Oleh: Meyarni.
Akreta adalah istilah medis di mana plasenta (ari-ari) janin yang dikandung seorang ibu yang sedang hamil menempel di dinding rahim. Karena itu, sering pula disebut plasenta akreta. Konon beberapa tahun terakhir ini, gangguan janin mulai mewabah.
Penyebabnya antara lain, karena saat sedang hamil si ibu sering mengangkat benda berat. Selain itu konon juga akibat operasi cesar yang dilakukan secara berdekatan. Bekas luka (cesar) merangsang ari-ari untuk lengket di sekitar daerah itu untuk kemudian menempel di dinding rahim.
Menurut sejumlah penelitian kurang lebih 60 persen, ibu yang pernah mengalami cesar berpotensi terkena akreta. Selain itu juga rentan kepada ibu hamil yang telah berusia 40 tahun ke atas. Dalam level “ringan’ ari-ari itu bisa sekedar menempel, namun dalam level ‘berat” bisa sampai menembus dinding rahim. Keduanya cukup berbahaya dan tidak jarang memicu pendarahan. Posisi bayi akreta biasanya melintang seturut posisi ari-ari itu.
Normalnya plasenta akan lepas dari rahim saat janin dilahirkan, tapi dalam kasus akreta, plasenta itu tetap menempel di dinding rahim. Seorang ibu akreta sudah pasti akan melahirkan dengan cesar. Namun perlakuan medisnya dilakukan secara khusus, di mana janin terlebih dulu diangkat baru kemudian ari-arinya. Saat mengangkat ari-ari hampir dipastikan rahim juga turut diangkat. Hal itu untuk menghindari pendarahan hebat yang dialami si ibu manakala ari-ari itu dicabut paksa dari dinding rahim.
Terjadinya akreta umumnya tidak menimbulkan gejala atau tidak memiliki tanda-tanda yang bisa dilihat secara kasat mata. Kondisi ini baru terdeteksi oleh dokter ketika melakukan pemeriksaan USG. Dari sejumlah penelitian, pada beberapa kasus, plasenta akreta dapat menyebabkan perdarahan dari vagina di minggu ke-28 sampai ke-40 masa kehamilan. Ibu hamil yang terkena akreta bisa mengalami pendarahan hebat di masa kehamilan maupun saat dilakukan pembedahan.
Kontrol Rutin
Akreta hanyalah salah satu dari sekian banyak potensi kelainan yang terjadi di dalam kandungan. Karena itulah mengapa kontrol rutin sangat diperlukan. Mengingat di usia kandungan yang mulai matang, dampak akreta bisa datang tiba-tiba. Misalnya pendarahan maupun rasa sakit seperti akan melahirkan.
Dalam kasus ini, biasanya medis akan memberikan obat untuk mengurangi kontraksi otot rahim untuk meredam pendarahan. Dalam banyak kasus ibu akreta sering terjadi janin harus diangkat meski belum waktunya. Hal itu terpaksa dilakukan bila terjadi pendarahan hebat maupun berkepanjangan.
Penanganan paling normal adalah dengan operasi caesar yang diikuti operasi pengangkatan rahim (histerektomi). Seperti disinggung di atas hal itu untuk mencegah kehilangan darah yang banyak akibat tindakan memisahkan plasenta dari dinding rahim. Operasi caesar dan histerektomi ini juga perlu dilakukan bagi penderita plasenta akreta yang sudah parah dan meluas.
Histerektomi juga dianjurkan dokter tatkala terjadi perdarahan kembali setelah operasi caesar yang masih menyisakan sebagian besar plasenta. Pasca penanganan yang tepat, penderita biasanya dapat pulih kembali tanpa menimbulkan komplikasi jangka panjang.
Pengalaman penulis, di Sumatera Utara pasien akreta konon hanya bisa ditangani pihak medis di Rumah Sakit Adam Malik, Medan. Selain keterbatasan tenaga ahli juga peralatan untuk penanganan itu umumnya tidak dimiliki rumah sakit lain. Penanganannya pun dilakukan ekstra hati-hati. Bahkan saat cesar dilakukan, biasanya sembari dilakukan transfusi darah.
Sedang anestesi atau pembiasannya kategori umum (total). Seluruh aktivitas organ tubuh dihentikan sementara, termasuk aktivitas usus. Perlu 2-3 hari untuk organ tubuh itu kembali normal. Hal itu tentu merepotkan dan menyakitkan. Semua ibu berharap tidak mengalami hal ini. Karena itu sekaligus lagi, kontrol rutin ibu hamil sangat diperlukan untuk mengantisipasi lebih dini, seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Memang ada pendapat di masyarakat awam yang mengatakan ari-ari itu akan terlepas sendiri dari rahim bila si ibu rajin mengkonsumsi minyak makan satu sendok teh setiap kali menjelang makan. Namun pendapat itu belum diakui secara medis. Pendapat itu tentu harus diuji terlebih dulu secara medis. Jangan sampai justru menimbulkan persoalan baru, baik bagi janin yang dikandung maupun si ibu sendiri.
(Penulis adalah mantan pasien akreta, Tinggal di Medan)