Bahlul dan Singgasana Raja

“Bahlul!” demikian orang memanggilnya. Tidak jelas siapa nama sebenarnya. Bahlul (Arab) artinya tolol. Namun sosok Bahlul di sinilah bukanlah tolol seperti kebanyakan orang, tetapi ia adalah orang menyembunyikan kepintarannya dibalik tabir kegilaan. Ia pura-pura tolol namun dibalik ketololannya ada sesuatu pelajaran kebijaksanaan. Karena itulah ia dapat keluar masuk istana Raja Harun Al-Rasyid dengan bebas. Sang raja pun maklum akan keberadaannya, walaupun orang menganggap dirinya gila atau tolol tetapi raja amat menghargai nasihatnya.

Suatu hari, Bahlul masuk ke istana dan mene-mukan singgasana raja sedang kosong. Dengan rasa tak bersalah, ia langsung mendudukinya. Padahal uruf (kebiasaan) waktu itu menduduki singgasana raja termasuk dalam kejahatan berat dan dapat dihukum mati.

Melihat Bahkul duduk di singgasana raja , para pengawal lalu menangkapnya. Mereka menyeret turun dari singgasana tersebut, dan langsung memukulinya. Tentu saja Bahlul berteriak kesakitan mendapatkan pukulan dari para pengawal-pengawal istana.

Mendengar teriakan Bahlul yang kesakitan, Raja Harun Al-Rasyid segera datang dan meng-hampirinya. Bahlul masih menangis keras ketika raja mena-nyakan sebab keributan tersebut kepada para pengawalnya.

Lalu mendengar kronologis kenapa para pengawal memukul Bahlul, Raja berkata, “Hai pengawal dengarkan! Orang ini gila. Mana ada orang waras yang berani menduduki singga­sana raja?”

Raja lalu berpaling ke arah Bahlul dan ber­kata, “Sudahlah, tak usah menangis. Jangan takut aku tidak marah, cepat hapus air matamu.”

Bahlul menjawab, “Wahai raja, bukan pukulan mereka yang membuatku menangis. Aku menangis karena kasihan terhadapmu!”

Mendengar jawaban Bahlul tersebut raja menjadi heran dan bertanya, “Kau menga­sihaniku?”

Harun bertanya lagi, “Mengapa engkau ha­rus menangisiku?”

Lalu Bahlul pun menjawab, “Wahai raja, aku cuma duduk di tahtamu sekali, tetapi mere­ka telah memukuliku dengan begitu keras. Apa­lagi kau. Kau telah menduduki tahtamu selama dua puluh tahun. Pukulan seperti apa yang akan kau terima? Aku menangis karena memikirkan nasibmu yang ma-lang,”ujarnya.

Mendengar perkataan Bahlul tersebut, raja ter-diam dan ia merenungkan apa yang dika­takan Bahlul tersebut.

Kisah ini penulis dapat dari sebuah website yang bertutur mengenai kisah-kisah sufi. Apa­kah kisah ini sahih atau tidak, bukan itu intinya. Kita bukan ingin memasuki wilayah percaya atau tidak percaya, tetapi coba melihat substansi pelajaran dari kisah ini.

Saat ini banyak yang berlomba-lomba untuk menjadi pejabat. Baik struktural maupun non struk-tural. Tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka sudah masuk dalam wilayah ‘kekua­saan’. Jika kekuasaan itu dapat dipertang­gung­­jawabkannya baik secara per-tanggung­jawaban dunia maupun akhirat maka ia akan menjadi orang yang beruntung. Tetapi jika me­reka tidak dapat mempertanggungjawab­kannya, bisa saja hukum dunia akan mereka dapat¬kan begitu juga dengan hukum di akhirat.

Bahlul dalam cerita ini memang bukan siapa-siapa, ia dalam kehidupan kita merupakan ana­logi dari orang-orang yang ada di sekitar kita.

Orang-orang yang ada disekitar kita ini ter­bagi dua kelompok, kelompok pertama, orang yang beru-saha agar kita tetap di jalan yang lurus sehingga kebi-jakan yang kita lakukan juga tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Sementara kelompok kedua, kelompok yang sering dikenal dengan istilah ABS (Asal Bapak Senang). Mereka selalu memuji-muji kebijakan yang diambil hanya untuk mencari muka. Padahal sebenarnya kebijakan kita sudah melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.

Kelompok pertama merupakan orang yang sebe-narnya susah dicari tetapi sering dibenci. Sementara kelompok kedua adalah orang yang mudah dicari te-tapi sebenarnya merekalah yang harus ditinggalkan.

Bahlul adalah orang yang diberi ‘keman­faatan’ oleh Allah untuk orang lain. Ia bisa menjadi guru padahal sebenarnya ia bukan guru. Ia bisa menjadi penasehat padahal sebenarnya ia bukan penasehat.

Banyak orang yang mendapat jabatan sering lupa bahwa jabatan itu akan dipertang­gungjawabkan. Mereka lupa takkala mereka ‘bersumpah’ pada saat dilantik. Mereka lupa pada saat mereka berkampanye dan mereka lupa sebenarnya mereka siapa.

Pejabat sebenarnya adalah pelayanan ma­syarakat, tetapi dunia sudah berbalik, nyatanya merekalah yang banyak dilayani masyarakat. Lihat saja ketika mereka datang segala sesuatu diusahakan agar mereka senang.

Kita rindu sifat kepemimpinan khulafaur ra­syidin, di mana mereka hidup seperti rakyat biasa. Mereka tidak ingin disamakan dengan kaisar-kaisar yang hi-dup dengan kemewahan, sementara rakyatnya dalam kemiskinan. Baju mereka tidak pernah dihiasi gemer-lap cahaya. Gaji mereka tidak lebih dari sesuatu yang hanya untuk makan. Bahkan harta mereka dikor-bankan untuk masyarakat.

Belajar dari hal tersebut, paling tidak tulisan ini mengajak kita, tidak saja pejabat yang berada dalam kelompok struktural maupun non struk­tural, bahwa jabatan yang ada bukanlah sebuah anugerah yang harus dibanggakan tetapi sebe­narnya, jabatan itu merupakan fitnah dan ama­nah. Jika selalu berpegang dari tali Allah, insya Allah kita akan menjadi orang yang be­runtung. Namun jika terpeleset, dengan rayuan setan, jabatan itulah yang mungkin membawa kita kepada laknat Allah.

Bagi pejabat harus lebih banyak menerima kriti-kan dengan tersenyum. Karena kritikan itu secara ti-dak langsung memberikan ‘peringatan’ bahwa apa yang dilakukan belum sempurna. Tanpa dukungan semua pihak para pejabat tidak akan bisa berbuat seperti yang diharapkan.

Akhirnya, jangan mudah bangga terhadap pujian tetapi berbahagialah jika mendapat kritikan. Karena kritikan membawa kita kepada introspeksi diri. Orang yang berguna adalah orang yang banyak memberi manfaat untuk orang lain.

()

Baca Juga

Rekomendasi