Menafsir Ulang Ruang Ekspresi

Oleh: J Anto

MEREBUT ruang-ruang ekspresi alternatif di luar ruang prosenium, sembari membenahi manajemen organisasi agar profesional,  mutlak dibutuhkan para pegiat teater di Sumut. Dalam zaman now, kehadiran teknologi komunikasi massa berbasis internet seperti youtube, tak mungkin juga ditampik.

Puluhan seniman teater Sumut menggelar kemah di halaman Taman Budaya Sumut sejak Jumat hingga Minggu (29-31/12). Sejumlah peralatan dapur mereka boyong dari rumah. Tapi mereka bukan mau demons­trasi. Sebanyak 20 grup teater dari Medan, Binjai, Deli Serdang, Labuhan Batu, dan Tanjung Balai tengah punya gawe besar di penghujung akhir 2017. 

Mereka menggelar workshop, diskusi, berpentas dan bermusyawarah. Sejumlah narasumber diundang. Ada sejarawan sekaligus pemerhati sastra Sumut Ichwan Azhari, anggota Teater Koma Ratu Matu Mona,  seniman teater generasi 1990-an Darma Lubis,   staf ahli Dirjen Kebudayaan Alex Sihar, dan seniman teater Malaysia Ruslan Madun. Mereka bergotong royong menanggung biaya dan hanya mendapat fasilitas ruang pentas TBSU.

“Ini bukan sekadar kerinduan atau acara silaturahmi biasa, tapi bagian dari gerakan untuk mengembalikan teater Medan agar menjadi kiblat bagi teater lain di tanah air,” ujar Ketua Panitia Malam Renungan Teater (MRT) 2017, Agus Susilo usai Diskusi Teater yang digelar Sabtu (30/12) sore.

Niatan mengembalikan Medan sebagai kiblat teater, tentulah bukan keinginan ahistoris. Pada 1970 hingga 1990-an, pertunjukan teater tumbuh subur di Medan. Bahkan menurut Darma Lubis, yang pada 1993 bergabung dengan Teater D'lick pimpinan Yondik Tanto, Medan juga dikenal sebagai lumbung aktor teater.

Lumbung Aktor

T Mulya Lubis di surat kabar Merdeka menyebut, pada 1970 ada dua grup teater di Medan yang cukup terkenal, yakni Actor Studio yang dipimpin Arif Husin Siregar. Lalu sejumlah pemain Actor Studio  keluar dan membentuk grup sendiri pada 1963 bernama Teater Nasional (Tena). Dari Tena lahir sederetan legenda teater Sori Siregar, Burhan Pilliang, Djohan A. Nasution, dan lain-lain.

Lalu pada 1980-an, ujar Darma Lubis, lahir Teater Que besutan Porman Wilson Manalu, D’lick pimpinan Yondik Tanto, dan  jelang 2000-an muncul Teater Rumah Mata pimpinan Agus Susilo dan Opera Batak pimpinan Thompson HS.

Sementara menurut Mihar Harahap, dunia teater di Sumut juga mengenal Teater Anak Negeri pimpinan  Idris Pasaribu, Teater Imago pimpinan D Rifai Harahap, Teater Blok pimpinan Afrion, Teater Merdeka pimpinan YS Rat, Teater Kartupat pimpinan Raswin Hasibuan, Teater Profesi pimpinan As Atmadi, dan Teater Generasi pimpinan Suyadi San.

Budaya melek teater bagi masyarakat Medan dan Su­matera Uta­­­­ra umum­nya, menurut se­jarawan Ich­wan Az­hari sudah be­r­umur le­bih dari satu abad. Pada s­a­at bersa­ma­an, sejak 1900 -1935 masyarakat di Medan su­dah terbiasa me­nonton pertunjukan teater, baik yang disebut teater tradi­sional, transisi maupun modern.

“Dari mandu, makjong, opera bangsawan, opera Batak sampai teater modern,” ka­ta Ichwan Az­hari. Pada 1935 surat kabar  Moe­tia­ra edisi  26 Ok­tober 1935 dan 2 No­vem­ber 1935 me­n­u­lis, per­tun­jukan  Dar­da­nela (Miss DJA) ke Me­dan mem­ba­wa nuansa baru  per­teateran di Medan. Disebutkan, Dar­danela grup yang menjadi cikal bakal teater modern  di Medan. Dalam edisi 2 November dise­butkan, pertunjukan Dardanela ber­langsung selama sepekan dan sukses meng­galang penon­ton yang bahkan banyak tidak kedapatan tiket. 

