Melintasi Waktu di Xi’an dan Shanghai

Perjalanan bersama Konsulat Jenderal Tiongkok di Medan kali ini sungguh istimewa, yaitu ziarah makam kaisar di Xi’an dan kemudian bertandang ke kota paling modern Tiongkok saat ini: Shanghai.

Xi’AN sempat menjadi kota terpenting di zaman Tiongkok kuno. Sejarah mencatat bahwa ada 13 dinasti yang menjadikan Xi’an (secara hurufiah, Xi berarti barat dan An bermakna damai) sebagai ibukota kerajaan.

Nama Xi’an pun menjadi sangat terkenal tatkala ribuan tahun kemudian, terkuak fakta bahwa ada ribuan terakota tentara penjaga yang ditemukan terkubur di bawah tanah. Terakota ini bukan pene­mu­an yang biasa karena inilah tanda bahwa di de­kat­nya ada makam sang kaisar Qin Shi Huang (pen­diri dinasti Qin; dinasti yang pertama kali me­nyatukan seluruh Tiongkok) yang legendaris sekal­igus misterius hingga kini.

Untuk mencapai Xi’an yang terletak di barat Tiong­­kok, tepatnya di Provinsi Shaanxi ini, kita cukup menempuh perjalanan udara langsung dari Singapura selama setidaknya 6 jam.Namun, untuk mencapai inti kota, masih butuh perjalanan darat selama 1 jam.

Seperti halnya kota lain di Tiongkok, Xi’an sejati­nya sudah modern. Bahkan, menurut kantor Xi’an International Trade & Logistics Park, Xi’an adalah kota penghubung (hub) penting untuk jalur kereta api dari timur Tiongkok (Shenzhen, Xiamen, Guang­zhou, dll) menuju pasar ekspor di Teheran, Moskow, Budapest, bahkan Hamburg.

Xi’an juga kembali bermimpi untuk kembali ke masa kegemilangannya (mengejar ketertinggalannya dari kota-kota utama Tiongkok di timur) melalui proyek megah di sekitar areal Delta Bawei seluas 120 kilometer persegi. Di proyek ambisius ini terdapat pusat industri, pelabuhan darat untuk kontainer, sekolah, rumah sakit dan komponen penting lainnya. Penduduk Xi’an mencapai 12 juta jiwa, sementara Shaanxi terdiri dari 37 juta jiwa. Sumber daya manusia ini pun dirasa klop dengan lokasinya yang strategis: sebagai pintu barat jalur sutra modern (Belt & Road Initiative).

Bangsa yang besar adalah bangsa yang meng­hargai sejarahnya, demikianlah Xi’an pun mendapat kehormatan sebagai asal muasal Tiongkok sebelum menjadi modern seperti sekarang. Siapapun yang sudah jauh-jauh datang, pastilah akan penasaran untuk melihat langsung bentuk terakota yang men­cengangkan.

Beberapa fakta yang ajaib tentang terakota adalah ternyata ketika digali, warnanya bukanlah debu tanah seperti yang kita lihat saat ini. Warna asli terakota adalah merah, hijau, dan ungu; sepersis warna sera­gam prajurit saat itu. Sementara untuk wajahnya, ber­warna krim atau mendekati warna daging asli. Belum ada penjelasan sains tentang mengapa warna tersebut bisa luntur ketika bersentuhan dengan udara luar dan sinar matahari. Juga tidak ada yang bisa tahu persis apakah zat pewarna yang dipakai sehingga para ahli pun tidak bisa merekonstruksi terakota sesuai dengan warnanya.

Belum berhenti sampai di sana, para ahli juga tidak habis pikir mengapa seluruh wajah terakota yang berhasil ditemukan, tidak mirip sama sekali. Fakta ini sekonyong-konyong membuat cerita misteri bahwa sebenarnya terakota adalah pasukan kerajaan asli yang terkutuk menjadi tanah liat sebagai sebuah pengabdian abadi terhadap sang kaisar.

