Menghidupkan Kembali Geliat Perekonomian

KOTA Lhokseumawe dikenal sebagai Kota Petrodolar pada masa jaya PT Arun Natural Gas Liquefaction Co periode 1980 sampai 1990. Sayang, pasca-perusahaan itu berhenti produksi pada 2014, berimbas pada aktivitas di Pelabuhan Lhokseumawe.

Tentu ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Perlu adanya upaya agar Pelabuhan Lhokseumawe dapat kembali menggeliat seperti beberapa tahun lalu.

Menurut Dosen Teknik Sistem Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Raja Oloan Saud Gurning melalui sembungan telepon, jika perdagangan atau aktivitas ekonomi melemah, maka permintaan dan geliat industri maritim termasuk pelabuhan juga menurun. “Berlaku prinsip ships follow the trade.”

Jadi kondisi ini berlaku di Lhokseumawe. Ketika kawasan industri menjadi sepi, tentu akibat intensitas perdagangan menurun atau melemah, maka permintaan atau trafick pelabuhan juga menurun hingga menjadi sepi.

Untuk kembali membangkitkannya, tiada lain kembali meningkatkan intensitas perdagangan. Baik domestik maupun internasional. Indikasi lesunya pelabuhan, memberikan indikasi stagnasinya interaksi ekonomi dari dan ke Lhokseumawe.

“Saya kira ini perlu menjadi perhatian semua entitas di Lhokseumawe. Baik pemerintah, dunia swasta, masyarakat umum, hingga entitas maritim di Lhokseumawe,” ungkapnya.

Perdagangan dari dan ke Lhokseumawe perlu ditingkatkan. Baik dengan orientasi domestik di sekitar pantai timur dan barat Sumateram maupun dari wilayah lainnya. Geliat dan pembukaan ekonomi dengan negara tetangga, dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya laut/perikanan, termasuk potensi bahan tambang serta komoditas migas bisa menjadi nilai tawar Lhokseumawe.

Keluhan banyaknya pengiriman logistik dari Lhokseumawe melalui jalur darat menuju Pelabuhan Belawan, Sumut, sementara di Lhokseumawe sendiri tersedia pelabuhan yang dapat pengangkut ke berbagai tempat baik dalam dan luar negeri, diakui Saut Gurning bahwa opsi angkutan laut mungkin tidak menarik karena memang potensi pasarnya juga tidak menggiurkan bagi pelaku usaha pelayaran.

Akibatnya, ketersediaan angkutan laut menurun. Jumlah kapal menurun yang melayani rute ke Lhokseumawe termasuk frekuensinya. Dampak lain karena ada potensi kargo kosong, ketika balik maka biaya angkut balik dikompensasi dengan kenaikan biaya baik pergi maupun balik. Sehingga total biaya angkutan laut menjadi lebih tinggi dari angkutan darat per satuan berat.

Ditambah ketersediaan armada dan jadwalnya lebih terbatas ketimbang angkutan darat, walau dengan daya angkut yang jauh lebih kecil dari daya angkut pengapalan. Akhirnya bisa dipahami mengapa jalur laut lebih rasional.

Saut mengapresiasi upaya yang dilakukan dalam pembenahan pelabuhan, seperti menambah fasilitas. Selain itu, yang lebih dibutuhkan saat ini bukan pada kurangnya fasilitas pelabuhan untuk kapal dan kargo, tapi yang esensial adalah usaha memfasilitasi perdagangan. Seperti penyedian fasilitas gudang untuk produk utama dan potensial di Lhokseumawe, termasuk reefer storage (penyimpanan pendingin), atau aktivitas pemberi nilai tambah lain bagi komoditas asal Lhokseumawe. Sehingga dapat bersaing dan menimbulkan perdagangan. Jadi itu yang lebih dibutuhkan.

Agar pelabuhan dapat kembali menjadi pelabuhan sibuk, Saut menyarankan, untuk tahap awal dan jangka pendek, peningkatan pangsa trafick domestik atau trafick internasional perlu menjadi perhatian manajemen pelabuhan. Usaha bersama dengan pelaku pelayaran, stevedoring dan forwarding (ekspedisi) perlu diajak bersama mendukung membangkitkan kembali Pelabuhan Lhokseumawe.

Jadi, coba fokus pada angkutan penyeberangan yang dapat memberi nilai kompetisi dengan darat, khususnya untuk meningkatkan volume kargo pelabuhan. Untuk jangka menengah, usaha penyediaan bunkering mungkin dapat mulai diinisiasi untuk segera direalisasikan. Hal ini akibat potensi posisi Lhokseumawe yang strategis sebagai laluan di Selat Malaka.

Namun hal ini tentu membutuhkan investasi dan usaha besar, termasuk memenuhi berbagai persyaratan internasional. Sehingga dapat menjadi bunkering hub di sekitar Selat Malaka.

Untuk perdagangan internasio­nal bisa lebih mengem­bangankan pasar perdangangan di Asia Selatan, perlu menjadi fokus baik pemerintah, dunia usaha, pemilik barang, serta pelaku usaha maritim. Karena potensi dan jaraknya yang dekat dengan Lhokseumawe.

Persoalan komoditas di Lhokseumawe sedikit, Saut mengatakan akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan skala ekonomi yang besar, jika perhatiannya hanya pada kuantitas volume kargo saja yang akan ditangani. Tentu pilihannya ada pada jasa dan inovasi dengan platform logistik yang baik. Ini perlu usaha besar. Contohnya seperti Singapura.

Namun seperti yang dinyatakan sebelumnya, tidak mudah bagi Lhokseumawe mendapatkan posisi (status) menjadi pilihan singgah atau transhipment seperti Singapura atau Tanjung Pelepas Malaysia. Karena itu berarti fungsi dan ketersediaan infrastruktur yang baik, sistem keuangan dan perbankan yang baik, layanan logistik yang tersedia dan baik, serta usaha lainnya, sehingga Lhokseumawe dapat menjadi platform binsis tanpa perlu ke tempat lain.

“Daripada saling meniadakan, saya kira kerjasama dan koordinasi dengan Belawan dan Kuala Tanjung dibutuhkan,” sebutnya.

Usaha memperpanjang dermaga, fasilitas di pelabuhan, serta aksesibilitas di navigasi dan darat sudah banyak dilakukan. Walau dampaknya belum memberikan hasil karena persoalan perdagangan yang stagnan. Ke depannya, manajemen pelabuhan Lhokseumawe perlu lebih fokus pada usaha memfasilitasi perdagangan, sehingga potensi perdagangan meningkat terealisasi menjadi trafick bagi pelabuhan Lhokseumawe.

Saut menyarankan dengan kondisi perdagangan eksis seperti saat ini, kondisi pelabuhan masih tersedia cukup dari aspek kedalaman kolam 5 - 6 meter lalu di alur 11-12 meter. Demikian juga panjanganya sehingga aman untuk proses penyandaran.

Terutama di Pelabuhan Krueng Geukueh yang katanya diproyeksikan untuk angkutan kontainer sangat layak. Apalagi memang karena pola angkutan kontainer sudah menjadi pola umum, sehingga adaptasi atas pola umum ini perlu juga dilakukan pelabuhan di Lhokseumawe. Namun sekali lagi belum menjawab persoalan mendasar, yaitu bagaimana menggeliatkan kembali aktivitas ekonomi dan perdagangan dari dan ke Lhokseumawe. (fahrin malau)

()

Baca Juga

Rekomendasi