Oleh: Pramudito
PERS atau media-massa sering disebut sebagai kekuatan keempat dalam suatu negara, setelah lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tapi itu hanya berlaku di negara demokratis. Semakin demokratis suatu negara, semakin besar peran media-massa dalam proses kehidupan demokrasi negara yang bersangkutan. Bagaimana di Indonesia sendiri?
Sejak memasuki zaman reformasi, media-massa semakin besar peranannya karena mempunyai kebebasan yang lebih luas dibandingkan dengan masa sebelumnya. Media-massa Indonesia pernah mengalami masa keemasan dalam zaman demokrasi liberal dulu, yakni sejak tahun-tahun 1950-an hingga memasuki zaman demokrasi terpimpin yang represif mulai tahun 1959.
Mengapa di negara demokratis peranan media massa begitu besar? Karena adanya kebebasan pers itulah. Media-massa yang terdiri dari media cetak dan elektronik, memiliki kebebasan untuk menurunkan berita apa pun untuk konsumsi masyarakat. Masyarakat dapat mengakses berita dari media yang dipilihnya. Dari berita-berita yang disajikan dapat menambah pengetahuan pembaca atau pendengarnya. Bila berita-berita itu dianggap mengandung kebenaran, maka untuk tingkatan lebih lanjut akan terbentuk opini atas suatu kejadian penting dan hal itu akan memengaruhi masyarakat pembaca/pendengar untuk menganut opini yang tersebar dan akhirnya selain sempurna juga menjadi opini publik (public opinion). Maka disinilah secara garis besar dampak nyata betapa media-massa mempunyai peranan besar dalam membentuk opini masyarakat.
Di zaman reformasi ini, lebih-lebih ketika dunia memaski abad ke-21 atau sering disebut abad milenial, peranan media-massa menjadi lebih penting. Media massa konvensional yang terdiri dari media cetak dan elekronik, karena lebih diperluas lagi memasuki fase baru berupa media digital sehingga akses-akses informasi lebih mudah diunggah melalui media online. Telpon genggam atau smartphone atau gawai atau apa pun namanya kini sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Semakin sulit mencari anggota masyarakat yang tidak mempunyai atau mengakses gawai yang semakin canggih. Berita-berita atau jenis-jenis informasi lain dengan lebih mudah diperoleh dengan membuka internet. Melalui internet anggota masyarakat lebih mudah lagi mencari informasi dalam berbagai bidang secara cepat, lebih gamblang daripada media cetak atau elektronik yang sebelumnya selama berpuluh-puluh tahun menghinggapi konsumen pembaca atau pendengar. Mulai saat itulah masyarakat Indonesia memasuki atau mengenal media baru yakni media-sosial.
Media-sosial
Nah, perkembangan media online tersebut ternyata lama kelamaan juga mulai menampakkan aspek negatifnya. Untuk kepentingan-kepentingan tertentu dari produser berita tidak jarang berita atau informasi yang disuguhkan juga mengandung konten negatif, seperti berita bohong, bombastis yang kemudian dikenal sebagai hoax. Berita-berita hoax itulah yang kini semakin merajalela di Indonesia. Kontens hoax selain berisikan berita-berita bohong di bidang politik, sosial dan juga kehidupan pribadi tokoh-tokoh masyarakat atau figur publik, dimaksudkan agar masyarakat memercayai berita-berita bohong tersebut dan lebih jauh diharapkan terbentuk opini umum yang akan memengaruhi pembentukan opini di kalangan masyarakat luas secara keseluruhan. Pada tahun lalu Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) melakukan survai yang hasilnya menyebutkan bahwa tak kurang dari 44,3 persen responden menerima berbagai berita bohong setiap hari. Disebutkan bahwa masyarakat yang kurang kritis didera berita bohong akan sangat mudah terprovokasi. Apalagi, mayoritas responden mengaku sering menerima berita bohong mengenai sosial politik, khususnya pilkada dan pemerintah (92 persen) serta sentimen suku, agama, ras dan antar-golongan (89 persen).