Dan, jangan heran pula ketika kita berkunjung ke lokasi 3 galian terakota, makam sang kaisar malah belum bisa diketemukan. Tidak ada yang tahu persis di mana sehingga muncul petuah bijak bahwa ma­nusia modern belum tentu yang paling tahu sega­lanya; buktinya, di zaman nuklir dan satelit seka­li­pun, manusia zaman sekarang tidak bisa menemukan di mana gerangan makam seorang manusia kuno.

Berkunjung ke situs sejarah pun menjadi saat mengasyikkan saat pemerintah setempat menunjuk­kan proses rekonstruksi terakota mulai dari pecahan-pecahan, disusun dan lem seperti sedia hingga menyusunnya dalam formasi yang sepersis aslinya (for­masi perang). Kian tambah menarik saat dijelas­kan ternyata 3 galian terakota ternyata berhubungan satu dengan yang lain, yaitu pasukan penyerbu dan pasukan penjaga markas. Puzzle demi puzzle disusun, walau belum tuntas, tetapi menyisakan ruang imajinasi bagi semua orang betapa agung dan tingginya peradaban zaman dulu kala.

Tembok Xi’an

Di Xi’an, sejarah bisa hidup di tengah-tengah masyarakat modern. Tembok Xi’an (Fortifications of Xi’an atau Xi’an City Wall) yang masih utuh (su­dah beberapa kali direkonstruksi) tetap eksis di tengah jalanan Xi’an yang serba hiruk pikuk. Tentu tidak difungsikan sebagai alat pertahanan atau pengawasan, melainkan menjadi areal seni budaya (bahkan juga lokasi foto pranikah) sekaligus pemanis wajah kota.

Tembok Xi’an ini adalah yang terbesar dan tertua (dibangun pada abad XIV di zaman dinasti Ming dan Qing) yang masih bertahan sampai sekarang di Tiongkok. Total arealnya bisa mencapai 14 kilometer persegi. Dan kalau mau coba-coba jalan kaki keliling ke-4 penjuru tembok ini, bakal menghabiskan seti­daknya 2 jam. Itu sebabnya, disediakan juga jasa sewa sepeda untuk lebih memudahkan keliling tembok sambil menikmati pemandangan perkotaan modern yang sangat kontras dengan arsitektur khas feudal di tembok ini.

Adalah mengasyikkan jika kita bisa menebak “kearifan lokal” yang ada di tembok ini dengan rajin menelusuri tiap jengkal tembok ini. Semisal bagian belakang tembok ini ternyata memiliki bangunan tinggi dengan kombinasi jendela yang sangat banyak. Tebak punya tebak, ternyata fungsi jendela itu bukan melihat pemandangan, melainkan tempat para pemanah beraksi menahan serangan musuh yang ingin menyergap dari belakang. Sementara bagian depan tembok terdapat jembatan katrol dan parit besar cukup lebar. Ini merupakan “taktik air” agar musuh tidak bisa secara frontal mendekati tembok. Alhasil, tembok ini sangat sempurna sebagai alat pertahanan terhadap musuh luar yang mungkin menyerang dari 4 penjuru sekalipun.

Tembok Xi’an juga disempurnakan oleh Menara Lonceng dan Menara Genderang yang berada tidak jauh darinya (radius 15-30 menit). Menara Genderang (Drum Tower of Xi’an) berfungsi sebagai alarm massal untuk keadaan genting dan situasi lainnya. Di dalamnya pengunjung bisa melihat berbagai artefak dan karya seni yang masih asli. Sejumlah gendering menghiasi halaman bawah menara ini dan mudah ditebak, kini lokasi ini menjadi ajang pertunjukkan seni budaya.

