Merajut Asa Melalui Dana Desa

Oleh: Riza Multazam Luthfy

MENTERI Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebuda­yaan (PMK) Puan Maharani me­nyam­paikan bahwa saat ini penye­rapan dana desa sebesar Rp 12 triliun di 434 kabupaten sudah mencapai 72 persen. Ini berarti, dana desa tahap awal yang dialokasikan pada tahun 2018 telah terserap Rp 8,68 triliun dan tersebar di 314 kabupaten.

Membangun negara dari desa merupakan sebagian program priori­tas yang diusung oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Hal ini termaktub dalam NawaCita ketiga yaitu “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.

Ikhtiar memajukan, memberdaya­kan, serta mengukuhkan eksistensi desa antara lain ditempuh oleh pemerintah pusat dengan mengu­curkan dana desa. Berpayung hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No. 6/2014), dana desa menjadi medium tercipta­nya good governance dalam kehidu­pan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagaimanapun, di dalam­nya terkandung cita-cita bangsa seka­ligus nilai dan prinsip Pancasila.

Wajah Desa

Selama tiga tahun berturut-turut, jumlah dana desa terus meningkat. Pada awal pencairannya, yakni tahun 2015, jumlah dana desa mencapai Rp 20,76 triliun dengan rata-rata peneri­maan Rp 280,3 juta per desa. Tahun 2016, jumlah dana desa meroket menjadi Rp 46,98 triliun dengan rata-rata penerimaan Rp 643,6 juta per desa. Setahun setelahnya, yaitu tahun 2017, jumlah dana desa mencapai Rp 60 triliun dengan penerimaan rata-rata per desa Rp 750 juta hingga Rp 800 juta. Adapun pada tahun 2018, jumlah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut sama dengan tahun sebelumnya. Pemerin­tah pusat mengalokasikannya sebesar Rp 60 triliun.

Pencairan dana desa sejak tahun 2015 telah mengubah wajah desa sekaligus nasib mereka yang tinggal di wilayah pedalaman. Pengguna­an­nya terbukti menghasilkan berba­gai sarana dan prasana di level lokal, se­misal jalan, jembatan, irigasi, drai­nase, serta sam­bungan air bersih. Direktur Jen­deral Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo mengklaim bahwa penggunaan dana desa tahun 2015 sebesar Rp 20,8 triliun dan 2016 sejumlah Rp 46,9 triliun genap menghasilkan lebih dari 89.000 kilometer jalan desa, 746.300 meter jembatan, 22.126 unit sambu­ngan air bersih rumah tangga, 1.700 unit tambatan perahu, 19.485 unit sumur, 3.000 pasar desa, serta 107.776 drainase dan irigasi.

Adapun pada penghujung 2017, Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo dalam Rembug Desa Nasional di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan bahwa dana desa berhasil mewujudkan puluhan ribu lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), poliklinik desa (polindes), drainase, serta ratusan bangunan penahan tanah longsor.

Data di atas menunjukkan bahwa manfaat dana desa sangat besar dalam meningkatkan kualitas ekonomi, pendidikan, pertanian, kesehatan, serta fasilitas publik, terutama di level lokal. Dana desa dipercaya mem­bangkitkan kepercayaan orang-orang desa terhadap tanah kelahirannya sekaligus membendung keinginan mereka untuk bermigrasi ke luar daerah, kota besar, sentra produksi, atau bahkan luar negeri. Selama ini, menggebunya hasrat urbanisasi dalam diri orang-orang kecil tak terlepas dari buruknya akses di tempat asal.

Digencarkannya dana desa berarti mengandung usaha memberikan ke­mudahan bagi masyarakat desa untuk mengatrol taraf hidup. Dengan demi­kian, desa bukanlah tempat bagi war­ga negara untuk mencemaskan kehi­dupannya, mengkhawatirkan masa depannya, serta mengeluhkan pende­ritaannya, melainkan sarana mencari kemakmuran, mengejar kenyamanan hidup, serta mem­perbaiki kualitas diri.

Cerita Sukses

Ada banyak cerita sukses dan menggembirakan tentang dana desa. Sejumlah daerah mampu mening­katkan tingkat perekonomian masya­rakat dengan memaksimalkannya. Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, misalnya, merupakan daerah yang berhasil mengelola dana desa melalui BUMDes. Di sana terdapat 47 desa yang masing-masing memili­ki BUMDes. Adapun di Desa Lubuk Sebotan, Jambi, kucuran Rp 780 juta pada 2017 digunakan oleh pemerintah desa untuk membangkitkan kesejah­teraan warga yang mayoritas berpro­fesi sebagai petani karet. Dengan perencanaan yang matang, terukur, dan terarah, dana desa dimaksimalkan untuk membangun usaha penghiliran industri karet, sehingga warga terbe­bas dari lilitan kemiskinan yang sebe­lumnya dialami selama bertahun-tahun.

Berkat adanya dana desa, warga Kampung Nendali di Provinsi Papua berhasil membudidayakan ikan nila dengan sistem keramba berjaring. Manfaatnya cukup dirasakan oleh masyarakat setempat, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, usaha tersebut mampu membebaskan puluhan keluarga dari jerat kemiski­nan. Pemerintah Kampung membagi­kan paket bantuan budidaya ikan nila kepada 51 keluarga yang terdiri dari dua konstruksi keramba ikan beserta jaring, 2,4 ton pakan ikan, serta 2.000 ekor benih ikan nila. Setelah genap tiga bulan, hasil ikan dijual di Jaya­pura dan Kabupaten Mambera­mo Raya dengan harga Rp 75.000 per kilogram.

Di sinilah urgensi dana desa dalam membentuk kemandirian warga, terutama dalam mencari penghidu­pan. Dana desa digunakan oleh masyarakat setempat untuk menum­buhkan semangat entrepreneurship. Seiring dengan semakin gencarnya globalisasi dan modernisasi ke berbagai penjuru negeri, masyarakat desa harus membekali diri dengan etos kerja yang tinggi. Dalam bebe­rapa kesempatan, jiwa kewira­usahaan mesti dikembangkan, jika tak ingin tergilas oleh perkembangan zaman.

Melonjaknya angka kemiskinan di beberapa tempat tak lantas dihadapi dengan putus asa, melainkan dengan motivasi untuk senantiasa melam­bungkan taraf hidup. Bagaimanapun, kemiskinan seringkali mendatangkan kebodohan, kemalasan, gangguan kesehatan, bahkan kriminalitas. Beberapa kasus menunjukkan bahwa naiknya prosentase tindak pidana atau kejahatan di negeri ini merupakan pengaruh dari kemiskinan akut.

***

Penulis adalah Peneliti Desa. Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta.

()

Baca Juga

Rekomendasi