Oleh: Rony K. Pratama
WALTER Benjamin pernah menulis pada esai bertajuk The Work of Arts in the Age of Mechanical Production (1936) kalau karya seni mulai memudar sisi magisnya manakala dihela melalui proses reproduksi mekanis. Produk seni tak lagi dikuduskan seperti masa-masa Renaisans.
Seniman tak lagi tunduk pada pola pengaryaan yang penuh ritual privat. Karya seni, menurut Benjamin, bergeser kedudukan peran dan fungsinya saat alat modern menginfiltrasi, baik disadari maupun tidak oleh seniman.
Esai Benjamin berangkat dari situasi mencemaskan tatkala modernitas pada pelbagai lini menggurita, menawarkan suatu terobosan kuantitatif-imitatif dalam rangka “dikendalikan” atas nama kebutuhan pasar. Ia mencontohkan secara apik kalau khalayak tak harus menikmati lukisan “asli”.
Monalisa, semisalnya, di Museum Louvre contoh ini saya cuplik sendiri. Foto mengenainya telah diproduksi massal di toko-toko konvensional. Benjamin menegaskan makna efisiensi penikmatan karya seni yang terbebas dari ruang dan waktu.
“Tapi ada yang hilang, antara lain, nuansa atas kenikmatan karya seni ‘asli’ karena imitasi tak menawarkan autentisitas. Di sana karya seni bukan lagi menawarkan ‘segi ritual’ yang hanya didapatkan kala bersemuka dengan karya seni sungguhan,” ucap Benjamin. Ia justru melihat peluang atas industrialisasi seni itu.
Karya seni tak lagi dimiliki dan dinikmati kaum menara gading. Karya seni sudah menjadi milik publik. Terlepas karya seni itu asli atau imitasi. Di sana pemasyarakatan kesenian mendapatkan titik strategisnya di tengah kondisi masyarakat yang beraneka rupa (lapisan) sosialnya itu.
Esai Benjamin masih relevan sampai saat ini. Pada gilirannya dogma kesenian yang cenderung dikatakan “kontemporer” oleh sebagian besar seniman justru banyak digandrungi. Bentuk karya seni, sekalipun itu dikonstruksi secara duplikatif dan tumpang-tindih, malah dikatakan sedemikan “nyeni” karena menawarkan absurditas yang terisi oleh konten-konten kritik sosial.
Pergeseran seni untuk seni sebagai “teologi negatif” perlahan luruh, bahkan sirna sepenuhnya, karena seni sejak diproduksi sudah memiliki beban pragmatis. Entah itu dialamatkan demi perubahan sosial atau sekadar pembebasan individual.
Seni untuk seni, setelah produksi massal digeliatkan oleh bantuan teknologi canggih, kian mengabur, bahkan perlahan runtuh. Gagasan kemurnian tak lagi menjadi acuan sentral berkesenian. Dikarenakan pada praktik produksi seni yang mekanis karya seni tak bebas dari intervensi kepentingan, terutama dimensi politik.
Lebih jauh, Benjamin, menegaskan era teknologi mengendalikan sekaligus membebaskan esensi karya seni dari determinasi ritual keagamaan tertentu. Karya seni, dengan kata lain, tak harus menginduk pada dogma partikular karena ritus pada gilirannya tergilas oleh produksi karya seni berbantuan teknologi.
Dengan demikian, Benjamin, mengatakan seni untuk seni sebagai sesuatu yang utopis di tengah kecenderungan karya seni yang niscaya terikat kepentingan khusus. Fungsi politis dari karya seni dipertegas Benjamin sebagai gebrakan yang progresif dan revolusioner.
Moda Persepsi, Gerakan Massa
Relasi antara moda persepsi dan teknologi berpaut erat. Persepsi manusia membentuk cara kerja teknologi dengan pelbagai mekanisme praksisnya, sedangkan teknologi membentuk bagaimana manusia berpikir dan bertindak. Keduanya saling mengonstruksi, tetapi, sepanjang pembacaan saya, teknologi memiliki peran signifikan yang lebih determinan.
Benjamin mencontohkan bagaimana konsep kesenian semisalnya foto bergeser sepenuhnya menjadi reduktif-imitatif. Produksi kesenian sepenuhnya dikendalikan secara kuantitatif, alih-alih kualitatif yang autentik sejak seni itu dikaryakan.
Gerakan massa di era reproduksi mekanis dalam konteks seni, baik cakupan pengaryaan maupun resepsi, mengeksplanasikan geliat sporadis. Benjamin mengambil diksi reaksi “progresif” dan “kontemplatif” sebagai ilustrasi gerakan massa yang timbul di era teknologi rerpoduksi mekanik.
Benjamin memperjelas argumennya itu dengan membandingkan lukisan dan film. Pertama, gerakan massa para penikmat lukisan pada masa silam sebatas kontemplasi diri atas obyek-obyek kesenian. Di sana terkuak jelas bagaimana subyek melakukan asosiasi-asosiasi diri terhadap karya lukisan melalui perenungan.
Kedua, gerakan massa manakala film ditayangkan. Kenikmatan menonton film memberi efek keterkejutan privat, baik visual maupun emosional, yang secara intim penonton film dapat menjangkau bukan lagi representasi diri sebagaimana lukisan, melainkan juga merepresentasikan lingkungannya. Efek kejut inilah yang dianalisis Benjamin tatkala meneroka gerakan massa pada film yang paling determinan di era teknologi reproduksi mekanik.
Film dan Identitas Diri
Dua tahun mutakhir penulis mengamati kecenderungan jamak orang, terutama kalangan milenial, manakala menonton, memperbincangkan, dan (sekadar) mengulas catatan singkat di dinding media sosialnya. Film sebagai produk seni industri yang paling diminati semua kalangan itu ternyata mengamsalkan prakondisi psikologi penonton.
Genre film apa yang ditonton secara sederhana dapat merepresentasikan bangunan selera individu. Atensi kuat milenial pada film ter nyata menandai kecenderungan selera. Baik horor, fiksi saintifik, petualangan, drama, dan jenis-jenis film lain memberi alternatif tontonan bagi kawula muda untuk merekonstruksi dan mengidentifikasi menseleranya di wilayah seni “digital” paling mutakhir ini.
Pilihan atas genre film yang ditonton, bagi milenial, memberi lanskap prediktif sebagaimana ditegaskan Benjamin pada masa silam: betapapun film itu diproduksi dalam skala massal, manakala diperhadapkan pada selera khalayak, ia meniscayakan suatu pustaka pikiran penontonnya terhadap obyek.
Pada kacamata statistik, film yang paling digandrungi berbanding lurus dengan selera kuantitatif penonton yang bagi industri film mendatangkan kapital. Kategori film favorit dan picisan berdasarkan rating pun akhirnya dihela. Di sana terjadi proses akumulasi kualitas film yang disandarkan pada selera mayoritas penonton.
Benjamin melihat ini sebagai suatu keniscayaan yang (kelak) tapi sekarang sudah terwujud tak dapat terhindarkan. Tatkala karya seni digenjot industri yang para pemain di belakang panggung merupakan korporasi pengumpul modal, kualitas sebuah karya seni tak lagi berangkat secara eksklusif berdasarkan karya partikular, tetapi resepsi penikmat kebanyakan secara kuantitatif. Potret inilah yang mengakar kuat di jagat perfilman kontemporer. ***
Penulis adalah Peneliti Pendidikan Literasi Yogyakarta