Manfaat Pertemuan IMF - WB di Bali

Oleh: Lukas O. M. Manalu.

Setelah dukacita yang kita rasakan ber­sama karena bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, kini Indo­ne­sia harus menjalankan tugas dan tang­gung­jawabnya sebagai bagian dari bang­sa-bang­sa di dunia. Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Interna­tio­nal Monetary Fund (IMF) - World Bank (WB) yang berlangsung mulai tanggal 8 – 14 Oktober 2018. Sejumlah orang me­min­ta untuk menunda perte­muan terse­but, juga ada yang bertanya urgency serta man­fa­at­nya bagi Indonesia.

Dapat dimaklumi kalau mereka menyampaikan pemikiran yang berbeda dengan pemerintah. Bagaimanapun Indonesia masih diliputi suasana duka. Menurut BNPB, hampir 2.000 orang korban jiwa yang sudah ditemukan. Di samping itu, berbagai kerusakan bangu­nan dan infrastruktur penting di berbagai wilayah yang ter­dampak gempa Dong­gala dan tsunami Palu.

Walaupun demikian, Indonesia adalah negara dan bangsa yang besar. Meskipun sedang sibuk melakukan recovery pasca ben­cana, pertemuan IMF - WB yang sudah diputuskan pada tahun 2015 akan diadakan di Indonesia, tidak perlu harus dihentikan. Selain persiapan yang dilakukan hingga terjadinya gem­pa dan tsu­nami sudah matang, membatalkan atau menunda pertemuan itu dapat me­nimbulkan anggapan peme­rintah tidak memiliki kemampuan manajerial, khu­sus­nya dalam manaje­men krisis. Dam­pak­nya, tentu saja pe­ngu­saha dan investor asing akan kha­watir masuk ke Indonesia.

Capaian Estafet Kepemimpinan

Pelaksanaan pertemuan IMF - WB ada­­lah salah satu hasil dari estafet kepe­mimpinan yang berhasil. Sebagaimana di­sampai­kan oleh Chatib Basri, Menteri Keuangan era pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), pengajuan Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan disampaikan pada tahun 2014, ketika SBY menjabat sebagai presiden. Setelah pre­siden dijabat Joko Widodo (Jokowi) ha­­rapan tersebut kemudian ditindak­lan­juti, hingga kemudian mendapat persetu­juan dari para pemangku kepentingan tahun 2015.

Karena itu, tidak benar infor­masi bahwa usulan menjadi tuan rumah datang dari pemerintahan Jokowi. Juga, perte­muan tersebut tidak dimaksudkan untuk me­nam­bah hutang seperti dituduhkan se­jumlah orang yang menolak acara ter­sebut. Justru seharusnya kita hormati dan hargai sikap pemerintah yang menghargai program kerja yang baik dari pemerin­tahan sebelumnya.

Walaupun visi kedua presiden berbe­da, tetapi mereka sama-sama bekerja un­tuk kepentingan Indonesia. Tentu saja pemerintahan Jokowi harus terlebih da­hulu mencermati program-program kerja yang lalu, memilih yang tepat dan layak di­lanjutkan serta memberikan manfaat. Dalam hal ini, diyakini bahwa menjadi tuan rumah pertemuan IMF - Bank Dunia akan memberi manfaat kepada bangsa dan negara.

Manfaat Pertemuan IMF-WB

Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bam­bang Yudhoyono, pada 8 Oktober lalu men­cuit di twitter mengenai manfaat per­temuan IMF -WB. Beliau mengata­kan, “pertemuan ini bisa berikan manfaat dan peluang bagi Indonesia (anggota G-20), langsung-tak langsung, jangka pendek dan jangka panjang.” Walaupun tidak dijelas­kan lebih lanjut, tapi kita dapat menangkap dan memahami yang dia maksud.

Pertama, dampaknya jangka pendek ada­lah pada pariwisata di Bali dan daerah sekitarnya seperti Lombok dan NTT. Kedatangan 32.000 anggota delegasi akan membuat pariwisata di wilayah-wilayah tersebut bertumbuh dan menghasilkan dampak positif kepada para pelaku bisnis pa­riwisata. Para peserta pasti akan melakukan transaksi yang akan menam­bah penghasilan pelaku bisnis. Peneri­ma­an Bali diperkiran Rp. 1,5 triliun yang mem­­buat per­tum­buhan ekonomi di Bali se­kitar 6,5 %. Kedua, bagi masyarakat se­lain pelaku bisnis, Luhut Panjaitan, Men­ko Kemaritiman, mengatakan per­temuan ini menciptakan lebih dari 30.000 lapangan kerja.

