Oleh: Muhammad Irsyad
EDY Rahmayadi dan Musa Rajekshah baru saja resmi bertugas sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara. Kedua pemimpin baru ini telah ditunggu oleh segudang permasalahan yang ada di Sumut, dan menjadi pemangku harapan banyak orang untuk membawa provinsi ini ke arah yang lebih baik. Khusus sang Gubernur baru, sepertinya harus memutar otak lebih dalam, karena saat ini beliau tak hanya bertanggung jawab untuk masyarakat Sumut, melainkan juga untuk masyarakat sepakbola Indonesia. Edy Rahmayadi, namanya kemudian semakin kencang diperbincangkan publik karena saat ini beliau baru saja resmi memiliki dua jabatan sekaligus: Gubernur Sumut dan Ketua Umum PSSI.
Sejak diketahui akan maju dalam pemilihan Gubernur Sumut, hingga dipastikan menang dalam perhitungan suara, Edy Rahmayadi terus mendapat tekanan yang begitu kuat dari publik sepakbola nasional. Tekanan tersebut tak lain karena posisinya yang juga masih menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) hingga tahun 2020 mendatang. Banyak yang meyakini bahwa sepak bola Indonesia tidak akan pernah maju dan akan kembali menemui jalan suram jika polemik dalam tataran kepengurusan PSSI ini tak kunjung usai, apa lagi bila dipimpin oleh seorang yang juga punya jabatan politik yang tidak main-main di daerah lain. Emerson Yuntho, seorang praktisi olahraga, kemudian memulai sebuah petisi di Change.org yang meminta agar Edy Rahmayadi lebih baik mundur sebagai Ketum PSSI dan fokus menjalankan tugasnya sebagai Gubernur Sumut lima tahun kedepan. Petisi tersebut, setidaknya hingga tanggal 6 September 2018,ditandatangani hampir sebanyak 58 ribu orang.
Soal Hukum
Edy Rahmayadi sebenarnya sudah jauh-jauh hari merespon protes dan tekanan yang datang bertubi kepadanya. Mantan Pangkostrad ini mengatakan di banyak media, bahwa tak ada hukum yang dilanggar bila ia merangkap jabatan akibat terpilih menjadi Gubernur Sumut. Namun, bila ditelisik pada regulasi yang ada, terdapat Surat Edaran Mendagri Nomor 800/148/sj 2012 tanggal 17 Januari 2012 tentang Larangan Perangkapan Jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah pada Kepengurusan KONI, PSSI, Klub Sepakbola Profesional dan Amatir, serta Jabatan Publik dan Jabatan Struktural. Melihat Surat Edaran Mendagri yang teramat jelas isinya tersebut, cukup aneh rasanya bila beliau dengan percaya diri mengatakan bahwa tidak ada hukum yang dilanggar dari rangkap jabatan tersebut.
Polemik tak sampai disitu. Isu bahwa FIFA akan kembali turun tangan atas status kepengurusan Edy Rahmayadi di PSSI belakangan mulai mencuat. Hal tersebut tak lain karena Timor Leste, pada tahun 2014 lalu sempat disanksi oleh FIFA karena Ketum PSSI-nya terlibat kasus korupsi. Kasus tersebut juga disinyalir akibat posisi sang Ketum yang pada saat itu juga memiliki jabatan politik di tempat lain. Setelah kasus di Timor Leste tersebut, FIFA secara tegas melarang ketua federasi sepak bola suatu negara memiliki jabatan politik di tempat lain, tentu jika tidak ingin federasinya dibekukan. Tentu saja, sangat riskan bila urusan sepakbola dicampur-baurkan dengan urusan politik.