Antusiasme masyarakat me­nonton teater, menurut Ichwan Azhari, menunjukan tingginya tingkat literasi atau apresiasi masyarakat terhadap seni pertunjukan. Padahal saa itu, jumlah kaum sekolahan atau golongan terdidik, belumlah sebanyak seperti sekarang.

“Ironisnya pertunjukan teater sekatang bertahan hanya 1 malam, paling lama 2 malam dengan jumlah penonton paling banyak mungkin seribu orang, padahal pada 1935, pertunjukan teater bisa bertahan 14 hari dan harga tiket tak ada diskon,” tuturnya. Semua data itu menunjukkan bahwa teater tradisional, transisi dan modern secara bersamaan telah ada di Sumut.

Ichwan mengatakan, pembabakan teater versi Jacob Sumardjo atau Muhammad TWH yang membabakan  teater dalam tiga periode, tak berlaku di Medan. Penyebabnya ketiga jenis pertunjukkan itu telah dipertunjukkan pada sebuah fase yang sama.

Ruang Ekspresi

Medan sebagai kiblat teater, termasuk juga sastra, sejak penghujung 2000-an memang tinggal cerita sejarah. Kehidupan teater memang masih berdenyut, tapi menurut Darma Lubis, sudah lemah. Teater masih ada, pertunjukan masih ada. Na­mun lebih sebagai kegiatan sampingan para pegiat teater. Mereka berkarya bukan me­menuhi kebutuhan berke­se­nian, tapi lebih untuk me­me­nuhi pesanan me­nye­marakkan sebuah event tertentu, di daerah maupun pada aras nasional.

Penyebab semua kelesuan itu beragam. Selain masalah klasik minimnya dukungan dana, baik dari pemerintah atau swasta, anggota Komite Sinematografi dan Multimedia Dewan Kesenian Medan ini juga menye­but manajemen berteater yang lemah. Ba­nyak grup teater yang tak punya badan hu­kum dan AD/ART. Akibatnya susah men­dapat akses pendanaan dari pihak pemerintah mau­pun swasta.

“Mereka juga jauh dari akses informasi para pe­ngambil keputusan,” ujar pria yang pada 1999 pernah me­nyutradari naskah Busung (1999) di Yogyakarta dan lakon Raja Catur (2014) yang dipentaskan di Bali, Yog­yakarta, dan Medan itu.

Di luar semua itu, anggota Dewan Pengawas Koalisi Seni Indonesia 2013 itu menyebut, faktor pemahaman tentang ruang ekspresi yang keliru. Sebagian memahami keberadaan panggung sebagai kewajiban negara. Karena itu panggung diartikan sebagai gedung pertunjukkan. Alam pikir seperti itu harus diubah.

Jika panggung adalah tempat berekspresi, maka setiap ruang bisa menjadi panggung. Karena itu panggung bisa di mana saja, ter­gantung  siapa yang akan menonton sebagai kelompok penerima pesan. Bersama Teater Profesi, Darma lubis pernah membuat pentas di Mapple Theatre, sebuah hotel ber­bintang di Medan dan pertunjukan itu sukses. Kursi penonton penuh terisi sekali­pun pertunjukan berlangsung 2 hari.

Panggung juga termasuk ruang maya. Pegiat teater sekarang ini menurutnya tak bisa mengelak dari revolusi teknologi komunikasi massa berbasis internet. Piranti media sosial seperti youtube harus dimanfa­atkan sebagai ajang promosi yang murah.

“Seperti pengakuan Rita Ratu Mona, sebagai kurator teater, ia sulit mendapatkan data teater di Sumut yang mau dikurasi. Padahal dia mengandalkan mesin pencari informasi untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan teater,” katanya. Darma Lubis memberi saran agar grup teater menjadikan medsos sebagai media untuk dokumentasi sekaligus publikasi berbagai aktivitas seni teater.

“Lha wong dakwah saja udah di-youtube-kan bisa punya viewer antara 10 ribu hingga jutaan. Bayangkan benefit yang didapat jika sebuah grup tea­ter meng-upload konten seca­ra reguler,” katanya. Tentu saja isi konten yang diung­gah harus sesuai dengan kelompok milenial.

Sekalipun tafsor tentang ruang ekspresi harus fleksibel, namun Darma Lubis menya­dari infrastruktur teater masih dibutuhkan. Dalam sebuah kota, infrastruktur kesenian adalah cerminan kecerdasan budaya di kota tersebut. Ia setuju bahwa pegiat teater harus berjuang merebut pengadaan infrastruktur tersebut dari negara, apalagi setelah ada Undamg-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaaan.

