca ini cocok dengan e-book yang bisa diunduh dan dibaca lewat gawai dalam situasi apa saja. e-book juga menjadi alternatif bagi para mahasiswa, karena tidak membutuhkan ruang besar untuk rak penyimpanan buku, dan bisa dibawa kemana saja tanpa merasa dibebani.
Penutup
Buku konvensional tidak berbeda dengan e-book dari segi isi. Semua hal yang kita temukan di dalam buku cetakan, kita temukan juga di dalam e-book. Dengan kata lain, menjadikan e-book sebagai sumber referensi dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti penulisan skripsi, sama saja hasilnya dengan menggunakan buku cetakan sebagai referensi. Sebab itu, pengalaman seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Padangsidimpuan soal e-book (buku elektronik) tidak perlu terjadi jika penyelenggara perguruan tinggi swasta mengikuti dinamika perkembangan zaman.***
Penulis adalah Peneliti di Institut Sahata, tinggal di Kota Padangsidimpuan