Sementara “saudaranya”, Menara Lonceng secara geografis ternyata dijadikan sebagai titik tengah (epicentrum) agar bisa mengawasi secara akurat pergerakan masyarakat sipil dan juga musuh. Isi Menara ini kurang lebih sama dengan Menara Gen­derang, kecuali lonceng besinya hanya 1 unit dan diletakan di sudut halaman terbuka. Di sekitar Menara Lonceng sengaja dibangun taman kecil agar menjadi pemanis di kala musim semi. Kedua menara ini kian cantik tatkala malam hari tiba. Musababnya adalah warna warni lampu yang sangat kontras di sekujur me­nara Dan jika kaki belum terlalu lelah berjalan, boleh coba ke Jalan Huimin yang dijejali banyak pen­jual makanan halal. Oh ternyata, di sekitar menara, ada banyak komunitas muslim (ada juga Mesjid Ra­ya setempat) yang telah eksis sejak zaman dulu kala.

Makam Qianling dan Makam Kaisar Jing

Makam kedua yang wajib dikunjungi di Xi’an adalah makam Qianling yang jauhnya sekitar 85 km dari Xi’an. Makam ini dibangun pada masa dinasti Tang, tepatnya untuk Kaisar Gaozong dan Ratu Wu Zetian. Dinasti Tang dianggap sebagai dinasti ke­emasan Tiongkok kuno yang ditandai dengan pesat­nya kemajuan kebudayaan, ekonomi dan akses luas ke luar negeri. Khusus untuk Ratu Wu Zetian, sosok ini sesungguhnya adalah satu-satunya kaisar wanita yang pernah memerintah Tiongkok kuno, yaitu medio 690-705.

Makam ini sangatlah luas, bahkan untuk mencapai puncak bukit yang di dalamnya adalah makam sang kaisar, butuh 30 menit jalan kaki yang melelahkan. Di sepanjang jalan, terlihat patung tantara, pejabat tinggi, kuda dan para diplomat asing. Sayangnya, banyak dari kepala patung yang berhilangan karena dicuri oleh pemburu harta kuburan. Totalnya ada 124 patung. Ini menjadi pertanda betapa makmur dan luasnya jaringan dinasti Tang pada masa itu. Ba­h­kan, ada sepasang patung burung onta yang diper­caya adalah pemberian Afghanistan.

Makam lain yang istimewa adalah Makam Kaisar Jing atau yang dikenal Han Yang Ling (Yang Mauso­leum of Han) yang terletak di kota Xianyang; sekitar 20 km dari Xi’an. Terakota ternyata ditemukan lagi di sini! Sejauh penggalian para ahli, terdapat 86 titik galian (21 di antaranya dibuka untuk umum) yang semuanya memuat terakota tentara, hewan, pegawai, juru masak dan profesi lainnya.

Hanya saja, berbeda dengan terakota makam Qin Shi Huang, terakota di sini hanya seukuran sepertiga manusia alias mini. Alih-alih tampak sepersis manu­sia, terakota di sini tampak seperti boneka tanah liat yang sekadar menjadi simbol. Terakota di sini juga tidak cukup detail. Akan tetapi, menyusuri lubang gali­an di dalam kotak kaca dengan lampu yang re­mang-remang plus papan informasi dalam format vi­deo adalah pengalaman yang mengasyikkan.

Museum Shaanxi

Bagi penikmat sejarah yang ingin lebih ringkas menikmati “perjalanan waktu” dari Zhou – Qin - Han – Tang di satu tempat saja, sangat cocok ke Mu­seum Shaanxi yang punya sangat banyak koleksi. Mulai dari prasejarah hingga kedinastian, museum Shaanxi punya ratusan artefak yang sangat komplit.

Beberapa benda yang bisa mengundang decak kagum adalah fosil Lantian Man (subspecies Homo erectus) yang konon katanya masih bersaudara dengan Java Man yang selama ini dikenal dengan Homo erectus.

Lalu uang purba alias uang mula-mula yang ternyata ada­lah cangkang kerang. Karena Xi’an jauh dari laut, dianggaplah barang-barang demikian sangat berharga. Meski demikian, di zaman dinasti, uang koin logam sudah dibikin. Bentuk koin yang bulat di luar tapi petak di dalam juga diambil dari filosofi kerajaan. Raja ataupun kaisar dianggap titisan langit yang dianalogikan dengan bentuk lingkaran (bentuk yang tidak terbatas). Sementara rakyat dianalogikan dalam bentuk petak (terbatas). Jadi lingkaran yang melingkupi kotak adalah symbol raja/kaisar yang mengayomi rakyat.