Wajar penikmat sepak bola tanah air kembali khawatir, mengingat ada “trauma” mendalam ketika PSSI dibekukan oleh FIFA pada tahun 2015 silam. Kala itu, sehebat dan setenar apa pun pemain sepak bola yang bertanding di atas rumput Indonesia, dianggap tak lebih dari sebuah pertunjukan tarkam (antar kampung). Terlebih, akan berdampak pula pada penyelenggaraan liga yang sudah pasti akan amburadul, Timnas Indonesia yang tak bisa bertanding di level internasional, hingga para pesepakbola profesional Indonesia yang bakal terlantar tak tentu arah. Siapa pun pasti tidak ingin sepakbola kita mati suri lagi, terutama di saat gairah sepakbola di Indonesia sedang tinggi-tingginya seperti sekarang ini setelah pada beberapa event internasional - termasuk Asian Games 2018 kemarin, permainan Timnas sepakbola kita menunjukkan peningkatan yang semakin membaik dibawah arahan pelatih asal Spanyol, Luis Milla Aspas.
Soal Etika
Bila hendak dicermati lebih dalam, persoalan rangkap jabatan di PSSI bukan hanya soal ada hukum yang dilanggar atau tidak. Pun jika memang ada hukum yang dilanggar, di luar itu, rangkap jabatan juga berbicara soal etika. Sepakbola Indonesia yang masih minim prestasi, minim infrastruktur yang menunjang, kualitas liga yang saban tahun penuh polemik, sampai pengembangan usia muda yang masih terkendala hingga saat ini, pasti membutuhkan sosok pemimpin organisasi yang benar-benar fokus untuk mengelola dan memperbaikinya.
Sama halnya dalam memimpin Sumatera Utara, segudang permasalahan dari minimnya kualitas infrastruktur publik, jalan-jalan yang masih banyak rusak di berbagai kabupaten dan kota, masalah ekonomi dan kemiskinan, hingga tingginya angka kriminalitas yang masih menjadi persoalan pun sama sekali tidak cocok diselaraskan dengan program-program yang ada di PSSI. Artinya, memimpin PSSI dan memimpin Sumatera Utara adalah dua hal yang jauh berbeda dan tak bisa berjalan seiringan.
Tak sampai disitu, publik pecinta sepak bola Sumut sadar betul bahwa masih ada komentar-komentar miring dari publik sepak bola nasional terkait status Edy Rahmayadi yang merupakan Ketum PSSI, namun juga masih menjadi Pembina klub sepak bola asal Sumut (PSMS Medan) yang notabene adalah klub kontestan Liga 1. Tentu, pecinta sepak bola Sumut tidak ingin klub kebanggaannya terus dianggap sebagai “anak kesayangan” PSSI. Tidak terbayangkan setajam apa lagi komentar miring dari publik setelah Jenderal bintang tiga ini turut merangkap sebagai Gubernur Sumut seperti saat ini.Ya, pada kondisi sekarang ini, Edy Rahmayadi ditekan dari segala macam sisi.
Terkait pelantikan Edy Rahmayadi sebagai Gubernur Sumut, masyarakat Sumut tentu berharap sangat banyak kepada beliau untuk menjawab persoalan di Sumut yang selama ini tak kunjung usai. Di satu sisi, ada pula masyarakat sepak bola nasional yang dulunya berharap banyak kepada Edy Rahmayadi untuk memajukan sepakbola di Indonesia, sekarang harus menelan kenyataan bahwa Ketua Umumnya juga punya tanggung jawab di tempat lain yang tidak bisa dianggap enteng: seorang Gubernur di provinsi dengan penduduk terbanyak nomor satu di luar pulau Jawa.
Lalu, bagaimana pula perasaan masyarakat Sumut yang juga sebagai pecinta sepak bola menanggapi hal ini? Tentu saja, bagi masyarakat Sumut yang juga merangkap sebagai pecinta sepak bola nasional, rasionalitas tetaplah dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan porsi dan prioritas masing-masing. Dan tentu pula, bagi Gubernur Sumut yang juga merangkap sebagai Ketum PSSI, ketegasan seorang pemimpin selalu dibutuhkan pada segala kondisi, terutama ketika dituntut untuk hanya memilih satu dari dua pilihan yang ada. Istilahnya, agar semua sama-sama senang. Kami senang, Jenderal juga senang.
***
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unsyiah Banda Aceh yang berasal dari Langkat, Sumatera Utara.