Kumpulan Cerpen Bahasa Batak;

Ilu ni Dainang dan Andung

Oleh: Ris Pasha

SEJAK orde baru, tak ada la­gi buku yang beredar dalam ben­tuk cerita dalam bahasa Ba­tak. Jangankan buku, turi-turian (cerita lisan) yang biasa dipen­taskan pun menghilang.

Sampai pada 1973, di berberapa daerah perkampungan bahkan ibukota kecamatan di (eks) Tapanuli Utara dan Tapa­nu­li Tengah, masih ada opera Batak dipentaskan. Mereka mem­bawakan cerita-cerita ten­tang Batak.

Muncullah mobil unit penera­ng­an dari Departemen Penera­ngan. Para Jupen (Jurupenerang­an) selain memutar berbagai film baik dari luar maupun buatan Pe­r­usahaan Film Nasional (PFN), juga mengadakan pertun­jukan kesenian. Saat itulah, kesenian daerah seperti opera Batak, teater bangsawan, tonil China dan ketoprak dor, perla­han meredup.

Berkisar dua tahun terakhir, dimulai oleh Saut Poltak Tambu­nan, menerbitkan buku kumpul­an cerpen. Kumpulan cerpen itu dalam bahasa Batak. Saut Poltak Tambunanpun menerima Anu­ge­rah Rancage. Yayasan Ranca­ge, dimotori oleh seniman/buda­yawan Ajip Rosidi di Bandung. Rancage untuk membangkit sastra daerah dan bahasa daerah.

Medan tak mau ketinggalan. Tersebut nama penulis cerita pendek dalam bahasa Batak, M. Tansiswo Siagian. Dalam dunia maya lebih dikenal dengan panggilan si’Palambok Pusupu­su.

Dia pun menulis sebuah buku berjudul Sonduk Hela. Sonduk Hela artinya, menantu laki-laki yang dipilih. Pada 24 Februari 2017, M. Tansiswo Siagian di­anugerahi Rancage 2017 ditam­bah uang pembinaan dari Yaya­san Rancage Bandung.

Setelah Sonduk Hela -pernah diresensi tahun lalu-, kini mun­cul bukunya yang kedua. Ju­dulnya Ilu ni Dainang. Artinya, air mata ibu.

Ada 11 cerita pendek yang terkumpul dalam buku ini. Se­te­lah penulis menelitinya, tak sa­tu pun dari 11 cerpen itu ada cerpen berjudul Ilu ni Dainang.

Penulis membacanya satu persatu. Ternyata judul buku dari kumpulan cerpen ini, adalah te­manya. Semua cerita pendeknya bertema Ilu ni Dainang.

Semua cerpen dalam buku ini berkisah, bagiaman seorang ibu (perempuan Batak) bekerja keras untuk keluarganya. Selain beker­ja keras, dia juga wajib mengurus suami dan anak-anaknya.

Perempuan Batak yang siap menembus dinginnya pagi, be­kerja di sawah atau ladangnya. Mengucurkan keringat saat ma­tahari menyengat tubuhnya di si­ang hari. Kemudian harus pu­lang saat senja tiba dalam lanun kabut yang dingin.

Setiba di rumah, dia harus me­nyiapkan hidangan untuk anak dan suaminya, bila anak se­dang atau masih kecil.

Dalam pahit getirnya, “inang” terus berjuang untuk anak-anak­nya. Juga untuk suaminya. Se­telah anak mereka sarjana, me­reka menduduki jabatan yang baik pada berbagai instansi. Bah­kan ada yang menjadi jenderal, dengan kemilau bintang di pun­dak anak mereka.

Sang anak pun menjemput sang ibunda untuk tinggal ber­sama mereka. Mereka mengira ibu mereka adalah ibu zaman now. Sang ibu tak bebas me­makai sirih. Dia harus makan si­rih di belakang rumah, karena pembantu pak jenderal marah. Takut lantai jadi kotor dan sejuta pantangan lainnya.

Begitu sang jenderal pulang kerja pada malam hari, isterinya melarang si ibu untuk berbicara dengan anaknya. Sang jenderal begitu letih bekerja dan wajib harus beristirahat. Padahal bagi ibu, dia ingin sekali ngobrol de­ngan putranya itu.

Ketika kecil, dia adalah anakku, setelah jenderal dia bu­kan anakku lagi, batin si ibu. Dia minta pulang ke kampung halaman.

Jenderal dan adik-adiknya yang juga punya kedudukan pen­ting di pemerintahan, memba­ngun rumah gedung di sisi rumah tua mereka. Perabotan lux dan tempat tidur yang lebuh dan em­puk.

Hanya semingu ibu mau tidur di rumah baru yang lux itu. Dia takbisa lagi bermimpi bertemu dengan suaminya, ayah si jen­de­ral. Ibu kembali tidur di gubuk re­ot beralaskan tikar dalam di­nginnya cuaca malam.

Selimut tebal dan tempat tidur empuk, tak bisa membuatnya ter­lelap tidur apalagi tidur nyenyak. Sedang di gubuk reot, ber­alaskan tikar dia bisa tidur nyenyak.

Ternyata psikologi si ibu tidak dikenal oleh anak-anaknya. Anak yang sembilan bulan lebih dikandung si ibu dan dua tahun le­bih mereka masing-masing di­susui si ibu.

Kenangan indah bersama su­aminya almarhum dan ketika dia membesarkan anak-anaknya. Itu­lah yang membuatnya nye­nyak tidur dalam gubuk reotnya.

Ibu selalu merintih dalam tangisnya, karena ibu merasa anak-anaknya bukan miliknya lagi. Sebenarnya, anak-anak si ibu, tidak megenal siapa ibu mereka secara psikologis.

Dalam kumpulan cerita pendek Ilu ni Dainang ini, ba­nyak di­temukan bahasa Batak yang su­dah jarang dipakai. Bahkan banyak bahasa Batak yang sudah tak kedengaran lagi oleh orang Ba­tak generasi zaman now.

Baik orangtua maupun kaum muda, menurut penulis wajib mem­beli dan membacanya. Ba­nyak ilmu tentang Batak ditemui dalam buku ini. Horas.

()

Baca Juga

Rekomendasi