Benda lain yang menunjukkan peradaban maju Tiongkok kuno adalah alat musik pukul yang hanya ada 5 nada, kendi memasak dari perunggu, kerajinan tanah liat yang sudah berwarna-warni, segel ratu dan ceret teh yang sanggup menjaga suhu tetap hangat.

Kuil Famen

Aspek lain yang beriringan dengan sejarah kerajaan atau dinasti di Tiongkok adalah penyebaran agama Buddha yang sangat massif di Xi’an. Salah satu bukti paling sahih adalah eksisten Kuil Famen yang terletak di bagian barat Xi’an, tepatnya di kota kecil Famen yang jaraknya mencapai 120 km.

Ikon kuil ini adalah pagoda yang tinggi menjulang ke langit dengan eksterior khas dinasti Han (punya ba­nyak lekukan dan corak). Boleh dibilang Kuil Fa­men adalah salah satu yang tertua yang terus diper­tahankan dari kerajaan ke kerajaan dan dari di­nasti ke dinasti. Hingga pada tahun 2009, rekonstruksi besar-besaran pun selesai dengan meng­hasilkan kompleks yang jauh lebih besar dari aslinya.

Salah satu penambahan adalah bangunan Namaste Dagoba yang bentuknya menyerupai 2 telapak tangan yang berpadu seperti sedang bermeditasi. Selebihnya adalah halaman yang sangat luas yang di samping kiri dan kanannya berdiri kokoh patung-patung Bud­dha. Saking luasnya, disediakan layanan (berbayar) mobil golf untuk mengelilingi kompleks ini.

Sementara di dalam pagoda, tersimpan utuh berbagai artefak kuno yang menjadi bukti sejarah kuil ini, termasuk lorong dasar yang diklaim belum per­nah disentuh atau dimodifikasi oleh manusia di zaman apapun. Tempat sem­bahyang juga tersedia de­ngan dilengkapi aula yang sangat besar yang mam­pu menampung ribuan orang. Tidak heran, per­kumpulan umat Buddha yang boleh dibilang terbesar pernah diselenggarakan di sini beberapa tahun silam.

Selain Kuil Famen, situs agam yang tidak kalah mencengangkan di Xi’an adalah Pagoda Angsa Liar Raksasa yang terletak di selatan Xi’an. Perbedaan paling menyolok dengan Kuil Famen adalah arsitek­turnya yang cenderung polos alias tidak banyak le­kuk seperti khasnya bangunan Tiongkok kuno. Musa­babnya adalah sang biksu pendiri tetap mempertahankan ciri khas budaya dari tempat Buddha berasal, yaitu India.

Selain sembahyang, pengunjung boleh naik ke bagian atas pagoda untuk melihat berbagai sudut pemandangan Xi’an. Dan kalau datang di pagi hari, ada senam massal taichi dan kadang-kadang juga adalah pertunjukan seni pedang.

Shanghai Tower

Dua setengah jam terbang dari Xi’an ke timur, tibalah di kota yang menjadi perwajahan paling modern Tiongkok: Shanghai! Ini adalah kota mega­politan yang telah menjadi yang tersibuk dari zaman pelabuhan kuno hingga di abad semodern sekarang. Lokomotif ekonomi ini sendiri menjadi tempat 24 juta jiwa bermukim – kota paling padat di Tiongkok.

Dari sekian banyak ikon,Shanghai Tower adalah wajah paling berkilau yang tidak bisa tidak harus disambangi. Inilah gedung pencakar langit tertinggi kedua di dunia yang diresmikan 4 tahun lalu. Kon­struk­sinya memakan waktu 6 tahun dengan ditangani oleh insinyur dari Jerman.

