Oleh: Rhinto Sustono
SEKILAS tak ada yang istimewa dari sebuah bangunan rumah sederhana seluas 460 meter persegi, di Jalan Kramat Raya Nomor 106, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Bangunan bergaya kolonial berkombinasi cat hijau-putih itu, berdiri sunyi di tengah hiruk-pikuk jalanan Kota Jakarta. Bangunan yang sejak 1908 dikenal dengan nama Gedung Kramat 106 atau Commensalen Huis inilah saksi bisu peristiwa bersejarah peletakan pondasi kemerdekaan Indonesia. Kini bangunan tersebut menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Setiap kali memasuki bangunan berarakter kolonial, dengan pintu dan jendela yang tinggi, kita seakan diajak memasuki dunia masa lalu. Ubin dingin bermotif khas di beberapa bagian dan berbagai perabotan tua, mengingatkan tatkala beberapa pemuda pergerakan kemerdekaan Indoensia tengah berdiskusi.
Dulunya, rumah milik Sie Kong Liang itu memang disewakan menjadi rumah kos mahasiswa di era menapaki dekade ketiga abad 20. Bangunan yang sudah lebih seabad berdiri itu, pernah ditempati beberapa pelajardan mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) dan Rechts Hooge School (RHS).
Para tokoh penggagas Sumpah Pemuda, seperti Muhammad Yamin, Mohammad Amir, Abas, Hidajat, Abu Hanifah, Soerjadi, Assaat, Mohammad Tamzil, Samboedjo Arif, Koentjoro Poerbopranoto, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Roesmali, Soemanang, Mokoginta, Hassan, Katjasungkana, dan Samboedjo Arif pernah menempati rumah tersebut. Merekalah yang menggerakkan Kongres Pemuda I dan II, yang akhirnya melahirkan Sumpah Pemuda.
Di rumah itu pula, Bung Karno dan tokoh lainnya pernah berdiskusi membahas format perjuangan dan cita-cita kemerdekaan. Pun Kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) – organisasi mahasiswa yang berperan penting mewujudkan Sumpah Pemuda – pernah digelar di rumah iu. Bahkan PPPI dan redaksi Majalah Indonesia Raja – yang dipublikasikan PPPI – menjadikan rumah itu sebagai sekretariat.
Pada puncaknya, rumah kontrakan yang sering dipakai untuk pertemuan, dari nama awal Langen Siswo diganti menjadi Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan) itulah menjadi tempat gelar Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, yang juga untuk kali pertama diperdengarkan lagu Indonesia Raya oleh WR Supratman. Di gedung itu pula, kini diorama sejarah Sumpah Pemuda tersimpan.
Memasuki ruang dalam, tersimpan replika biola WR Supratman, piringan hitam yang digunakan untuk merekam lagu kebangsaan, meski sudah pecah, namun masih dapat dirangkai secara artistik.
Di ruang lainnya, erdapat patung tokoh-tokoh pemuda dalam posisi duduk di ruang rapat. Terpampang pula hasil keputusan Kongres PemudaII, bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan. Sedangkan pada bagian belakang museum, terukir relief menggambarkan sejarah perjuangan pemuda dan prasasti Monumen Persatuan Pemuda 1928 yang menyimbolkan semangat kuat pemuda Indonesia.
Gedung tersebut sempat disewakan kepada Pang Tjem Jam selama 1934–1937, berikutnya pada 1937-1951 disewa Loh Jing Tjoe dijadikan sebagai toko bunga (1937-1948) dan berubah fungsi menjadi Hotel Hersia (1948-1951). Kemudian pada 1951-1970, Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran dan penampungan karyawannya.
Akhirnya, pada 3 April 1973, gedung itu itu diambil alih Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Setelah selesai dipugar pada 20 Mei 1973, kemudian dijadikan Museum Sumpah Pemuda yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Seahun kemudian, 20 Mei 1974 kembali diresmikan Presiden RI Soeharto (kala itu).
Jong Sumatera
Sejarah panjang Sumpah Pemuda tidak hanya terukir di Gedung Kramat 106. Di Jalan Gereja, Kota Padang, juga masih berdiri kokoh Tugu Jong Sumatranen Bond. Tugu yang didirikan pada pertengahan 1919 itu, juga menjadi saksi sejarah gerakan para pemuda di Sumatera.
Menariknya, tugu yang dibuat berbahan semen dari NV Nederlansche Indische Portland (NIPCM) atau sekarang dikenal dengan PT Semen Padang, murni karya putra-putri terbaik Indonesia kala itu. Meski kondisinya tetap utuh, namun cerita historis tugu ini tenggelam dalam kemegahan sejumlah bangunan baru di "Kota Bengkuang", seperti Tugu Gempa Padang yang berada di dekatnya.
Tugu Jong Sumatranen Bond yang memiliki enam cabang, 4 di Jawa dan 2 di Sumatra (di Padang dan Bukittinggi) itu, merupkan simbol dari perkumpulan anak muda Sumatera yang bergerak melahirkan pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatera. Perkumpulan Jong Sumatranen Bond didirikan pada 9 Desember 1917 di Jakarta.
Aktivis yang tergabung pada Jong Sumatranen Bond, di antaranya Mohammad Hatta (Wapres pertama RI), Mohammad Yamin (perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda), Dr Adnan Kapau Gani (seorang dokter, tokoh utama Jong Sumatranen Bond, Wakil Perdana Menteri Kabinet Amir Sjarifuddin), Bahder Djohan (Mendikbud Kabinet Natsir dan Kabinet Wilopo), dan Sutan Takdir Alisjahbana (budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia, pendiri Universitas Nasional, Jakarta), dan lainnya.
Tugu persegi empat dan meruncing ke atas ini, merupakan saksi sejarah gerakan para pemuda di Sumatera. Tugu yang pada puncak limasnya dihiasi bola biru itu dirikan pada pertengahan 1919, berada di Jalan Gereja, Kota Padang. Pada undakan keempat sisinya tertulis prasasti dengan empat tema berbeda.
Satu arsitektur bersejarah lainnya terkait Sumpah Pemuda, yakni Monumen WR Supratman yang berada di lingkungan kompleks makamnya, Jalan Kenjeran, Surabaya Timur. Selain patungnya berpose memainkan biola, dilatar belakangnya terdapat teks lagu Indonesia Raya versi lama. Teks itu terpahat dengan tulisan ejaan lama.