Urgensi Niat Dalam Sebuah Ibadah

• Oleh: Nikmah Dalimunthe, S.Ag, MH

Ruang lingkup ibadah dalam Islam pada prinsipnya ada dua kategori yaitu ibadah mahdhah (khusus) ibadah yang telah ditentukan tata caranya, waktu dan tempatnya oleh syari’at dalam rangka hubungan khusus seorang hamba dengan Allah. Contoh dari ibadah mahdah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Sedangkan ibadah Ghairu Mahdah/umum (tidak murni) atau ibadah umum, yaitu segala bentuk perbuatan dan hubungan manusia de­ngan manusia atau manusia dengan alam yang memiliki makna ibadah. Contoh dari ibadah ghairu mahdah seperti memberi hadiah, memberi sedekah, berbuat baik kepada orang lain dan lainnya.

Dalam melaksanakan aktifitas tersebut, ibadah yang dilakukan harus ada aturannya, tata caranya, atau aturan syari`atnya. Sesuatu yang dilakukan itu harus berda­sarkan norma atau hukum yang ada, jika tidak sesuai dengan aturan yang ada maka perbuatan itu akan menghasikan sesuatu yang tidak bernilai dalam pandangan Islam, khususnya dalam pandangan Allah SWT. Nabi Muhammad saw. telah membuat suatu garis atau aturan tentang segala perbuatan manusia harus berdasarkan atas niat sese­orang, niat itu yang lebih utama dan yang paling utama dalam melaksanakan segala sesuatu.

Berkenan dengan niat, berikut dapat dilihat dari hadis Nabi tentang urgensi niat yakni sebagai berikut:

“Dari Amiril Mu`minin Abi Hafsh Umar bin Khattab r.a. telah berkata: aku telah mendengar Rasulullah saw, bersabda bahwa­sanya segala amal perbuatan ter­gantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang berhijrah menuju (keridha`an) Allah dan rasul-Nya, maka hijrah­nya itu kea rah (keridha`an) Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya itu karena dunia (harta atau kemegahan dunia), atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu ke arah yang ia tuju tersebut". (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini oleh mayoritas umat muslim diketahui dan dikenal sebagai dalil utama terkait urusan niat dalam sebuah perbuatan. Maka perbuatan seorang hamba dilihat dan akan direfleksikan apakah niat perbuatan yang dilakukan tersebut bernilai ibadah atau tidak.

Berhubungan dengan hadis di atas, segala perbuatan hamba Allah dalam sebuah ibadah harus disertai dengan niat yang baik pula, jika tidak dibarengi dengan niat maka perbuatannya akan jatuh kepada perbuatan yang tidak punya nilai ibadah apapun. Jika tidak punyai nilai ibadah maka ia jatuh kepada `adah atau kebiasaan semata yang pada akhirnya tidak akan mem­berikan nilai ibadah dalam panda­ngan Islam sejalan dengan hadis yang disebutkan di atas.

Sebagai contoh perbuatan atau aktivitas hidup, seseorang yang makan dan minum tidak dinilai sebagai sebuah ibadah bila ia bermaksud atau berniat bahwa makan dan minumnya itu hanya untuk menghasilkan energi semata bagi tubuhnya. Akan tetapi jika ia berniat makan dan minum untuk mendapatkan energi dan agar bisa melakukan ibadah, baik ibadah mahdhah atau ibadah ghairu mahdhah maka perbuatan tersebut menjadi satu nilai ibadah baginya, karena diawali dengan niat yang baik, maka hasilnya pun menjadi sebuah nilai kebaikan.

Hadis di atas sejalan pula dengan kaidah yang ada yaitu: al-umuru bimaqasidiha “(segala sesuatu/perbuatan tergantung pada tujuan­nya/maksud niatnya).” Hal ini diperkuat oleh sebuah hadis: “se­sung­guhnya manusia itu akan dibangkitkan (untuk memperoleh balasan) sesuai dengan niat ma­sing-masing.”