Tingginya mencapai 632 meter sehingga sebagian puncaknya kadang bisa tertutupi oleh awan ketika sedang kabut tebal. Lantai observasinya di lantai 118 tergolong tertinggi dan itu artinya kita bisa melihat pemandangan inti kota Shanghai secara jelas dengan sudut 360 derajat, utamanya Sungai Huangpu. Untuk mencapai level ini, kita cukup menumpang lift tercepat di dunia, yaitu 20,5 meter per detik atau menurut pengalaman, tidak lebih dari 2 menit.

Gedung ini mahaunik karena tiap lantai bergeser 1 derajat. Alhasil, ketika dilihat dari jauh, seolah-olah gedung ini bergerak sendiri atau sering angin topan yang memelintir sendiri. Gedung ini sendiri berte­tangga dengan Jin Mao Tower dan juga Shanghai World Finance Center yang sama-sama jangkung dan modern. Tidak jauh dari menara ini, juga ada Shanghai Pearl TV Tower yang sempat menjadi jawara menara tertinggi di Shanghai.

Shanghai ketika malam hari sendiri menawarkan peman­dang­an yang jauh berbeda. Idealnya adalah sambil menyusuri Sungai Huangpu dengan kapal pesiar. Dari sini, kita bisa melihat puluhan gedung dengan lampu yang berkerlap-kerlip. Kombinasi warna serta permainan lampunya sungguh memu­kau dan kreatif. Ada yang bahkan menjadi tempat beriklan. Pokoknya, sejauh mata memandang, semuanya serba bersinar dan mengundang decak kagum. Rasa-rasanya membawa yang terkasih adalah hal paling tepat sambil menikmati semilir angin musim gugur.

Shanghai’s Highlight

Yang terbaru di Shanghai tidak lain adalah Shanghai Dis­neyland. Keluarga atau bahkan hampir seluruh kalangan akan sangat cocok jalan-jalan ke taman penuh fantasi dan penuh nuansa gembira. Shanghai Disneyland diklaim sebagai yang terbesar di antara properti Disneyland yang lain. Bahkan, kastil ikoniknya dipastikan memiliki ketinggian yang no. 1 di dunia.

Semua elemen pendukung Disneyland hadir setiap hari di taman ini. Tambahan yang menarik adalah inilah taman pertama Disneyland yang memiliki wahana Pirates of the Carribean; lengkap dengan “laut” dan kapal buatannya.

Wahana Tron, Star Wars, dan Marvel (waralaba yang baru-baru ini diakuisisi Disney) juga tidak kalah memanjakan para pencinta Disney dari kalangan yang lebih dewasa. Dengan tiket masuk mulai dari Rp. 800.000, pengunjung sudah bisa menikmati semua permainan. Namun, saking besarnya taman dan panjangnya antrian, kemungkin besar seluruh wahana tidak bisa dinikmati dalam 1 hari. Lokasi Shanghai Disneyland juga cukup jauh dari inti kota, yaitu setidaknya 1 jam.

Sementara bagi yang sangat mencintai seni lukis, kini sangat cocok masuk ke China Art Museum yang dulunya merupakan China Pavilion yang ditampilkan secara megah di perhelatan World Expo 2010. World Expo adalah acara dengan pengunjung terbanyak ketiga setelah Piala Dunia Sepakbola dan Olimpiade.

China Art Museum menyimpan ratusan koleksi berseni, baik dari yang sarat sejarah maupun yang kontemporer sekalipun. Tiga jam rasanya tidak cukup andai pengunjung benar-benar menelaah lukisan demi lukisan. Hebatnya lagi, museum ini juga menghadirkan jejak seni tempo dulu Shanghai, seperti animasi dan komik klasik.

Masih berkaitan dengan seni, pengunjung yang ingin berburu barang-barang artistik bisa ke Tianzifang (modern) dan Taman Yuyuan (klasik). Keduanya terpaut jarak yang jauh, tetapi masing-masing menawarkan oleh-oleh yang sangat khas Shanghai. Wisata kuliner juga bisa dilakukan di sini, apalagi penjaja makanannya serba kreatif, seperti memadukan bentuk hewan lucu ke dalam dim sum aneka rasa. Sungguh patut diberi aplaus! (Darwis Taniwan/Frans Margo)

()

Baca Juga

Rekomendasi