Oleh: Marlina MA.
Kebebasan, satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan adanya pembedaan jelas kondisi media masa pra dan pasca reformasi. Pada masa sebelum reformasi baik pada Orde Lama maupun Baru, pers benar-benar harus berpikir dan bekerja keras agar terhindar dari represi politik, dengan cara memilih sebagai pers yang berpihak kepada pemegang kekuasaan, atau memilih jalan tengah dengan cara menggeser konsep penerbitan, yakni menjauhi isu-isu yang berbau politik (memilih isu-isu netral) dan konsep hardnews, dengan merubahnya menjadi konsep newsmaking.
Kebebasan di dalam bermedia ini pada akhirnya mendorong adanya diversifikasi industri media, termasuk penyiaran yang sebelumnya hanya dimonopoli oleh satu atau sekelompok tertentu, mengingat izin pendirian media termasuk televisi sebelumnya cukup sulit. Akibatnya, saat itu terjadi monopoli kepemilikan media termasuk halnya tentang konten atau isi media, sehingga salah satunya muncul sindiran “Indonesia bukan hanya Jakarta, Bung”,dan lain sebagainya.
Munculnya Undang-Undang Penyiaran disamping UU Pers makin memperluas kesempatan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan menghapus sentralisasi penyiaran. Banyaknya sumber informasi, khususnya televisi baik televisi swasta nasional maupun lokal ditambah dengan media penyiaran berlangganan lain yang bisa diakses masyarakat ini tentunya sangat menguntungkan masyarakat. Masyarakat dapat memilih informasi mereka inginkan, dan memenuhi semua kebutuhan informasi mereka dengan sekian saluran yang ada. Kita juga melihat, media pun tak lagi menunjukkan ketakutan mereka untuk menyampaikan isu-isu panas sebagaimana dihindari masa pra reformasi.
Media saat ini bebas bahkan sangat bebas dalam mengemas dan menyajikan fakta-fakta yang mereka dapat. Tak ada lagi ketakutan dalam menyajikan informasi termasuk terang-terangan menyerang pemerintah atau pihak penguasa, sekiranya dianggap perlu dikritik, dalam rangka menjalankan kontrol sosial atas fungsi pers. Ini merupakan sejarah baru bagi pers Indonesia khususnya pasca Orde Baru, dimana sejumlah media di negeri ini secara terang-terangan menunjukkan keberpihakan atau dukungan mereka terhadap tokoh politik, penguasa.
Sejumlah media khususnya televisi, begitu jelas dapat kita lihat, sering menyiarkan kegiatan politik pemilik modal. Hal itu jelas dapat kita lihat mulai jelang masa pemilihan umum presiden. Ini tentu sangat ironis. Jika dahulu para pekerja media harus berjuang menghindar dari represi politik sang penguasa, kini pekerja media harus berjuang menghindari represi pemilik modal dan segala kepentingan melingkupinya, demi mewujudkan pers yang benar-benar adil dan bertanggungjawab. Sangat ironis karena kebebasan pers kini justru diciderai dan direnggut oleh internal media massa itu sendiri. Di internal media sendiri bukan berarti lepas dari pergolakan yakni antara menuruti perintah dengan alasan ekonomis ataukah harus mengedepankan idealisme dan nurani.
Dari sini kita dapat melihat bahwa pers (pekerja) akan tetap dan terus berjuang melawan adanya represi-represi dalam wujud dan tingkatan berbeda sebagaimana masa pra reformasi, namun pada substansinya adalah sama. Apa yang menimpa media kita khususnya dalam bidang pemberitaan, jika boleh diwujudkan dalam bentuk tanda tanya, bahwa jurnalisme telah dirusak oleh para pemilik profesi itu sendiri? Mereka yang berdiri di balik pemberitaan, tentu akan mengakui jika tidak akan pernah lepas dari namanya tekanan pemilik modal sebab bagaimanapun media massa adalah institusi bisnis yang juga mengutamakan keuntungan. Pengetahuan dan kesadaran pula dari para pemilik modal akan inti dari jurnalisme merupakan sesuatu yang penting dan utama sebab kepercayaan masyarakat yang menjadi taruhan.
Netralitas atau keberimbangan memang bukan perkara mudah. Apa yang menimpa media kita seperti contoh di atas, rupanya juga dialami media di luar negeri yang telah lama eksis dan juga memiliki kekuatan modal besar. Contohnya adalahFox News, sebagai salah satu news channel di AS. Berdasar sebuah penelitian yang dilakukan Donald A. Loffredo dan kawan-kawan terhadap tayangan Hannity and Colmes Shows, Fox News yang mengklaim dirinya sebagai media yang fair dan balance-pun, rupanya tidak mampu berlaku adil dan berimbang dalam siaran jurnalistiknya (Loffredo, etc, 2013).
Persoalan netralitas media agar pers mampu bebas dalam menjalankan tugas dan fungsinya ini rupanya dalih persoalan lama Bill Kovach(2003) menceritakan jika pada Juni 1997 sebanyak 25 wartawan berkumpul di Harvard Faculty Club, Cambridge AS. Mereka adalah para redaktur surat kabar papan atas dan beberapa nama paling berpengaruh di televisi dan radio, serta beberapa pengajar terhebat jurnalisme. Mereka di sana karena merasakan ada yang salah dengan profesi mereka. Mereka nyaris tak mengenali adanya apa yang mereka anggap sebagai jurnalisme dalam kebanyakan hasil kerja rekan mereka. Mereka khawatir, alih-alih melayani kepentingan publik besar, profesi mereka malah merusaknya.
Hal itu dijelaskan karena mereka tergerus oleh tekanan bisnis dan perhitungan untung rugi. Bonus diterima wartawan makin terkait dengan keuntungan perusahaan, bukan pada kualitas pekerjaan mereka. Persoalan ini bisa jadi juga yang tengah terjadi di industri media Indonesia. Semua hal, pada akhirnya ditarik dalam satu benang bernama demi atau untuk keuntungan. Wartawan nyaris tak lagi memiliki posisi tawar untuk menjaga idealisme mereka dalam rangka menjalankan fungsi pers yang sesungguhnya untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk pemerintah atau untuk pemilik kekuasaan.
Namun begitu, mereka tak berdaya sekalipun terikat organisasi kewartawanan yang turut mencekoki dengan etika-etika dan idealisme seharusnya dipegang, karena semuanya dikembalikan bukan organisasi yang membayar mereka, namun perusahaan. Padahal, redaksi harus memiliki independensi untuk menyajikan berita dengan obyektif tanpa memperoleh tekanan dari pihak pimpinan, pemodal atau pemilik lembaga penyiaran. Bagaimanapun juga, di dalam industri bisnis media, berita pada akhirnya tak lebih dari sebuah komoditas. Burton menyebutnya ada harga pada berita.
Berita menjadi komoditas sebab berita dijual dan dibeli melalui agen berita. Terlepas dari adanya kewajiban untuk kepentingan publik, media secara umum beroperasi menurut dikte ekonomi pasar. Dedy N. Hidayat menyatakan, selama semua itu dipandang dari sisi ekonomi, maka berita sebagaimana dikatakan pula oleh Graemen Burton, tak akan lebih dari sekadar komoditas. Tendensi liberalisasi industri media memunculkan ancaman tersendiri terhadap kualitas pers. Terus bertambahnya jumlah televisi membuat persaingan di dunia usaha ini semakin sengit. Kediktatoran pasar akan menentukan siapa dan apa yang akan dikesampingkan media penyiaran.
Selain menyingkirkan pelaku pasar yang tak memiliki kapasitas modal memadai, kepentingan akumulasi modal juga berpotensi mendikte institusi penyiaran agar tidak mengangkat isu-isu permasalahan yang bertentangan dengan kepentingan ekspansi dan akumulasi modal. Lembaga penyiaran juga akan menyimpan kecenderungan untuk menayangkan ideologi-ideologi sesuai permintaan pasar agar tidak tersungkur sehingga di saat bersamaan media mengabaikan ketimpangan yang disebabkan kesenjangan sosial ekonomi, yang sebenarnya menjadi dasar permasalah di masyarakat dengan dasar tidak memiliki nilai berita diliput. Pers baru akan mengangkatnya jika telah menjelma menjadi drama tragis, isu-isu dasar mewujud menjadi kerusuhan sosial, amuk masa atau peningkatan kriminalitas yang mengganggu kenyamanan sosial mayoritas kelompok kelas menengah yang notabene merupakan konsumen utama industri media, memiliki daya beli atau sumberdaya serta akses ke media untuk mengeluhkan ketidaknyamanan mereka. ***
Penulis adalah Dosen UMSU. Aktifis Perempuan Sumatera Utara.