Wudhu` dan mandi, bisa berlaku sebagai ibadah, tetapi bisa juga untuk sekedar mendinginkan badan atau membersihkannya. Menahan diri tidak makan dan minum bisa sebagai ibadah (puasa) namun bisa juga untuk upaya penjagaan agar badan tidak terlalu gemuk (diet). Demikian juga halnya seseorang yang duduk di mesjid, selain untuk ibadah dengan niat `iktikaf, bisa jadi dia mempunyai niat hanya sekedar untuk istirahat atau untuk berteduh dari sinar matahari yang amat sangat terik di siang hari. Memberi sejumlah uang kepada orang lain bisa sebagai hibah, atau sebagai ibadah seperti membayar zakat, sedekah, atau membayar kafarat. Demikian juga halnya dalam menyembelih hewan ternak kambing atau sapi, bisa saja hewan itu disembelih hanya untuk kegia­tan pesta semata atau bisa juga dengan niat lain, yaitu untuk taqar­rub kepada Allah SWT. Dengan demikian, semua bentuk pelaksa­naan suatu perbuatan bisa saja sama antara yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi kedu­du­kannya tidak sama, tergantung pada niat masing-masing pribadi secara individu.

Niat harus ada pada permulaan melakukan perbuatan, sedangkan tempat niat adalah di dalam hati. Niat, di samping sebagai alat penilai perbuatan, juga bisa merupakan ibadah tersendiri seperti yang difahami dari hadis Nabi: “niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya (tanpa perbuatan).” Artinya seorang muk­min untuk niat beramal kebai­kan karena Allah, kemudian dia tidak dapat melaksanakan niat ter­sebut maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah. Jadi dengan de­mikian seorang mukmin beramal saja tanpa dibarengi dengan niat karena Allah maka tidak pula mendapat­kan pahala. Kesimpulan­nya, segala sesuatu perbuatan yang dilakukan baik ia sebagai suatu kebiasaan (`adah) yang tanpa diba­rengai de­ngan niat, maka perbuatan itu bukan merupakan ibadah ke­pada Allah SWT.

Akan tetapi boleh melakukan sesuatu yang menyalahi syari`at Islam jika hal itu merupakan keterpaksaan atau kondisi dharurat, dengan ketentuan jika tidak dilaksanakan akan memudharatkan bagi diri sendiri atau tidak akan terjadinya perubahan sepanjang masa. Misalnya ada seorang laki-laki dan seorang perempuan yang selamat dan terdampar di sebuah pulau akibat kecelakaan kapal yang dinaiki. Dalam situasi ini, mereka yang bertahan hidup berdua di pulau tersebut dimungkinkan untuk melangsungkan pernikahan tanpa adanya wali maupun syarat lainnya. Hal ini dilakukan karena adanya kekhawatiran yang mana jika tidak melangsungkan pernikahan, akan terjerumus pada perbuatan zina. Ditambah lagi dengan kondisi setelah berhari-hari belum men­dapat bantuan dari siapapun. Na­mun kondisi ini jangan sampai kepada kondisi melupakan diri, mengingat hal ini hanya dilakukan untuk sebatas memberi kemudahan dan tetap berusaha mencari jalan keluar dari pulau, sehingga jika mereka selamat dari kondisi ter­sebut maka pernikahan mereka ha­rus dilaksanakan sekali lagi sesuai dengan syarat dan rukunnya. Mi­sal­nya lagi seseorang boleh mema­kan makanan yang diharam­kan Allah, jika tidak dengan cara yang sedemikian rupa (tidak mau me­makannya) akan mustahil atau kecil kemungkinan untuk dirinya bertahan hidup dari kondisi kela­paran yang amat sangat. Namun, kondisi ini jangan sampai kepada kondisi mengenyangkan diri, mengingat hal ini hanya dilakukan untuk sebatas memberi kekuatan dan berusaha mencari jalan keluar dan terus mencari makanan yang halal tentunya. Hal ini sesung­guh­nya sejalan juga dengan firman Allah yang berbunyi: Akan tetapi barang siapa dalam keadaan ter­paksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkan dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (QS. al-Baqarah 173).

Oleh karenanya, urgensi niat dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh insan harus meme­nuhi ketentuan dalam sebuah ibadah untuk memastikan diri dalam menjalani hidup yang dipe­rintahkan oleh Allah SWT. Kalau niat sudah meresap dan mengakar di dalam diri manusia dan menjadi kebutuhan utama yang harus dipenuhi, maka segala aktifitas dan perbuatan manusia pasti cenderung kepada perbuatan yang mengarah ke Ibadah, bukan kepada perbuatan ‘adah (kebia­saan) semata. Wallahu a’lam.

()

Baca Juga

Rekomendasi