Oleh: I Nyoman Sugiarta.
Kejadian cukup menghebohkan ketika aktivis kontroversial, Ratna Sarumpaet, dimana skenario politik licik yang dibangun dalam upaya mau menjatuhkan wibawa Kubu Jokowi selaku petahana menemuai jalan buntu.
Bagaimana racikan skenario dalam panggung drama yang dimainkan gagal total.Aksi panggung teater sukses yang telah diperankan selama ini, kini mau dimodifikasi dalam panggung nyatalebih luas dengan mendramatisir emosi publik.
Upaya mengecoh yangkurang simpatik/licik ini dalam rangka mencari simpati sebagai pihak yang merasa teraniaya sehingga muncul rasa iba/belaskasihan. Biasanya publik cepat respek terhadap pihak yang teraniaya dengan memberi dukungan politik secara utuh. Kita bisa banyak belajar dari kasus perseteruan Kubu Megawati dan SBY saat pilpres 2004 yang cukup sukses. Sehingga muncul pernyataan Jenderal Anak-Anak dari Taufik Kemas (Alm) karena saking kesal/jengkelnya.
Ratna Sarumpaet harus gigit jari, dimana sandiwara yang dimainkan berakhir penuh dengan caci makian justru bukan pujian. Ternyata memainkan skenario panggung senyatanya lebih rumit/komplek daripada dalam panggung teater. Monolog/mimik dan wajah sendu yang dimainkan dalam panggung nyata dihadapan publiktidak mampu meluluhkan hati, karena publik sudah semakin cerdas dalam menilai suatu phenomena. Publik sudah dapat banyak belajar dari kasus Ahok, saat pilkada DKI Jakarta yang memalukan dalam berdemokrasi.
Ketika sandiwara dimainkan dengan memperlihatkan muka/wajah lebam, yang dianggap mampu sebagai senjata ampuh menggiring ranah opini publik, dimana Ratna Sarumpaet telah dianiaya oleh tiga orang berbadan kekar di Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Dalam suhu politik pilpres yang semakin memanas, maka secara replek muncul simpati dari Kubu Adil Makmur/Prabowo. Diantaranya dari Prabowo Subianto, selaku calon presiden, Djoko Santoso Ketua Pemenangan. Nanik S Deyang, Wakil Ketua Badan Pemengan, Fadli Zond dan Fahri Hamsah, Ketua DPR, Amin Rais Penasehat PAN, menyatakan keprihatinan yang mendalam atas kejadian tersebut. Apalagi perlakuan kekerasan tersebut diarahkan kepada pemerintah berkuasa yang dianggap otoriter sebagai bagian dari mengekang hak publik dalam berdemokrasi. Publik pun mulai menaruh curiga di balik kejadian tersebut, yang diarahkan kepada pusat kekuasaan.
Momentum bagus sebagai pemantik kubu lawan/musuh menjadi jalan mulus menggiring opini publik atas pemerintah berkuasa yang ada sebagai petahana. Kekuatan skenario membangkitkan sentiment/emosional publik menjadi ladang subur mematikan nalar logis yang ada.
Kejelian Aparat
Tentu publik merasa ganjil melihat kejadian ini kemudian bertanyadalam diam dibalik semua itu. Ada gerangan apa yang terjadi? Kenapa aktivis Ratna Sarumpaet sampai tidak berdaya diperlakukan begitu kejam? Kenapa aktivis sekelas Ratna Sarumpaet, yang terkenal vocal tersebut tidak melapor ke aparat keamanan terdekat?
Publik dapat belajar dari kasus tilang parkir liar dilakukan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dimana ketika Ratna Sarumpaet, mobilnya kena rasia, perlawanannya cukup temperamental kepada petugas, dan langsung menelpon, Anies Baswedan, selaku gubernur.
Justru ketika mengalami penganiayaan cukup sadis tidak melaporkan kepada aparat keamanan dengan meminta visum terlebih dahulu ke rumah sakit terdekat sebagai bukti autentik?Ini menjadi kejanggalan besar menganga mengundang kecurigaan publik dibalik semua itu. Ada apa gerangan yang bakal terjadi? Publik bertanya-tanya penuh curiga.
Polisi sebagai aparat keamanan dalam keadaan tersudut, tentu tidak tinggal diam atas kasus penganiayaan aktivis vocal tersebut. Kemudian polisi membetuk tim melakukan lidik dengan penyisiran dilapangan mulai dari di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan masyarakat sekitarnya, menyisir rumah sakit yang ada secara cermat di seputaran Bandung dan Jakarta. Ini bagian dari langkah taktis mencari akar permasalahan atas kasus menghebohkan tersebut.
Kerja tim polisi melakukan lidik secara perlahan membuahkan hasil, atas terbangunya kerja sama yang baik dengan pihak rumah sakit, belajar dari kasus Sofyan Novanto.
Kemudian rekam jejak medis Ratna Sarumpaet terlacak,seperti dikatakan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Kombes Nico Afinta, dimana pada tanggal 21 September 2018, Ratna Sarumpaet berada di Rumah Sakit Bedah Bina Estetika, Jalan Teuku Cik Ditiro, Jakarta Pusat. Sehari sebelumnya tanggal 20 September 2018 Ratna Sarumpaet telah melakukan reservasi kepada rumah sakit yang bersangkutan. Kejadian diperkuat dengan bukti CCTV, dan Buku Tamu rumah sakit atas keberadaan Ratna Sarumpaet.
Berdasarkan hasil lidik kepolisian tersebut, terbuka tabir misteri dibalik ceritera hoax yang dibangun Ratna Sarumpaet mau membuat sensasi mematikan. Setelah disusuri lebih jauh ada indikasi dimana dalam melakukan pembayaran operasi plastik kepada rumah sakit menggunakan Rekening Penggalian dana musibah Danau Toba.
Akhir skenario sandiwara jebakan maut yang tendensius dimainkan Ratna Sarumpaet menerjang balik Kubu Prabowo secara mematikan. Dalam keadaan terdesak oleh cemohan publik, dalam sekejap balik arah, menghujat Ratna Sarumpaet yang sebelumnya dibela mati-matian oleh para elitnya dengan memberi pernyataan yang tendesius yang menyudutkan pemerintah berkuasa yang dianggap sebagai making of criminal.
Ending badai sandiwara memalukan dan memilukan yang dimainkan Ratna Sarumpaet tersebut menyisakan misteri ditengah masyarakat, ketika dengan lantang mengatakan, bahwa dia sendiri sebagai pemain tunggal, dengan meminta maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan sambil mengucapkan rasa penyesalan.
Sementara dari sisi kubu Prabowo, karena merasa dirinya tertipu oleh permainan Ratna Sarumpaet, kemudian cuci tangan dengan segera memecatnya dari tim sukses. Untuk menghilangkan jejaknya aroma bau busuk ada upaya Ratna Sarumpaet kabur ke Cili, dengan pasilitas Dinas Pariwisata Pemda DKI Jakarta gagal, karena polisi bergerak lebih cepat sebelum berangkat.
Fenomena politik busuk ini memberi sinyal ada grand desig of drama colossal yang dimainkan. Polisi kini mulai menyisir elit Kubu Prabowo dimintai keterangan sebagai saksi atas kasus mengebohkan ini.
Dapat kita bayangkan bagaimana jika skenario politik licik inidapat dimainkan dengan sukses oleh Kubu Prabowo? Tentu Kubu Prabowo akan dapat menggunakan momentum kasus ini secara intens untuk menyerang sebagai senjata yang mematikan menjatuhkan citra kubu lawan, karena kekuasaan dianggap telah otoritarian. Dalam keadaan seperti ini, apakah tidak terhindarkan akan muncul gerakan massif turun kejalan secara besar-besaran mau menjatuhkan pemerintahan yang adabelajar dari kasus Ahok sebelumnya? Bila sampai mampu menghasut logika publik, sesuai skenario yang dibangun, maka demokrasi licik ini akan menjadi pelajaran memalukan.
Disisi lain tentu publik bertanya. “Apakah sebegitu bodoh Ratna Sarumpaet sampai tega mengorbankan harga dirinya sendiri secara bodoh tanpa ada imbalan yang memadai dibalik scenario licik yang dibangun?” Dalam politik tidak beradab, tidak ada makan siang yang gratis, apalagi mengancam reputasinamabaik dirinya sendiri dan kelurga.
Apakah dalam persaingan pilpres ini sudah menggunakan solidaritas politik perang yang rapuh, dimana ketika kawan terluka kena tembak peluru musuh ditinggalkan begitu saja, dengan berbagai basa-basi seperlunya agar kelihatan sedih atau menyesal.
Kalau kita menyimak dari pernyataan Budiman Sujatmiko, Tim Sukses Jokowi, dimana Ratna Sarumpaet, bukan pemain tunggal, dalam konspirasi politik licik yang dimainkan tersebut. Dengan menganalogikan dalam pembagian hasil rapokan yang dilakukan para bandit kakap, ketika dalam pembagian hasil rampokan tidak terasa adil muncul konplik mengancam timsudah tidak terhindarkan. Tentu pernyataan tersebut memerlukan pembuktian lebih lanjut yang dilakukan apparat keamanan seiring berjalanya waktu dengan pemanggilan saksi-saksi dimintai keterangan.
Martabat politik itu sangat ditentukan oleh martabat pelakunya sendiri. Ketika proses kompetisi yang dilalui penuh jebakan kejam yang mematikan kedewasaan politik publik, maka membangun demokrasi menjadi sebuah keniscayaan.
Membangun politik yang beradab sangat ditentukan oleh tingkat kualitas diri elit dalam membangun demokrasi. Ini bukan urusan kalah atau menang. Atau siapa yang berkuasa. Tapi kualitas politik demokrasi apa yang mampu dibangun dalam mencerdaskan publik.***
Penulis peminat masalah sosial masyarakat, dan Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bali.