Oleh: Jones Gultom. Idiom lokal Sumatera Utara, khususnya dalam budaya Batak Toba, sejak lama menarik perhatian para perupa dari Sumatera Utara. Lokalitas itu tidak sekedar dituangkan ke dalam media rupa sebagai karya seni, tetapi juga mempunyai maksud tertentu oleh perupanya. Salah satunya sebagai sumber kritik terutama terhadap modernitas. Karenanya itu nilai-nilai atas idiom itu justru sering menjadi fokus utama. Demi itu pula, beberapa perupa perlu melakukan kreasi ulang, tafsir baru, merevitalisasi termasuk sebagai inspirasi menjadi sebuah anekdot.
Sejumlah perupa di Sumatera Utara yang rajin “menggarap” idiom lokal Batak Toba itu antara lain, Mangatas Pasaribu dan Togu Sinambela. Sedangkan generasi yang lebih muda, salah satunya Salomo Fedricho Purba.
Mangatas Pasaribu misalnya, beberapa kali memamerkan karya instalasi idiom Batak itu. Salah satu karyanya paling dikenal adalah kepala ikan mas yang terpotong. Kepala ikan mas itu diletakkan di atas telanan berikut pisau yang penuh darah.
Dalam kebudayaan Batak Toba, ikan mas terkait dengan mitos terjadinya Danau Toba berikut Pulau Samosir. Dalam mitos itu ada nilai-nilai menyangkut kehidupan, kesetiaan (sumpah) dan bencana. Karena nilai-nilai itulah karyanya jadi terasa hidup dan mengakar. Demikian juga dengan Togu Sinambela. Perupa yang mendirikan Sanggar Lukis Payung Teduh Medan, kaya dengan lukisan landscape-nya tentang alam Batak.
Perupa muda Salomo Fedricho Purba atau akrab dikenal sebagai Fedricho Purba sepertinya mengikuti jalan Mangatas Pasaribu. Beberapa karyanya, khususnya lukisan memperlihatkan kecenderungan kegelisahannya terhadap kearifan lokal Batak Toba yang terus tergerus.
Tentu sebagai anak muda, semangat melukisnya tidak berhenti pada satu aliran dan tunduk dengan pakem. Kadang lukisannya realis, surealis, abstrak, kontemporer dan “campur aduk”. Menariknya, sejumlah lukisan bernafas lokal itu, justru tampak mempermainkan idiom-idiom budaya itu.
Cara itu dia pilih untuk bisa lebih leluasa masuk ke dalam dua dimensi Batak. Sekaligus, tradisi dan modernitas. Terkadang idiom-idiom budaya itu dia plesetkan menjadi sebuah objek baru, tetapi dengan tetap meninggalkan tanda yang masih bisa dikenali. Bila lukisan itu bernada satir, hampir dipastikan dia sedang mengkritik modernitas.
Misalnya pada lukisan dua tangan terpotong yang saling memberi dan menerima bibit pohon. Bagi orang Batak Toba makna lukisan itu dapat dengan mudah ditangkap. Bibit pohon itu adalah pohon hayat orang Batak Toba yang disebut Hariara sundung di langit. Kedua tangan terpotong yang saling memberi dan menerima itu adalah kritik kepada orang Batak Toba yang semakin individualis. Di sisi lain, karyanya itu juga mengkritisi orang Batak semakin jauh tercerabut dari akar budaya yang sesungguhnya.
Fedricho juga kerap bicara tentang ekokultur yang belakangan ini ramai digandrungi anak-anak muda. Menurutnya karena selain artistik juga sarat nilai. Dia menjelaskan ketika melukis tema itu, sebenarnya dia sambil belajar memahami nilai yang ada di dalamnya.
Tidak mungkin saya melukis “gaja dompak” dan berani “memelintirnya”, kalau saya tidak paham nilai-nilainya. Setelah saya tahu, baru saya berani mengutak-atik untuk merefresh maupun menumpang objek untuk menyampaikan maksud.
Karya Fedricho lain yang tak kalah nyentrik adalah lukisan kepala patung Sigale-gale yang berada di atas bonggol kayu. Bonggol kayu itu seolah-olah tubuh Sigale-gale dengan darah di permukaannya. Lukisan ini pernah dia pamerkan di Taman Budaya Sumatera Utara, Medan. Dia juga melukis tugu (monumen) marga orang Batak Toba yang besar, gagah dan mewah. Di sebelah tugu itu ada rumah adat Batak Toba yang kecil dan mungil.
Banyak lagi lukisan berwarna lokalnya yang unik. Beberapa di antaranya telah diganjar penghargaan. Salah satunya lukisan “Penjaga Kewarasan”. Lukisan itu terpilih sebagai salah satu lukisan yang ikut dipamerkan di Simpul Sumatera Biennale di Jambi 2016 lalu. Dikatakannya, lukisan itu satu-satunya lukisan yang terpilih dari Sumatera Utara pada event itu.
Tidak berhenti di kanvas, Fedricho juga mengangkat idiom itu dalam bentuk tiga dimensi, berupa patung dan instalasi. Selain itu, dia juga mengangkat idiom itu ke media yang lebih supel yakni dalam bentuk t-shirt. Dia menawarkan jasa design dan terkadang memproduksi t-shirt itu sendiri.
Minus Market
Sayangnya, di Medan, industri kreatif seperti itu baik lukisan, patung maupun t-shirt belum menemukan pasarnya. Bahkan di tanah kelahirannya, Tano Batak, produksinya masih didatangkan dari Jawa.
Kondisi itu membuat sejumlah sanggar lukis, galeri dan vendor t-shirt di Medan banyak yang gulung tikar. Kekayaan artifisial berikut kearifan nilai-nilai di dalamnya, belum juga menemukan marketnya.
Kita berharap gerakan industri kreatif yang digembar-gemborkan Presiden Jokowi ini mampu menjadi solusi alternatif. Untuk mencapai itu, pemerintah terutama di daerah harus mau “turun” ke lapangan. Pemerintah di daerah harus menciptakan pasar. Salah satunya dengan mempertemukan pelaku seni dengan kalangan pengusaha.
Pemerintah daerah harus merangkul semua kalangan dalam industri kreatif. Jangan hanya menunggu “bola”. Sekarang ini pemerintah pusat yang lebih banyak berperan. Mereka kerap menggelar event dengan melibatkan pelaku seni yang ada di daerah. Sayangnya kegiatan semacam itu masih terpusat di Jakarta, sehingga dampak itu tidak dirasakan secara nyata di daerah.
Memang Sumatera Utara memiliki agenda tahunan Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU). Kegiatan ini dirasa kurang menggigit di kalangan pelaku seni budaya. Pasalnya meski memamerkan produk-produk kreatif masing-masing kabupaten/kota di Sumut, tidak bisa dijamin semuanya asli buatan lokal. PRSU sendiri bagaimanapun adalah pasar. Orientasinya bisnis.
Selain sisi ekonomi itu, para pelaku industri kreatif di daerah ini juga membutuhkan dukungan nyata. Salah satunya dukungan finansial, pembinaan dan jaminan pasar yang sehat. Tidak seperti sekarang ini, produk-produk yang dijual mengenakan brand lokal, namun hampir seratus persen dibuat dari luar Sumut. Dengan kata lain, pelaku seni kita hanya bisa gigit jari di moment dan kandangnya sendiri.