“Merujuk pada sejarah teater di Eropa misalnya, teater itu dulu tontonan kaum menengah ke atas secara ekonomi dan pendidikan. Hal ini memperlihatkan para pejabat Sumut dan Medan belum berada di bawah posisi kecerdasan budaya yang diharapkan,” ujar Darma Lubis.

Sebenarnya dalam sejarah perkembangan insfrastruktur seni budaya, Kota Medan  pernah memiliki infrastruktur seni pertun­juk­an terbaik di Asia Tenggara di era 1970-an.  Itu terbukti dengan dibangun gedung Tapian Daya, akronim dari Taman Impian Kebuda­yaan Sumatera Utara.

Penggagasnya antara lain  Burhan Piliang, Zakaraia M Passe,  Rusli A Malem, dan Zaidan BS. Dibangun pada masa Gubenur Marah Halim Harahap dan selesai dibangun pada 1978. Sedari awal Tapian Daya diperuntukkan sebagai pusat kesenian dan panggung  teater, auditorium, gedung bios­kop,  ruang tari, ruang teater, ruang seni­rupa, studio mini film, wisma seni, dan bangunan perkantoran. Namun sejak di­ta­ngani pihak ketiga, infrastruktur itu tidak lagi menjadi pusat kesenian, khususnya seni pertunjukan.

Persoalannya bagaimana mengembalikan hak para seniman teater agar  ada lagi infrastruktur kesenian seperti Tapian Daya di Sumut?

Modal sebenarnya sudah ada. Infra­struk­tur regulasi sudah ada. Para seniman teater juga sudah bermusyawarah. Bahkan sepakat membentuk forum Koordinasi/Komunikasi Teater Sumatra Utara yang bertugas sebagai sentra informasi teater (pertunjukan, diskusi, workshop, laboratorium, literasi) dan pelaksanaan MRT 2018 di Rantauprapat.

Musyawarah seniman juga sudah menun­juk Yan Amarni Lubis sebagai koordinator forum. Jadi mari kita tunggu perjuangan mereka mewujudkan ruang ekspresi untuk mendinamisasi dan mengem­balikan marwah perteateran di Medan dan Sumutera Utara.

Puluhan seniman teater Sumut menggelar kemah di halaman Taman Budaya Sumut sejak Jumat hingga Minggu (29-31/12). Sejumlah peralatan dapur mereka boyong dari rumah. Tapi mereka bukan mau demons­trasi. Sebanyak 20 grup teater dari Medan, Binjai, Deli Serdang, Labuhan Batu, dan Tanjung Balai tengah punya gawe besar di penghujung akhir 2017. 

Mereka menggelar workshop, diskusi, berpentas dan bermusyawarah. Sejumlah narasumber diundang. Ada sejarawan sekaligus pemerhati sastra Sumut Ichwan Azhari, anggota Teater Koma Ratu Matu Mona,  seniman teater generasi 1990-an Darma Lubis,   staf ahli Dirjen Kebudayaan Alex Sihar, dan seniman teater Malaysia Ruslan Madun. Mereka bergotong royong menanggung biaya dan hanya mendapat fasilitas ruang pentas TBSU.

“Ini bukan sekadar kerinduan atau acara silaturahmi biasa, tapi bagian dari gerakan untuk mengembalikan teater Medan agar menjadi kiblat bagi teater lain di tanah air,” ujar Ketua Panitia Malam Renungan Teater (MRT) 2017, Agus Susilo usai Diskusi Teater yang digelar Sabtu (30/12) sore.

Niatan mengembalikan Medan sebagai kiblat teater, tentulah bukan keinginan ahistoris. Pada 1970 hingga 1990-an, pertunjukan teater tumbuh subur di Medan. Bahkan menurut Darma Lubis, yang pada 1993 bergabung dengan Teater D'lick pimpinan Yondik Tanto, Medan juga dikenal sebagai lumbung aktor teater.

Lumbung Aktor

T Mulya Lubis di surat kabar Merdeka menyebut, pada 1970 ada dua grup teater di Medan yang cukup terkenal, yakni Actor Studio yang dipimpin Arif Husin Siregar. Lalu sejumlah pemain Actor Studio  keluar dan membentuk grup sendiri pada 1963 bernama Teater Nasional (Tena). Dari Tena lahir sederetan legenda teater Sori Siregar, Burhan Pilliang, Djohan A. Nasution, dan lain-lain.

