Hashtag dalam Etika dan Nilai Islam

Oleh: Hikmatiar Harahap

RAKYAT Indonesia saat ini sedang diramaikan oleh media sosial. Salah satu yang menarik untuk di sikapi adanya penggunaan hashtag. Hashtag dalam bahasa Indonesia berarti Tanda Pagar (#), hashtag yang sering kita jumpai di jejaring media sosial seperti twitter, instagram, dan facebook di gunakan oleh netter untuk menandai kata kunci atau topik tertentu dalam sebuah postingan. Hashtag biasanya digunakan untuk sebuah topik yang lagi ngetrend (populer) atau lagi in seperti #2019Presidenbaru dan #Jokowi2periode. Hashtag ini terus memasuki alam sadar masyarakat Indonesia, sehingga masya­rakat terpolarisasi antara dua kubu, dan saling menekankan untuk mencapai tujuan dari pada hashtag tersebut. Perkembangan hashtag ini, seharusnya masyarakat Indonesia saling memaknai secara arif dan bijaksana, sebab ini lahir dari proses demokrasi yang didalamnya terdapat mengekspresikan pendapat di muka umum. Sehingga masyarakat menemukan tujuan akhir dari perkembangan pemikiran manusia supaya sesama rakyat tetap saling menghormati, berpikir positif, menghargai pendapat menuju masyarakat yang berkompetisi politik secara sehat dan sadar.

Perkembangan hashtag ini harus disikapi melalui etika dan budaya bangsa Indonesia. Bahwa dalam perjalanan bangsa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi perekat dan mengikat kerukunan bangsa adalah nilai-nilai yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan masya­rakat. Dalam konteks terkini, masyara­kat harus menyadari bahwa Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang harus diakui, diterima, dihormati. Namun tanpa disadari, ketidakmam­puan mengelola kemajemukan dan ketidaksiapan seba­gian masyarakat menerima kemaje­mukan itu, maka akan mengakibatkan berbagai gejolak yang membahayakan persatuan dan kesa­tuan serta keutuhan bangsa. Timbunya keti­dakadilan serta berimbas pada kon­flik antar berbagai masyarakat, perten­tangan idiologi, agama, kemiskinan struktural, kesenja­ngan sosial, dan lain sebagainya.

Sesama anak bangsa seharusnya saling menguatkan, saling mendukung serta saling memotivasi dalam kebaikan dan kreativitas untuk mencapai nilai-nilai kemerdekaan, namun hal yang dialami saat ini, sebagian anak bangsa saling menaruh rasa curiga, saling menjelekan satu sama lain, menim­bulkan fitnah, mengadakan ajang adu domba bahkan saling berburuk sangka yang kesemuan itu akan merugikan bangsa dan negara sendiri. Dalam Q.S al-Hujurat:12, Allah swt berfirman “Jauhilah banyak berpra­sang­ka buruk. Sebab, ada dosa terselip di sana. Pula, jangan senang mencari-cari dan mem­bicarakan keburukan sesa­ma. Bukan­kah kau tak suka mema­kan danging saudaramu yang telah tiada?! Bertak­walah kepada Allah Yang Maha Pene­rima Taubat dan Maha Penyayang”.

Jadi Islam, menyikapi isu-isu yang mengarah pada retaknya kehidupan ber­bangsa dan bernegara yang dimotori sifat-sifat pengabaian, pengkhianatan, inkosis­tensi. Islam menawarkan kehidu­pan yang penuh kedamaian dalam suatu bangsa dan negara, melalui semangat akan rasa Katuhanan Yang Maha Esa (Tauhid), akan melahirkan kehidupan yang penuh etika, persaudaran dan per­satuan kesatuan bangsa. Dengan se­mangat itu seluruh kehidupan manusia akan memiliki nilai sebagai kebaktian atau ibadah.

Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa belum sepenuhnya dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan ber­ne­gara. Oleh karena itu, akan melahirkan krisis akhlak dan moral yang berupa bertebaran fitnah, saling merasa benar sendiri, pelanggaran hukum. Dalam muatan ini, sangat dibutuhkan upaya menghadirkan kembali kepermu­kaan berupa nilai-nilai agama dan khzanah kearifan lokal bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk berbuat baik dan keterpihakan pada kebenaran untuk menebus kesalahannya dengan tobat.

Dalam menyikapi berbagai persolan yang melanda bangsa Indonesia yang menjurus kearah polarisasi, maka sepatutnya masyarakat Indonesia harus mampu merumus ulang kembali tentang konsep yang berasaskan kekeluargaan, tentang memelihara budi pekerti kema­nu­sian dan memengang teguh cita-cita mo­ral kerakyatan. Nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang dimanis­festasikan melalui adat istiadat yang berperan dalam menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Khazanah kearifan lokal harus dipadukan melalui nilai-nilai universal dalam wacana merekatkan persauda­raan sesama anak bangsa.