Media-sosial (Facebook, Instagram,Youtube, WA dan lain-lain) sebagai “anak kandung” media massa konvensional semakin merambah masyarakat, bahkan intensitasnya dan kecepatannya lebih tinggi dan canggih dibandingkan dengan media konvensional. Dengan demikian media-sosial sebagai bagian penting dari media-massa sekarang semakin diperhitungkan oleh negara mana pun akan perannya menggugah masyarakat serta yang tak kurang pentingnya membentuk opini umum sebagai salah satu tujuan utama dari produser kontens sosial untuk jangka ke depan. Meskipun demikian salah satu bentuk media konvensional seperti media cetak masih eksis dan di negara kita beberapa media cetak seperti suratkabar masih tetap berkembang seperti yang masih terjadi di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan dalam batas-batas tertentu di Makassar. Selapisan atau kelompok intelektual kita masih menggantungkan kebutuhan akan berita dari media cetak. Di Jakarta sendiri abang-abang angkot masih sempat baca koran lokal untuk memperoleh berita-berita aktual seputar kehidupan ibukota dan berita-berita hoax mengenai kehidupan pribadi kalangan selebriti. Sementara majalah-majalah berita kian susut saja tirasnya, kecuali beberapa yang masih menjadikan golongan menengah atas dan pebisnis sebagai pangsa pasarnya. Jadi sebenarnya di negara kita bagaimana pun canggihnya media digital dalam batas-batas tertentu masih belum membunuh habis media cetak dan juga media elektronik seperti radio dan televisi. Orang-orang yang sarapan pagi hari sambil menikmati secangkir kopi masih ingin ditemani koran pagi yang baru terbit.
Maka baik media konvensional mau pun non-konvensional masih bisa hidup berdampingan di Indonesia untuk menjalankan misinya yakni menyuguhkan informasi berita dan juga pembentukan opini. Sebagaimana diketahui Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manuia juga mengatakan bahwa hak fundamental dari kebebasan berekspresi mencakup kebebasan “untuk mencari, menerima, serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa pun dan dengan tidak memandang batas negara”.
Kini rakyat Indonesia bisa memilih dengan bebas bentuk-bentuk media massa yang disukainya dan juga bebas memilih atau menentukan opini yang disukainya. Masalah utama yang dihadapi pemerintah adalah bagimana agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita hoax, termasuk ketika kita kini memasuki tahun politik 2018 dan menyongsong tahun politik berikutnya 2019.
Berbagai regulasi sudah dan akan disiapkan untuk memberikan sanksi bagi produser dan penyebar berita-berita hoax yang pasti akan mengganggu kestabilan dan ketertiban masyarakat. Ya, apa boleh buat, itu semua merupakan risiko hidup di zaman milenial yang serba digital, serba cepat dan dengan perkembagan yang tak terduga seiring dengan kemajuan teknologi yang terus berproses, dimulai dari negara-negara maju.
Nah, bagaimana dengan khusus pembentukan opini politik? Dalam hubungan ini saya pandang parpol-parpol sekarang semakin surut pengaruh dan peranannya dalam membentuk opini publik dalam ikhwal perkembangan politik. Pada zaman demokrasi liberal dulu, seperti telah disinggung dimuka, yakni sekitar tahun-tahun 1950-an peran parpol dan pemimpinnya serta pers dalam membentuk opini publik masih besar sekali. Setiap langkah dan atau sikap parpol dan pemimpinnya biasanya menjadi rujukan bagi massa atau anggota parpol yang bersangkutan. Lebih-lebih lagi ketika itu masih kental dengan ideologinya masing-masing. Setiap parpol apalagi parpol besar mempunyai koran atau majalah yang menjadi corong parpol. Di media cetak itulah pimpinan parpol memuat tulisan-tulisan dan opini akan perkembangan atau situasi politik. Tapi pada masa kini, ketika berbagai survai nasional menunjukkan bahwa masyarakat semakin kurang kepercayaannya pada parpol, maka peran parpol sebagai pembentuk opini publik juga semakin surut. Berbagai skandal politik dan juga korupsi yang melanda tokoh-tokoh atau politisi baik di lingkungan legislatif mau pun eksekutif ikut mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap parpol secara drastis. Maka adalah tugas parpol dan pimpinannya untuk memulihkan kewibawaan parpol agar masyarakat dipulihkan kembali kepercayaannya kepada parpol. Parpol yang tidak berwibawa juga tidak disukai masyarakat termasuk dalam hal opini yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan kalangan pemimpin parpol yang bersangkutan.
Ketimpangan diatas merupakan tugas segenap slagorde bangsa untuk segera memulihkannya, termasuk pada masalah pembentukan opini publik. Masyarakat menginginkan pemerintahan yang stabil dan sehat, demikian juga parpol-parpolnya yang selama ini memberikan kesan hanya sebatas alat untuk meraih kekuasaan semata-mata.
Sekali lagi, sebagai peringatan bagi parpol, bahwa untuk saat ini media-massa termasuk media-sosial masih lebih unggul daripada parpol dalam pembentukan opini publik bagi masyarakat yang menginginkan kehidupan bernegara dan berbangsa yang semakin demokratis!
***
Penulis pemerhati politik, mantan diplomat