Semua akan Belanja Online pada Waktunya

Oleh: Sidik Nugroho

DUA hingga tiga tahun lalu, orang se-Nu­santara heboh dengan batu akik. Saya awal­nya termasuk yang ku­rang peduli de­ngan kehebohan itu se­lama beberapa bu­lan. Saudara dan teman-teman yang ka­dang saya jumpai di warung kopi sel­alu membincang batu akik pada berbagai ke­sempatan, dan saya masih tetap pada pendirian, tak mau ikut-ikutan.

Sampai pada suatu hari, sekitar bulan Ma­ret 2015, saya ikut saudara saya me­lihat pameran batu akik di Rumah Ra­dakng, Pontianak, tempat yang sering di­gunakan menyelenggarakan berbagai aca­ra. Saat melihat-lihat, saya memfoto beberapa batu kecubung berasal dari Ke­tapang yang menarik minat saya. Foto-foto itu saya unggah di akun Fa­cebook saya.

Sungguh tak terduga, seorang teman lama saya yang dulu sekampus dengan saya mengirimi saya pesan, menanyakan harga batu itu. Batu kecubung itu meng­ingatkan teman saya akan kota di mana ia dibesarkan, Ketapang, yang sudah ia ting­galkan sekian tahun, lalu pindah ke Sidoarjo.

Saya pun bertanya kepada pedagang­nya, berapa harga batu itu. Kepada teman saya, harganya saya naikkan kalau tidak salah ingat sekitar Rp75.000,00. Deal. Mendapatkan untung Rp75.000,00 hanya dengan modal memfoto batu sung­guh mengasyikkan. Sejak teman saya mem­beli batu kecubung itu, saya sering keluar-masuk toko-toko batu akik di Pon­tianak.

Di toko-toko batu akik, juga di wa­rung-warung kopi, yang saya bicara­kan dengan orang-orang hanyalah batu akik. Kalau malam Minggu tiba, saya nong­krong di rumah pengasah batu, mengo­brol­kan batu akik sampai larut malam. Se­mua orang tampaknya ingin kembali ke zaman batu. Kiriman di akun Face­book saya pun didominasi foto-foto batu akik. Pembeli-pembeli baru pun berdata­ngan.

Kejayaan batu akik redup selang tujuh atau delapan bulan sejak batu kecubung itu dibeli teman saya. Selama tujuh atau delapan bulan itu, secara tidak langsung saya sudah menjadi pelaku jual beli on­line, hal yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan, walaupun dengan cara yang se­derhana dalam arti tidak sampai mem­buat iklan atau informasi produk di toko online.

Harbolnas

Belanja online sudah makin akrab di mata publik beberapa tahun belakangan. Keponakan-keponakan saya yang masih SD dan SMP beberapa kali membeli tas dan mainan di toko-toko online. Kebera­daan toko online dapat membuat toko fi­sik kalah saing. Mungkin kita masih ingat berita tentang mall-mall yang sepi be­berapa bulan lalu. Dunia pemasaran ber­ubah, yang tidak berinovasi mengikuti tun­tutan zaman yang tampak serba cepat akan sangat mungkin ditinggalkan dan terpinggirkan.

Suatu ketika, saya diminta ayah saya men­cari sebuah buku di toko buku. Toko itu tidak terlalu besar, koleksi buku yang di­jual saya duga mencapai dua hingga tiga ribuan. Tapi, karena tidak dilengkapi dengan komputer berisi katalog yang bisa menginformasikan judul, pengarang, atau jumlah stok buku yang tersedia, men­cari buku itu terasa lama. Mungkin pen­carian itu jadi mengasyikkan kalau saya sedang luang dan ingin melihat-lihat. Tapi karena saat itu saya sedang di­buru waktu, saya pun memutuskan men­cari buku itu di toko online. Tak sam­pai semenit, buku yang saya cari ketemu.

Hari Belanja Online atau Harbolnas yang diperingati tiap 12 Desember sejak lima tahun silam mendapat perhatian besar dari masyarakat. Peringatan Har­bol­nas pun menjadi ajang bagi toko-toko online atau e-commerce untuk berupaya men­dapatkan konsumen sebanyak-ba­nyaknya. Namun, berkaca dari kejadian yang sudah-sudah, upaya itu ada yang di­lakukan dengan cara yang tidak jujur atau terlalu berlebihan.

Di sebuah toko online pernah ditemu­kan penjual yang sudah menaikkan harga barang dari harga yang berlaku secara umum untuk suatu produk yang ia jual sebelum Harbolnas, lalu memberikan diskon saat Harbolnas, sehingga sebenar­nya harga produk itu tak berubah. Tentu, bu­kannya senang, (calon) konsumen malah kesal karena ditipu.