Bahwa yang perlu diperhatikan dalam konteks kajian nilai-nilai universal Islam, bahwa dalam Alquran berbicara tentang etika maka dia hanya berada dalam deka­pan orang yang beriman. Bahwa etika sebuah tuntutan moral yang tidak banyak dampaknya bagi orang yang meli­hat tanpa pengetahuan, yang tidak me­ngi­kuti jalan kesalamatan dan keridhaan. Jadi, moral dalam aspek kehidupan ber­bangsa dan bernegara merupakan se­buah perintah dan kewa­jiban bagi ma­nusia. Hal ini dimaksud­kan, bahwa mengatur dan menjalan satu masyarakat yang memelihara keluhuran manusia, perdamaian dan keselarasan, keadilan dan kesetaraan untuk semua pihak baik muslim maupun non-muslim.

Bahwa dalam konteks berbangsa dan bernegara, sesuatu yang tidak bisa dihindari adalah munculnya paham dan sikap monistik, sebuah paham dan sikap yang menganggap dirinya yang benar, sedang orang lain salah. Isu-isu hashtag yang terjadi pada masyarakat saat ini, ada sekelompok orang yang berpanda­ngan bahwa muatan objek hashtag adalah melanggar UU. Dalam masyara­kat Muslim, upaya mendiskreditkan kelompok lain dengan ungkapan yang tidak pantas merupakan fenomena mutakhir. Seolah-olah ajaran Islam hanya berbicara tentang hal-hal yang bersifat hitam putih. Seorang muslim yang baik, tidak sepatutnya mengu­capkan dan melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan etika sosial. Masya­rakat bangsa yang didalamnya terdapat perbuatan melawan hukum, penyelewengan, menebar fitnah, komu­nikasi yang tidak manusiawi adalah perselisihan yang bersifat permanen. Sebaliknya, Masya­rakat bangsa yang ssecara budaya lebih baik akan mempunyai kesempatan memba­ngun toleransi. Logika sederha­na, bila masyarakat bangsa yang Muslim mempraktikkan toleransi yang bersum­ber dari teks-teks otoritatif, maka kehi­dupan yang toleran dan harmonis akan menjadi salah satu pemandangan yang membahagiakan seluruh penghuni negeri ini. Sehingga harus diupayakan berjuang atas nama toleransi, hakikat­nya berjuang menghilangkan nalar dan kebencian.

Namun hal yang harus disikapi secara arif dan bijaksana adalah larangan menebar kekerasan. Bahwa apa yang terjadi dalam masyarakat beberapa waktu yang lalu. Adanya sekelompok orang yang mencoba melarang pema­kaian baju kaos tertentu. Adanya aksi seperti ini, besar kemungkinan dapat diproyeksi ada unsur kekerasan yang diperankan dalam hal itu. Dalam ha ini, kebaikan harus mampu menciptakan perubahan sosial. Jalan untuk meng­akhiri kekerasan merupakan jalan yang dipilih Tuhan, karena Tuhn menciptakan manusia untuk saling menghargai, menghormati dan mencintai. Maka dari itu, jalan untuk mengakhiri kekerasan, dibutuhkan komitmen bersa­ma untuk bersama-sama membangun suatu bangsa yang berkemajuan dengan menuangkan berbagai ide, gagasan kreatif.

Alquran menolak perpecahan, atau opini tanpa isi yang tujuannya memicu perpecahan. Yang hal ini termasuk dalam hasrat untuk menjelek-jelekkan kelom­pok tertentu seraya memancing kekera­san dan kezhaliman terhadap kelompok tertentu. Kejadian unik tersebut sering dimainkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mencoba menim­bulkan berbagai fitnah untuk memben­turkan masyarakat supaya terjadi kekacauan dan perpe­cahan sendiri. Provokasi-provokasi yang dilancarkan terkadang hanya mengangkat isu-isu yang kecil namun terus dibesarkan untuk menarik masya­rakat kearah tertentu. Bahwa yang perlu kita renungkan kembali, bahwa rasa persaudaraan sebangsa setanah air dimaknai sebagai bentuk perekat antar anak bangsa.

Bahwa berdiri kokoh dan meraih kemajuan harus berlandaskan pada etika karakter kepribadian bangsa dan mewujudkan nilai keuniversalan Islam. Bahwa prinsip modal keindonesia yang tercermin dalam khzanah budaya lokal untuk mencapai perikehidupan bangsa yang aman, damai, adil makmur serta jauh dari bencana pelanggaran hukum. Dan begitu juga, mengaplikasikaan nilai keuniversalan Islam dalam konteks membangun bangsa yang damai, masyarkatnya dituntut agar mampu mengejentawahkan nilai-nilai Tauhid dalam aktivitas dan tingkah laku. Dengan wawasan Tauhid akan mem­per­kuat etos kerja karena kualitas kerja yang transendensikan dari batasan hasil kerja materilnya. Oleh karenanya, Teologi kerja akan memberikan nilai tambah spritual untuk memotivasi dan memper­besar inspirasi dan akan me­nangkap aspirasi agar dapat menjang­kar kepen­tingan terhadap nilai, etika dalam ber­bangsa dan bernegara. Misi dari nilai Tauhid dalam konteks barbangsa adalah untuk menjungjung tinggi dan memu­liakan manusia, persatuan, kerakyatan dan keadilan, yang mendorong masya­rakat bangsa agar mengembangkan nilai-nilai Tawhid yang lapang, toleran terbuka dan saling memahami satu sama lain. Wallahu a’lam

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi