Anomali Kehidupan Manusia

Oleh: Filbert Salim.

Ketika berbicara mengenai istilah "anomali", orang-orang tentu akan mengaitkannya dengan pelajaran Fisika me­ngenai sifat anomali air. Nah apakah sifat anomali air itu? Kebanyakan zat akan mengalami pemuaian apabila dipanaskan (dinaikan suhu). Akan tetapi, pemuaian tidak terjadi dan se­baliknya air mengalami penyusutan dalam rentang suhu 0°C - 4°C. Jika kita melihat kalimat-kalimat yang ada di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa anomali artinya kebalikan; yang sebaliknya, atau lebih tepat disebut penyimpangan.

Kita tidak akan membahas lebih lanjut mengenai anomali air. Penulis hendak meng­gunakan kata "anomali" untuk topik yang akan dibahas yakni mengenai anomali peri­laku manusia. Berdasarkan pengertian ano­mali yang sudah disebutkan sebe­lumnya, maka pengertian dari anomali perilaku manusia adalah penyimpangan perilaku manusia dari yang seharusnya.

Adanya peradaban manusia telah mengu­bah kehidupan dan juga perilaku manusia. Mulai dari zaman dahulu ketika ma­nusia masih belum mengenal tulisan, yang dalam ilmu sejarah disebut zaman prasejarah, ketika manusia masih hidup noma­den (hidup berpin­dah-pindah tempat), mengumpulkan makanan (food gathering) yang berlanjut hingga akhirnya menempati wilayah yang tetap dan menghasilkan makanan sen­diri (food produ­cing), munculnya suku, bangsa, dan akhirnya negara (country), yang me­mung­kinkan adanya perdagangan antar ne­gara. Kondisi perdaga­ngan yang terjadi akibat politik keserakahan manusia saat itu melahirkan apa yang disebut dengan kolonia­lisme dan imperialisme.

Mari kita renungkan hal ini dalam lubuk hati kita yang pa­ling dalam. Janganlah re­nungkan dengan adanya rasa memen­tingkan diri sendiri. Akan ada penilaian tidak adanya rasa internasionalisme atau kema­nusiaan yang dilakukan oleh para penjajah. Mereka yang dijajah dirampas apa yang menjadi hak mereka, baik itu edukasi, irigasi maupun migrasi yang tertuang dalam Trilogi van De­venter. Manusia pada mulanya sudah di­anu­gerahi hak untuk memperoleh kehidupan yang layak sejak lahir hingga akhir hayatnya. Dalam pelajaran Pen­didikan Kewarga­nega­raan, kita telah belajar hak dan kewa­jiban. Hak yang kita peroleh tidak boleh me­ngu­rangi/mereng­gut hak milik orang lain. Namun itulah yang terjadi (peram­pasan hak) dan berlangsung hingga sekarang.

Pada masa kolonial itulah terjadi Revolusi Industri yang berawal di Inggris dan Kemer­de­kaan Negara Federasi yang kelak akan men­jadi negara adidaya. Keduanya mem­bawa ba­nyak perubahan bagi perkembangan teknologi baru. Mun­culnya alat komunikasi yang baru, alat transportasi yang baru mem­bawa harapan baru, tetapi munculnya persen­jataan baru menimbulkan kembali hasrat manusia yang serakah, yang berniat balas-membalas dendam, yang iri hati me­lihat kemaju­an orang lain. Hal ini bisa terlihat dari pecahnya Perang Dunia I yang ber­langsung dari 1914-1918 antara Blok Sekutu (Ing­gris, Rusia, Prancis) melawan Blok Sentral (Jerman, Austria-Hongaria, Italia). Lebih dari sembilan juta prajurit gugur akibat kemajuan teknologi yang mening­katkan tingkat kema­tian suatu senjata tanpa memper­timbangkan perbaikan perlindungan atau mobilitas.

Fakta itu jelas membuktikan bahwa kesa­lahan yang dengan sengaja dibuat manusia untuk kepentingan sendiri tidak memberikan keuntungan apapun selain kerugian yang amat mendalam bagi umat manusia.

