Oleh: Djoko Subinarto
Para lulusan kampus perguruan tinggi kita dewasa ini dihadapkan pada tantangan dunia kerja yang kian berat. Sayangnya, sistem pendidikan tinggi kita dinilai masih kurang adaptif terhadap perkembangan dunia kerja mutakhir. Buntutnya, banyak lulusan perguruan tinggi kita kurang memiliki kesiapan yang memadai untuk masuk dunia kerja.
Suka atau tidak, kita semua saat ini telah berada di zaman yang nyaris serba digital. Berbagai inovasi dahsyat lahir dan mendorong munculnya apa yang disebut sebagai era disruptif, yang ditandai dengan banyaknya perubahan serta guncangan yang menerpa berbagai sektor kehidupan kita. Maka, tidak perlu heran apabila sebagian kalangan kemudian menganggap kemajuan di sektor teknologi informasi dan komunikasi ini sebagai musuh yang bisa mengancam kelangsungan bisnis yang selama ini mereka telah jalankan.
Faktanya, berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, bakal semakin banyak jenis pekerjaan di masa depan dilakukan lewat sistem otomatisasi. Dengan kata lain, berbagai jenis pekerjaan yang sekarang ini dikerjakan oleh tenaga manusia, di masa yang akan datang kemungkinan besar bakal dikerjakan oleh mesin atau robot.
Kaum Pengangguran
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kerja, Kementerian Tenaga Kerja, secara nasional, pertambahan jumlah sarjana di negeri ini mencapai 750 ribu-800 ribu orang per tahun. Dengan jumlah lulusan perguruan tinggi yang semakin melimpah-ruah sekarang ini, sudah barang tentu, membuat persaingan dalam perburuan kerja kian sengit.
Realitanya, tidak sedikit mereka yang telah lulus dari perguruan tinggi saat ini yang harus pontang-panting memburu pekerjaan ke sana ke mari. Malah, tidak sedikit di antaranya hingga bertahun-tahun sama sekali belum mendapat pekerjaan tetap, baik pekerjaan yang didambakan maupun yang tidak didambakan.
Alhasil, setelah beres kuliah, mereka terpaksa masuk dalam antrean kaum pengangguran. Padahal, sudah tidak terhitung surat lamaran yang telah dibuat dan dilayangkan ke pelbagai kantor maupun perusahaan.
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi mencatat, sekarang ini sekitar 8,8 persen dari 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana.
Ada yang berpendapat, sebagian besar mahasiswa dan calon mahasiswa kita saat ini cenderung masih menganut pola pikir bahwa modal pokok untuk memperoleh pekerjaan adalah gelar dan ijazah yang didapatnya setelah sekian tahun menempuh kuliah di bangku perguruan tinggi. Maka, begitu selesai kuliah, gelar dan ijazah inilah yang dijadikan senjata utama untuk memburu dan menyabet pekerjaan yang mereka damba-dambakan.
Sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia, tentu saja, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia di masa depan adalah menyediakan lapangan kerja. Tanpa lapangan kerja yang memadai, maka bonus demografi yang kita miliki hanya bakal menjadi petaka sosial.
Repotnya, sebagian kalangan memproyeksikan, akibat kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, jutaan posisi pekerjaan konvensional bakal menghilang di masa depan. Kendatipun demikian, hilangnya pekerjaan-pekerjaan tertentu akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, pada gilirannya akan pula melahirkan jenis-jenis pekerjaan baru yang tidak pernah ada dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sekadar ilustrasi, sepertiga pekerjaan baru di Amerika Serikat yang muncul selama 25 tahun terakhir justru sama sekali tidak pernah ada sebelumnya. Bidang-bidang pekerjaan itu hampir semuanya berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi, mulai dari pengembangan teknologi informasi, pembuatan piranti keras, pembuatan aplikasi hingga ke pengelolaan sistem teknologi informasi.
Sementara itu, sebuah kajian yang dilakukan oleh McKinsey di Prancis menunjukkan bahwa dari sekitar 500.000 pekerjaan yang hilang akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi selama 15 tahun terakhir, ternyata kemudian memunculkan sekitar 1,2 juta pekerjaan baru lainnya.
Persoalannya adalah: apakah angkatan kerja kita, termasuk mereka yang merupakan lulusan perguruan tinggi, benar-benar siap untuk mengisi bidang-bidang pekerjaan baru yang sebelumnya belum pernah ada?
Pendidikan semestinya menjadi sektor krusial dalam menyiapkan angkatan kerja yang andal. Sayang, sejauh ini, sistem pendidikan kita kerap tak mampu berlari sekencang kemajuan di sektor teknologi. Hal ini menyebabkan sektor industri kesulitan mendapatkan tenaga kerja dengan keahlian mumpuni yang mereka butuhkan.
Survei McKinsey yang dilakukan di sembilan negara dan melibatkan para pengelola korporasi sebagai respondennya menyimpulkan, sebanyak 60 persen responden menyatakan bahwa para lulusan perguruan tinggi selama ini cenderung tidak memiliki kesiapan yang memadai untuk masuk ke dunia kerja.
Survei McKinsey tersebut agaknya perlu menjadi catatan bagi dunia pendidikan kita. Bagaimanapun, apabila jagat pendidikan kita tidak mampu menghasilkan lulusan yang siap kerja karena tidak memiliki keahlian dan keterampilan yang memadai, maka kita akan semakin sulit bersaing dengan negara-negara lainnya. Di zaman globalisasi dan perdagangan bebas seperti sekarang ini, di mana arus tenaga kerja terampil bisa leluasa keluar-masuk antarnegara, kemungkinan direbutnya lapangan kerja kita oleh tenaga kerja asing bakal semakin besar.
Oleh sebab itu, institusi-institusi pendidikan kita, termasuk kampus-kampus perguruan tinggi, mesti adaptif, mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Kurikulum mesti dirancang secara kekinian dan futuristik, sehingga senantiasa berorientasi ke masa kini dan masa depan.
Pada saat yang sama, program-program pelatihan, kursus, maupun magang harus pula menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum pendidikan kita. Dengan demikian, para lulusan perguruan tinggi kita tidak gagap tatkala mereka menghadapi kehidupan nyata dunia kerja pada saat setelah mereka lulus dari kampus mereka. Untuk itu, kolaborasi antara kampus perguruan tinggi dan sektor industri mutlak diperlukan.
Di sisi lain, program kewirausahaan di lingkungan kampus perguruan tinggi juga perlu semakin digalakkan. Ini untuk menyiapkan calon-calon wirausahawan muda dari kalangan kampus. Bagaimanapun, setamat kuliah, sesungguhnya para lulusan perguruan tinggi tidak harus selalu bekerja di sebuah kantor atau perusahaan. Dengan kata lain, begitu beres kuliah, mereka sebenarnya dapat pula bekerja dengan jalan menciptakan usaha dan lapangan kerja sendiri. Bahkan, sebelum kuliah tamat, mereka bisa mulai merintis usaha sendiri yang mandiri.
Dengan demikian, mestinya tidak ada ceritanya seorang jebolan kampus perguruan tinggi harus menganggur sekian lama sembari terus keluar-masuk kantor dan perusahaan mengasong-asongkan gelar dan ijazah yang dimilikinya demi memperoleh sebuah posisi pekerjaan yang belum tentu pula sesuai dengan minat dan bakat yang bersangkutan. ***
Penulis adalah kolumnis dan esais