Ketiga, kalau pemerintah mau me­nyam­­paikan perkembangan penanganan ben­cana yang baru terjadi di Sulteng juga NTB, pertemuan ini merupakan kesem­patan Indonesia untuk menerima komit­men bantuan dari negara-negara sahabat. Ke­empat, jangan abaikan juga kesem­pat­an yang langka ini sebagai momentum untuk bertemu dan mem­presenta­si­kan gagasan program pemba­ngunan serta ca­paian-capaian Indonesia hingga saat ini kepada para pengambil keputusan dari berbagai negara, pengu­saha dan investor yang menghadiri pertemuan ini.

Akan sangat banyak waktu yang di­perlukan dan belum tentu langsung dires­pon kalau harus menemui mereka ke ne­gara masing-masing, atau mengun­dang mereka satu persatu untuk datang ke In­donesia. Dampak dari presentasi di per­­te­muan ini bisa langsung berupa pe­nan­datanganan kesepakatan kerja­sama, seperti yang terjadi hari Kamis 11 Oktober 2018 yang memastikan inves­tasi 202 triliun masuk ke Indonesia. Ba­gai­ma­napun hal ini akan berdampak pada pem­bangunan nasional dalam jangka panjang.

Kita pasti sepakat bahwa tidak ada satu pun negara di dunia ini yang dapat melakukan pemba­ngunan secara mandiri, tanpa kerjasama dan dukungan negara lain. Tidak satu pun negara yang dapat me­menuhi kebutuhannya sendiri. Kita lihat perusahaan-perusahaan raksasa di industri penerbangan seperti Boeing, misalnya. Untuk efisiensi dan karena keterbatasan sediaan bahan baku alumu­nium, Boeing bekerja­sama dengan negara lain, termasuk Indonesia, untuk pem­buat­an bagian-bagian dari badan pesawat yang mereka produksi.

Indonesia juga sama, membu­tuhkan kerja­sama negara asing untuk pe­ngem­bangan teknologi juga mendukung ketersediaan dana untuk pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia (SDM) di tanah air. Terkait pembangunan SDM, Presiden Jokowi saat diwa­wan­carai Radio Sonora menga­takan, “Ya, ke­marin 3 tahun kita konsentrasi fokus mem­bangun infrastruktur. Ke depan, pen­ting bagi kita semua untuk juga mem­bangun sumber daya manu­sia, menyiap­kan anak-anak kita, kesehatan, pemba­ngunan ekonomi rakyat termasuk BUMDes.”

Pertanyaannya, sumber dananya dari mana? Padahal kita tahu, untuk pem­ba­ngu­nan SDM tidak sedikit dana yang di­butuhkan kalau dilakukan sendiri. Ja­ngan seder­hanakan pembangunan SDM hanya sebatas belajar hingga ke perguruan tinggi. Untuk kemajuan bangsa dan men­capai keunggulan dalam persaingan glo­bal, tingkat pendidikan bukan dife­ren­siasi yang utama. Karakter manusia yang menjadi pembeda terpenting. Memiliki pendidikan tinggi tidak serta merta ber­kontribusi positif terhadap pem­bangunan bangsa bila tidak memiliki right mental attitide. Koruptor- koruptor di Indonesia bukan lulusan SD atau SMP.

Karena itu, harus dilakukan program pe­ngembangan manusia lebih dari se­kedar meningkatkan pendidikan anak bang­sa. SDM di Indonesia harus dilatih dan hidup dalam kebiasaan yang positif dan benar. Untuk tujuan tersebut, peme­rintah tidak harus mengeluarkan biaya. Melalui pertemuan IMF - WB di Bali, pe­merintah dapat mengundang dan me­yakinkan investor asing untuk mem­ba­ngun usaha di Indonesia. Kalau mereka ber­sedia, kita mendapat tempat untuk me­latih sumberdaya manusia dengan nilai-nilai unggul yang dimiliki peru­sa­haan-perusahaan kelas dunia.

Karena itu, perusahaan asing kelas du­nia bukan hanya menjadi tempat “pe­latihan” dan pembangunan karakter yang gra­tis, tetapi juga membuka banyak la­pangan kerja. Di samping itu, Indonesia juga akan mendapat manfaat dalam pe­ngembangan dan alih teknologi dari me­reka. Hal ini dampak jangka panjang yang sangat penting untuk Indonesia.

Selamat dan sukses untuk pertemuan IMF - WB di Bali.***

Penulis, Konsultan Bisnis & Dosen Praktisi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

()

Baca Juga

Rekomendasi