Konstruksi Bangunan Anti Gempa

Oleh: Syafitri Tambunan

BENCANA alam, seperti gempa baru saja menge­jutkan masyarakat Indonesia beberapa hari lalu. Meski tidak sedahsyat bencana alam yang melanda Banda Aceh, 2004 silam, gempa berkekuatan 6,1 berpusat di barat daya Kabupaten Sukabumi dan perbatasan Lebak, Banten terse­but cukup merusak konstruksi banyak bangunan di sekitarnya.

Aktivitas gempa, seperti yang terjadi itu tidak akan habis dari nusantara. Sebab letak geografis Indonesia berada di jalur yang dilalui cincin api, sehingga rawan aktivitas tektonik.

Sebaliknya, keunikan kondisi alam Indonesia ini tidak mengurangi populasi bangunannya. Faktanya pertumbuhan penduduk Indonesia terus bertambah dan harus diimbangi dengan bertambahnya fasilitas bangunan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sayangnya, tidak semua bangunannya berkonstruksi tahan gempa. Padahal aktivitas teknonik tidak dapat diprediksi secara mudah, baik waktu maupun lokasinya.

Sebenarnya, masyarakat terdahulu disinyalir sudah punya desain khusus rancang bangun tradisional tahan gempa. Dari beberapa rumah adat tradisional, konstruksi bangunannya memang meng­gu­nakan materi sesuai kondisi alam Indonesia.

Bangunan, pada dasarnya dikelom­pokkan menjadi bangunan tradisional yang meliputi balai adat dan tempat ibadah, serta rumah vernakular. Rumah vernakular inilah yang dianggap merep­resen­tasikan konstruksi yang berke­mampuan bertahan terhadap lingkungan fisik seperti iklim, gempa, dan angin.

Penggunaan material ringan seperti kayu dan bambu memungkinkan bangu­nan adat tidak mudah roboh karena memiliki kelenturan terhadap gempa. Selain itu, struktur bangunan yang terkait satu sama lain menggunakan pasak, bisa lebih dinamis dan kokoh sehingga tahan terhadap guncangan gempa.

Masing-masing daerah di Indonesia memiliki satu atau lebih tipe rumah verna­kular, yang dibangun berdasarkan tradisi daerah tertentu. Hal ini menun­jukkan keanekaragaman dan kearifan lokalnya.

Beberapa bangunan vernakular, misalnya Rumoh Aceh (Aceh), Rumah Bolon (Batak), Rumah Panggung (Mela­yu), Rumah Omo Hada (Nias), Rumah Suku Toraja, Rumah Laheik (Kerinci), Rumah Tua Bali Utara (Bali Utara), Rumah Gadang (Minangkabau), Rumah Woloan (Tomohon, dan Sulawesi Utara),

Di Aceh, terdapat masjid-masjid yang konon memiliki konstruksi tahan gempa. Seperti, Masjid Baiturrahman di Ulee Lhuee Meuraxa dan Masjid Baiturrahman Aceh yang bertahan pascagempa berke­kuatan 9, 1 SR dan tsunami 2004. Namun, gempa bumi berkekuatan 6,5 SR yang berpusat di Pidie Jaya pada 2016, nyaris tidak menyisakan utuh bangunan di sana. Begitupun dengan hancurnya rumah-rumah pascagempa berkekuatan 6,2 SR di Gayo Aceh Tengah dan Bener Meriah pada 2013.

Di Jogjakarta, sebagian besar bangunan menggunakan sistem konstruksi tahan gempa, namun ada beberapa sekolah yang belum menerapkannya. Pengalaman gempa 2006, mengharuskan setiap bangunan termasuk sekolah di sana harus tahan gempa.

Potensi gempa yang cukup besar semestinya membuat seluruh masyarakat Indonesia mengaplikasikan Undang-Undang Nomor 28/2002 tentang Bangu­nan Gedung. Di dalamnya berisikan syarat-syarat rumah tahan gempa di sekitar gunung api. Kunci dari kuatnya bangunan ada pada konstruksi pondasi, sudut kemiringan rumah, perencanaan ruang, dan pemilihan bahan bangunan.

Di Jepang, bangunan kayu telah digunakan bertahun-tahun karena material kayu dinilai tahan terhadap gempa. Namun selain material kayu, ketahanan rumah tahan gempa di Jepang juga dipengaruhi oleh kekuatan dinding yang dirancang berdasarkan rekayasa struktural.

Di China, juga terdapat sekumpulan rumah tanah yang dibangun abad ke-12 – ke-20 di daerah pegunungan di tenggara Fujian. Tulou disinyalir mampu menahan tembakan meriam bahkan gempa. Tulou diketahui berstruktur luar yang dibentengi dengan tanah padat bercampur batu, granit, bambu, kayu dan bahan-bahan lain yang tersedia membentuk dinding hingga setebal 1,8 meter.

Terdapat puluhan ribu Tulou di Fujian, tersebar di wilayah Tenggara pegunungan Provinsi Fujian. Meskipun Tulou ditemu­kan di bagian lain dari China, mereka semua disebut sebagai Fujian Tulou setelah UNESCO mengadopsi nama itu untuk semua tempat tinggal dengan jenis tersebut. Sebanyak 46 situs Tulou Fujian telah masuk daftar Situs Warisan Dunia UNESCO pada 2008.

()

Baca Juga

Rekomendasi