Oleh: Jernih Maipa Siregar
SUDAH jam delapan malam tapi Suci tak juga beranjak dari depan televisi. Kak Nayla pun mendekati Suci yang sibuk menonton film kesukaannya. Padahal, film tersebut masih belum pantas untuk disaksikan anak usia sepuluh tahun.
“Kenapa tidak belajar dek?” Tanya Kak Nayla. Sebagai kakak tertua dia punya kewajiban menuntun adik-adiknya ke jalan yang baik.
“Besok tidak ada PR kak jadi mau belajar apa?.
“Suci, belajar itu tidak harus ada PR. Kamu kan bisa membaca buku atau mengulang pelajaran yang diterangkan gurumu tadi,” jelas sang kakak pada adik bungsunya itu.
Suci diam saat kakaknya bicara tapi matanya tetap fokus pada televisi. Kakak yang merasa tak didengarkan memilih pergi sebelum terjadi pertengkaran yang tak diinginkan. Suci yang merupakan anak bungsu memang sangat dimanjakan terutama oleh ibu, sampai-sampai tak ada yang berani memarahinya karena takut berurusan dengan ibu. Ayah yang baru pulang lepas menunaikan salat dari masjid langsung duduk di samping Suci. Karena fokus pada televisi Suci sampai tak sadar ada ayah di sampingnya. Ayah yang melihat Suci tidak belajar langsung mematikan televisi.
“Suci kenapa tidak belajar?” tanya ayah dengan penuh kelembutan.
“Ayah sama saja dengan Kakak, padahal capek-capek belajar pun tidak dapat juara satu,”
“Sayang, belajar itu bukan untuk jadi juara. Tapi supaya Suci benar-benar paham dengan ilmu yang diberikan guru sebagai bekal untuk meraih cita-cita. Suci kan ingin jadi anak yang bermanfaat bagi semua orang. Lihat saja betapa banyaknya anak-anak seusia Suci yang tidak bisa sekolah. Jadi Suci harus bersyukur dan belajar sungguh-sugguh”
Setelah mendengar nasihat ayah Suci langsung menemui kakaknya untuk meminta maaf karena sudah mengabaikan ucapan kakaknya. Setelah itu Suci langsung masuk ke dalam kamar dan mengambil buku pelajarannya, ia mengulang materi yang mereka bahas tadi di sekolah. Suci memang tak paham dengan beberapa materi yang dijelaskan gurunya, dan Suci langsung meminta bantuan pada Kak Nayla untuk menjelaskannya kembali.
Sejak malam itu Suci sadar bahwa selama ini ia telah salah memahami arti sekolah. Kini Suci rajin belajar, setiap materi yang tidak dipahaminya akan ia tanyakan pada semua anggota keluarganya yang bisa menjelaskan. Hari ini di kelas Suci Pak Guru bercerita tentang cita-cita dan menanyakan apa cita-cita semua murid. Setiap siswa diperintahkan maju ke depan untuk memberitahu cita-citanya beserta alasannya. Tiba saatnya giliran Suci ia mengatakan bahwa ia bercita-cita jadi Menteri Pendidikan.
“Alasannya karena saya ingin memajukan pendidikan di Indonesia. Saya ingin semua anak Indonesia dapat merasakan sekolah dan mengerti arti sekolah yang sebenarnya”
“Memangnya apa arti sekolah yang sebenarnya Suci” tanya pak guru
“Sekolah itu tempat menimba ilmu agar kita punya bekal menggapai cita-cita. Supaya kita jadi anak yang bermanfaat bagi semua orang bukan malah menyusahkan. Sekolah bukan hanya sebatas jadi juara kelas Pak, kita semua sudah juara karena setiap orang punya keahlian di bidang masing-masing”
Sekarang Suci sudah dewasa ia sudah menginjak bangku SMA. Setiap hari libur Suci meluangkan waktunya untuk mengajari anak-anak jalanan. Suci mengajari setiap anak-anak yang tak memperoleh pendidikan bersama teman-temannya. Setidaknya walau tidak jadi menteri pendidikan ia tetap bisa mencerdaskan anak-anak Indonesia.
Penulis adalah siswi di MA Al-Washliyah 22 Tembung, tergabung dalam komunitas Gen Pena (Generasi Penulis Al-Washliyah).