Ketidaksiapan sistem internet juga dilaporkan terjadi tahun lalu. Ada bebe­rapa situs web toko online yang sampai down, tidak bisa diakses, karena begitu banyaknya produk dengan diskon gila-gilaan yang ditawarkan demi menarik mi­nat pembeli. Karenanya, ba­nyak tran­saksi yang batal, pembeli urung men­dapatkan produk yang didambakan.

Sebelum toko-toko online menjamur se­perti sekarang, orang memikirkan ber­bagai cara agar barang yang ia jual ter­dis­tribusi seluas-luasnya. Salah satu tek­nik yang digunakan adalah dengan meli­bat­kan partisipasi dari banyak orang se­perti distributor atau reseller, bahkan kon­sumen. Itulah yang terjadi pada sebuah bu­ku serial inspirasi-motivasi yang ter­kenal.

Buku-buku itu berjumlah hampir 70 judul, terjual hampir 90 juta eksemplar, diterjemahkan ke dalam 39 bahasa, dan menghasilkan uang 4 juta dolar Amerika untuk amal. Itulah data yang termuat dalam satu kisah di sebuah seri buku itu yang terbit pada tahun 2011. Padahal, du­lunya sebuah naskah buku itu pernah di­tolak oleh banyak penerbit. Anda mung­kin pernah mendengar serial Chicken Soup buku-buku itulah yang saya mak­sud.

Setelah terbit, dua penulis buku itu, Jack Canfield dan Mark Victor Hansen, berjuang sepenuh daya menjadikan buku-buku karya mereka diminati pembaca. Mereka tidak berhenti dan merasa puas saat ada penerbit mapan yang menjadi rekan sekerja, tidak sekadar menunggu royalti. Mereka memikirkan cara-cara promosi yang efektif sehingga penjualan buku-buku mereka mencapai angka yang fantastis.

Begitu banyak strategi yang mereka la­­kukan, antara lain masuk ke gereja, juga menggandeng toko-toko buku di ban­­dara. Hal ini menegaskan satu hal: ke­dua penulisnya yakin seyakin-yakin­nya bahwa buku yang mereka tulis dan ter­bitkan layak untuk dibaca sebanyak mungkin orang.

Dan strategi penting yang ada dican­tum­kan di tiap buku serial itu adalah tanta­ngan dari kedua penulisnya untuk pem­baca buku mereka, yaitu ikut ber­partisipasi. Tentu, tantangan itu membuat se­bagian pembaca yang tergerak menulis jadi tergugah ingin tahu, kisah-kisah seperti apa yang ada di buku itu.

Begitulah, dengan segala macam cara orang berdagang beda zaman, beda cara. Harbolnas, yang begitu diminati ma­syarakat terlepas dari semua kekura­ngan di atas setidaknya menya­darkan, bah­wa inovasi adalah mutlak dalam ber­bagai bidang kehidupan, apalagi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutu­han hidup banyak orang. Semua orang akan berbelanja online pada waktunya, ketika toko-toko fisik yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari tak menye­dia­kan produk yang dibutuhkan.

Namun, yang tak bisa ditemui dari be­lanja online adalah interaksi-interaksi ke­manusiaan yang bersahaja. Seorang te­man saya di pasar tradisional pernah mem­beli wajik, jajanan pasar yang terbuat dari ketan. Saat teman saya menanyai har­ganya sebuah, penjualnya menjawab Rp1500,00. Teman saya menyodorkan uang Rp5000,00, dan si penjual memasuk­kan empat buah wajik dalam kantong plastik sambil tersenyum. Teman saya pun ikut tersenyum.

Senyum pedagang, senyum pembeli, be­tapa mustahil kita menemukannya di se­buah transaksi di toko online, kecuali da­lam bentuk emoticon atau sticker. Itu jugalah yang membuat, suatu ketika, di cerita yang pernah saya baca, seorang nenek rela antre mengambil uang tabungan. Ketika ia dipanggil, teller tersenyum dan berkata, “Ibu, daripada antre, bisa kok ambil uang di ATM.”

Nenek itu menjawab, “Betul, Nak. Tapi kalau mengambil uang di ATM, tidak ada yang menyapa saya sambil tersenyum.” 

Selamat berbelanja online, semoga hari-hari ini hidup Anda penuh dengan senyuman. ***

Penulis Guru dan penulis lepas

()

Baca Juga

Rekomendasi