Lalu pada 1980-an, ujar Darma Lubis, lahir Teater Que besutan Porman Wilson Manalu, D’lick pimpinan Yondik Tanto, dan  jelang 2000-an muncul Teater Rumah Mata pimpinan Agus Susilo dan Opera Batak pimpinan Thompson HS.

Sementara menurut Mihar Harahap, dunia teater di Sumut juga mengenal Teater Anak Negeri pimpinan  Idris Pasaribu, Teater Imago pimpinan D Rifai Harahap, Teater Blok pimpinan Afrion, Teater Merdeka pimpinan YS Rat, Teater Kartupat pimpinan Raswin Hasibuan, Teater Profesi pimpinan As Atmadi, dan Teater Generasi pimpinan Suyadi San.

Budaya melek teater bagi masyarakat Medan dan Su­matera Uta­­­­ra umum­nya, menurut se­jarawan Ich­wan Az­hari sudah be­r­umur le­bih dari satu abad. Pada s­a­at bersa­ma­an, sejak 1900 -1935 masyarakat di Medan su­dah terbiasa me­nonton pertunjukan teater, baik yang disebut teater tradi­sional, transisi maupun modern.

“Dari mandu, makjong, opera bangsawan, opera Batak sampai teater modern,” ka­ta Ichwan Az­hari. Pada 1935 surat kabar  Moe­tia­ra edisi  26 Ok­tober 1935 dan 2 No­vem­ber 1935 me­n­u­lis, per­tun­jukan  Dar­da­nela (Miss DJA) ke Me­dan mem­ba­wa nuansa baru  per­teateran di Medan. Disebutkan, Dar­danela grup yang menjadi cikal bakal teater modern  di Medan. Dalam edisi 2 November dise­butkan, pertunjukan Dardanela ber­langsung selama sepekan dan sukses meng­galang penon­ton yang bahkan banyak tidak kedapatan tiket. 

Antusiasme masyarakat me­nonton teater, menurut Ichwan Azhari, menunjukan tingginya tingkat literasi atau apresiasi masyarakat terhadap seni pertunjukan. Padahal saa itu, jumlah kaum sekolahan atau golongan terdidik, belumlah sebanyak seperti sekarang.

“Ironisnya pertunjukan teater sekatang bertahan hanya 1 malam, paling lama 2 malam dengan jumlah penonton paling banyak mungkin seribu orang, padahal pada 1935, pertunjukan teater bisa bertahan 14 hari dan harga tiket tak ada diskon,” tuturnya. Semua data itu menunjukkan bahwa teater tradisional, transisi dan modern secara bersamaan telah ada di Sumut.

Ichwan mengatakan, pembabakan teater versi Jacob Sumardjo atau Muhammad TWH yang membabakan  teater dalam tiga periode, tak berlaku di Medan. Penyebabnya ketiga jenis pertunjukkan itu telah dipertunjukkan pada sebuah fase yang sama.

Ruang Ekspresi

Medan sebagai kiblat teater, termasuk juga sastra, sejak penghujung 2000-an memang tinggal cerita sejarah. Kehidupan teater memang masih berdenyut, tapi menurut Darma Lubis, sudah lemah. Teater masih ada, pertunjukan masih ada. Na­mun lebih sebagai kegiatan sampingan para pegiat teater. Mereka berkarya bukan me­menuhi kebutuhan berke­se­nian, tapi lebih untuk me­me­nuhi pesanan me­nye­marakkan sebuah event tertentu, di daerah maupun pada aras nasional.

Penyebab semua kelesuan itu beragam. Selain masalah klasik minimnya dukungan dana, baik dari pemerintah atau swasta, anggota Komite Sinematografi dan Multimedia Dewan Kesenian Medan ini juga menye­but manajemen berteater yang lemah. Ba­nyak grup teater yang tak punya badan hu­kum dan AD/ART. Akibatnya susah men­dapat akses pendanaan dari pihak pemerintah mau­pun swasta.

“Mereka juga jauh dari akses informasi para pe­ngambil keputusan,” ujar pria yang pada 1999 pernah me­nyutradari naskah Busung (1999) di Yogyakarta dan lakon Raja Catur (2014) yang dipentaskan di Bali, Yog­yakarta, dan Medan itu.

Di luar semua itu, anggota Dewan Pengawas Koalisi Seni Indonesia 2013 itu menyebut, faktor pemahaman tentang ruang ekspresi yang keliru. Sebagian memahami keberadaan panggung sebagai kewajiban negara. Karena itu panggung diartikan sebagai gedung pertunjukkan. Alam pikir seperti itu harus diubah.