Parahnya, hal itu masih tidak disadari. Hal ini dibuktikan dengan memanasnya suhu hubungan diplomatik antar negara Eropa, saling caplok-mencaplok daerah lawan, dan bangkitnya rasa ultranasionalisme. Masing-masing pihak melakukan klaim mereka masing-masing yang kembali meletuskan salah satu perang yang paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia, Perang Dunia II (1939-1945). Perang tersebut ber­akhir setelah banyak korban yang berjatuhan dan dijatuhkan­nya bom atom di dua kota strategis Jepang, Hiroshima dan Na­gasaki.

Ketika banyak korban sudah berjatuhan, barulah kembali dipikirkan usaha perda­maian. Lima puluh negara peserta Konferensi San Fransisco pada 26 Juni 1945 menanda­tangani Piagam PBB yang menjadi cikal bakal berdirinya PBB (United Nations Orga­nization) yang berdiri pada tanggal 24 Oktober 1945, yang diharapkan dapat menye­lesaikan ketegangan antar­negara, namun faktanya ketegangan yang ada tidak mereda, bahkan semakin membara dan sengit sebab menyeret negara-negara lain ke dalam kon­flik. Resolusi PBB yang seharusnya menga­tasi dan menghukum negara-negara peng­gang­gu stabilitas perdamaian dunia digagal­kan negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB menggunakan senjata andalannya "Hak Veto". Alasannya sangat sederhana : melin­du­ngi kepen­tingan sendiri.

Jika kita membahas istilah "melindungi kepentingan sen­diri", akan muncul perta­nyaan "Apa maksud dari melindungi kepen­tingan sendiri?" yang akan dijawab dengan dalih mem­­pertahankan negara itu sendiri. Namun, terasa sangat janggal jika sebuah negara adi­daya yang cukup aman mengata­kan hal sede­mikian. Hal itu terjadi pada masa Perang Di­ngin yang merupakan konflik ke­pentingan. Kon­flik yang melibatkan Negara-Negara Du­nia Ketiga dan merugikan banyak pihak dima­na kemiskinan yang mewabah dan ancaman yang membahayakan keselamatan mereka.

Dalam konteks masyarakat, anomali perilaku manusia dapat dilihat dalam sosiali­sasi antarmasyarakat. Menurunnya kemo­ralan manusia pada saat ini sungguh meng­khawatirkan. Kemajuan teknologi menye­bab­kan berkurangnya sosialisasi antarma­nusia secara drastis. Orang-orang menghabis­kan sebagian besar waktunya di depan tele­pon genggam masing-masing tanpa adanya percakapan dengan individu-individu yang ada disekitarnya. Kesenjangan pendapatan me­nyebabkan pembagian kelas antara orang berpenghasilan banyak dengan orang ber­peng­hasilan sedikit.

Belum Terlambat

Sangat terinspirasi dari serial drama medis "New Amster­dam" dimana direktur medis New Amsterdam Hospital, dr. Max Goodwin yang diperankan oleh Ryan Eggold dalam perte­muan rapat pertamanya mengatakan," Sistem yang ada di dunia sulit untuk diubah. Namun, kita bisa menjadi sistem itu dan mengubahnya." Kita harus mengubah sikap, pe­rilaku, dan cara pandang kita. Kita bisa me­mulainya dari diri kita sendiri, yang terus ber­lanjut ke tingkat komunitas dan terus sampai tingkat negara.

Membantu negara lain yang mengalami permasalahan dengan pertanyaan "Apa yang bisa saya bantu?" mengutip dari pertanyaan dr. Max Goodwin kepada kepala departemen rumah sakitnya. Memahami pokok permasa­lahannya dan memberikan solusi yang baik. Alangkah baiknya jika negara-negara menga­bai­kan kepentingan mereka dan fokus me­nye­­lesaikan permasalahan global lainnya seperti perubahan iklim dan pemanasan glo­bal, kesejahteraan manusia yang masih ba­nyak dari mereka yang menjadi pengang­guran.

Bayangkan, mengapa manusia prasejarah bisa bekerja sama, saling bergotong royong sedangkan kita, yang merupakan manusia modern (Homo sapiens) yang mempunyai daya nalar yang jauh lebih baik malah saling meniadakan satu sama lain?***

* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum UNPRI dan alumni SMA Sutomo 1 Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi