Bencana dan Titik Nadir Empati Kita

Oleh: Fadil Abidin.

Ketika gempa bumi dan tsunami me­lan­da Aceh pada akhir tahun 2004, kita se­bagai bangsa ber­satu. Bersatu dalam em­pati, bersatu da­lam semangat kerja­sama, gotong royong, do­­nasi dan ban­tuan mengalir dari semua pihak. Tidak ada tudingan bencana itu se­bagai azab dari Tuhan. Tidak ada ri­valitas politik pas­ca Pilpres 2004. Tidak ada golongan yang "nyinyir" dan mere­co­ki pemerin­tah. Tidak ada tudingan ma­cam-macam.

Kini menjelang Pilpres 2019, bencana alam yang berkali-kali terjadi di tahun 2018 ternyata tidak menyatukan kita se­ba­gai bangsa. Hoaks dan penyebaran ke­ben­cian justru semakin menjadi-jadi. Saat ini, ketika bencana terjadi maka tu­dingan bermunculan. Bukannya ber­satu dan menunjukkan rasa simpati dan empati.

Hoaks bertebaran memberitakan kabar palsu akan terjadi bencana susulan. Foto-foto korban dengan kondisi menge­nas­­kan tersebar di media sosial. Coba ba­yangkan seandainya jenazah korban ter­sebut anak, saudara, orang tua, suami atau istri anda difoto dalam keadaan nya­ris tanpa busana tersebar. Bagaimana pe­ra­saan anda?

Tudingan yang paling keji adalah ketika bencana itu disebut sebagai azab. Para korban adalah orang-orang yang mendapat azab dari Tuhan akibat perbua­tan­nya. Ada pula yang menyang­kut paut­kan bencana itu dengan aktivitas politik ter­tentu. Gempa bumi terjadi karena ke­pala daerahnya mendukung politisi ter­tentu. Tsunami terjadi karena si A dite­tapkan sebagai tersangka. Bencana alam bukan azab dari Tuhan, apalagi dikaitkan politik. Di mana empati kita?

Agaknya, empati kita saat ini tengah berada di titik nadir. Titik nadir adalah titik paling bawah, titik di mana rasa se­bagai "manusia" itu patut diperta­nya­kan. Manusia adalah kreasi Tuhan yang begitu unik dan spesial. Selain dibekali pe­rangkat otak untuk berfikir, juga di­bekali hati yang me­mpunyai pera­saan yang disebut empati. Em­pati adalah ke­adaan mental yang mem­­buat sese­orang me­rasa atau meng­iden­tifikasi diri­nya da­lam keadaan pera­saan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Berempati ber­arti mempunyai em­pati dan mampu me­mahami perasaan dan pi­kiran orang lain.

Hikmah Bencana

Sebagai bangsa kita harus belajar dari ke­arifan sejarah masa lalu. Pasa 1 No­pember 1755 terjadi gempa besar di Lisa­bon, ibukota Portugal. Gempa yang menurut ahli geologi masa kini diperki­ra­kan mempunyai kekuatan 9,0 skala rich­ter menyebab­kan tsunami yang dah­syat. Diperkirakan total kematian 60.000 hingga 100.000 orang, yang menye­babkan gempa ini menjadi salah satu gempa paling merusak dalam sejarah.

Gempa tersebut menyulut ketegangan sosial-politik di Portugal bahkan gugatan terhadap dogma yang ada. Gempa terjadi pada pagi hari, ketika itu semua warga Lisabon tengah merayakan Hari Semua Orang Kudus, hari besar umat Katolik.

Setelah gempa tersebut pejungga-filsuf Voltaire menggugat dalam "Poeme sur le desastre de Lisbonne" - Puisi Ben­cana Lisabon. Ia mengajukan perta­nya­an teologis, mengapa gempa terjadi? Vol­taire menuding Tuhan sebagai penyebab ben­cana. Ia mengkritik keyakinan ma­sya­rakat bahwa Tuhan itu baik, tapi nya­tanya Tuhan juga memberikan bencana.

Sementara Voltaire bergumul dengan pertanyaan mengapa. Perdana Menteri Se­bastiao de Mello yang bergelar Mar­quis de Pombal tidak berminat mem­per­tanyakan penyebab gempa dan dogma-dog­ma yang ada. Baginya, yang terpen­ting saat itu adalah bersatu, bangkit, dan be­kerja. Dia mengatur peng­organisasian usaha pembangunan dan rehabilitasi. Tim pekerja dan warga biasa dibentuk un­tuk memindahkan ribuan mayat sebe­lum penyakit menyebar. Bertentangan dari kebiasaan dan keinginan Gereja agar ribuan mayat itu dikuburkan. Tapi Pom­bal meminta ribuan mayat tersebut di­ma­sukkan ke dalam tongkang dan di­teng­gelamkan ke tengah laut agar semuanya ber­jalan cepat.

Untuk mencegah kekacauan dan pen­jarahan di kota-kota yang hancur, Pom­bal mengerahkan tentara dan mem­buat ra­tus­an tiang gantung. Siapa membuat ke­rusuhan, penjarahan, atau "nyi­nyir" ter­hadap kerajaan akan digan­tung di tem­pat umum. Tentara tersebut juga men­ce­gah agar warga yang sehat sela­mat dari ben­cana tidak lari atau ber­pang­ku ta­ngan. Mereka diha­ruskan ikut serta da­lam kerja rekonstruksi dan pem­bangun­an.

Raja dan Perdana Mentri Pombal melun­curkan usaha pem­bangunan ulang kota, merekrut arsitek, insinyur dan me­me­rintahkan semua rakyat untuk be­kerja keras. Gedung-gedung pemerin­tah dan pelayanan publik dirancang agar ta­han terha­dap gempa. Kurang dari se­tahun, kota bebas dari puing-puing. Ke­te­kunan menjadikan kota menjadi baru dan indah.

Bencana tersebut kemudian dibahas dan diminati oleh para filsuf dan ilmu­wan di zaman pencerahan Eropa. Dan per­tama kali gempa dipelajari secara ilmiah terhadap dampaknya hingga area yang luas, hal ini membawa kelahiran seismologi modern.

Empati

Lalu apakah kita sudah bersatu untuk bang­kit dan mem­bangun kembali? Be­lum. Justru yang kerap terdengar adalah ocehan para politisi yang berbeda posisi yang kian nyaring di media massa dan media sosial. "Kami akan membantu, jika pemerintah memintanya." Padahal dari dulu kita diajarkan bahwa menolong orang lain yang tertimpa musibah atau ben­cana, harus segera dilakukan, diminta atau tidak diminta. Bukan kesigapan membantu, malah yang terdengar adalah nyinyiran,"Pemerintah lamban dalam menangani bencana."

Padahal ketika ada satu orang di pihak me­reka yang meng­aku dianiaya, mereka langsung menelan hoaks tersebut dan dengan sigap melakukan konferensi pers. Ketika kebohongan tersebut ter­bong­kar, mereka dengan sigap pula me­la­kukan konferensi pers ulang untuk "cuci­tangan". Dan lagi-lagi meng­adakan konferensi pers ketika harga dolar naik terhadap rupiah.

Tapi, pernahkah mereka konferensi pers untuk menyatakan belasungkawa dan menyatakan siap sedia membantu para korban bencana? Seolah-olah pe­na­nganan bencana alam ada­lah 100 per­sen tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab semua warga negara. Empati terhadap para korban bencana dalam sekejap berada di titik nadir bah­kan hilang di telan gegap gempita berita hoaks.

Presiden, pemerintah pusat, pemerin­tah daerah, dan semua jajarannya tengah bekerja keras untuk segera memulihkan se­mua yang ada. Pemerintah punya keterbatasan, untuk itu peran serta masyarakat sangat diperlukan. Relawan perlu dike­rahkan dan donasi-donasi sosial perlu digalakkan. Pengguna medsos berlakulah arif, jangan malah menyebar hoaks dan membuat tudingan macam-macam seputar bencana. Jokowi bukanlah Pom­bal yang akan segera menggantung mereka-mereka yang "nyinyir" karena dianggap mengganggu re­konstruksi pasca bencana.

Saat ini ada kebencian yang mendalam yang diidap sebagian masyarakat terhadap pemerintah. Jadi apapun yang dibuat pemerintah akan dibenci habis-habisan tanpa logika dan akal sehat. Ada kalimat sindiran, bahwa maha benar "mereka" de­ngan segala nyinyirannya. Apapun penjelasan dan fakta yang diberikan, pasti akan dibantah oleh mereka karena kebencian dan kecanduan pada hoaks yang sangat tinggi.

Jika kita tidak bisa membantu dengan sumbangan pikiran, tenaga, dan dana, bantulah dengan doa-doa yang baik. Jika kita tidak bisa berempati apalagi mengulurkan tangan, ja­ngan­lah juga menambahi penderitaan saudara kita yang sedang terkena bencana dengan mengomentari hal-hal yang sama sekali tidak kita pahami, bonus hoaks pula.

Yang mestinya mudah tersulut emosi adalah mereka. Me­re­ka yang kehilangan keluarga, rumah, harta benda, kelapa­ran, keha­usan, dan tidak tahu harus bagaimana. Bukan hak kita yang hanya bisa menonton dan menyinyiri untuk emosi dan mempolitisasi. Sesungguhnya bencana yang pa­ling me­ngeri­kan adalah hilangnya rasa empati dan kemanu­siaan dalam diri kita. ***

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.

()

Baca Juga

Rekomendasi