Jika panggung adalah tempat berekspresi, maka setiap ruang bisa menjadi panggung. Karena itu panggung bisa di mana saja, ter­gantung  siapa yang akan menonton sebagai kelompok penerima pesan. Bersama Teater Profesi, Darma lubis pernah membuat pentas di Mapple Theatre, sebuah hotel ber­bintang di Medan dan pertunjukan itu sukses. Kursi penonton penuh terisi sekali­pun pertunjukan berlangsung 2 hari.

Panggung juga termasuk ruang maya. Pegiat teater sekarang ini menurutnya tak bisa mengelak dari revolusi teknologi komunikasi massa berbasis internet. Piranti media sosial seperti youtube harus dimanfa­atkan sebagai ajang promosi yang murah.

“Seperti pengakuan Rita Ratu Mona, sebagai kurator teater, ia sulit mendapatkan data teater di Sumut yang mau dikurasi. Padahal dia mengandalkan mesin pencari informasi untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan teater,” katanya. Darma Lubis memberi saran agar grup teater menjadikan medsos sebagai media untuk dokumentasi sekaligus publikasi berbagai aktivitas seni teater.

“Lha wong dakwah saja udah di-youtube-kan bisa punya viewer antara 10 ribu hingga jutaan. Bayangkan benefit yang didapat jika sebuah grup tea­ter meng-upload konten seca­ra reguler,” katanya. Tentu saja isi konten yang diung­gah harus sesuai dengan kelompok milenial.

Sekalipun tafsor tentang ruang ekspresi harus fleksibel, namun Darma Lubis menya­dari infrastruktur teater masih dibutuhkan. Dalam sebuah kota, infrastruktur kesenian adalah cerminan kecerdasan budaya di kota tersebut. Ia setuju bahwa pegiat teater harus berjuang merebut pengadaan infrastruktur tersebut dari negara, apalagi setelah ada Undamg-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaaan.

“Merujuk pada sejarah teater di Eropa misalnya, teater itu dulu tontonan kaum menengah ke atas secara ekonomi dan pendidikan. Hal ini memperlihatkan para pejabat Sumut dan Medan belum berada di bawah posisi kecerdasan budaya yang diharapkan,” ujar Darma Lubis.

Sebenarnya dalam sejarah perkembangan insfrastruktur seni budaya, Kota Medan  pernah memiliki infrastruktur seni pertun­juk­an terbaik di Asia Tenggara di era 1970-an.  Itu terbukti dengan dibangun gedung Tapian Daya, akronim dari Taman Impian Kebuda­yaan Sumatera Utara.

Penggagasnya antara lain  Burhan Piliang, Zakaraia M Passe,  Rusli A Malem, dan Zaidan BS. Dibangun pada masa Gubenur Marah Halim Harahap dan selesai dibangun pada 1978. Sedari awal Tapian Daya diperuntukkan sebagai pusat kesenian dan panggung  teater, auditorium, gedung bios­kop,  ruang tari, ruang teater, ruang seni­rupa, studio mini film, wisma seni, dan bangunan perkantoran. Namun sejak di­ta­ngani pihak ketiga, infrastruktur itu tidak lagi menjadi pusat kesenian, khususnya seni pertunjukan.

Persoalannya bagaimana mengembalikan hak para seniman teater agar  ada lagi infrastruktur kesenian seperti Tapian Daya di Sumut?

Modal sebenarnya sudah ada. Infra­struk­tur regulasi sudah ada. Para seniman teater juga sudah bermusyawarah. Bahkan sepakat membentuk forum Koordinasi/Komunikasi Teater Sumatra Utara yang bertugas sebagai sentra informasi teater (pertunjukan, diskusi, workshop, laboratorium, literasi) dan pelaksanaan MRT 2018 di Rantauprapat.

Musyawarah seniman juga sudah menun­juk Yan Amarni Lubis sebagai koordinator forum. Jadi mari kita tunggu perjuangan mereka mewujudkan ruang ekspresi untuk mendinamisasi dan mengem­balikan marwah perteateran di Medan dan Sumutera Utara.

Salah satu pementasan di luar ruang oleh peserta MRT Sumut 2017

Rita Matumona saat memberi pembekalan  dalam  workshop MRT Sumut 2017

Para pemateri dalam diskusi MRT Sumut 2017 bersama sejumlah peserta

Agung Suharyanto  saat memberi pembakalan olah tubuh dalam workshop MRT Sumut 2017

Sejumlah bilboard pementasan dari grup teater pesertta Malam Renungan Teater Sumut 2017

()

Baca Juga

Rekomendasi