Mempertanyakan Wawasan Kebangsaan Kaum Milenial

Oleh: Roy Martin Simamora.

Thomas Chamorro-Premuzic dalam tu­lisannya bertajuk “Are millennials as bad as we think?” di surat kabar The Guar­dian mengatakan generasi mi­lenial ada­lah kaum yang kompleks. Kaum mi­le­nial memiliki sifat para­doksikal da­lam karakter mereka-sebuah ketega­ngan antara kebalikan yang harus dida­mai­kan. Ketegangan ini meng­hadirkan tan­ta­ngan, tidak hanya bagi generasi mille­nnial, tetapi juga bagi mereka yang men­coba memahami dan mengelolanya.

Dia membagi beberapa poin yang meng­gambarkan ge­nerasi milenial: per­ta­ma, kaum ambisius tapi malas. Menu­­rut­nya, kaum muda sangat mudah diberi janji-janji yang tidak realistis. Kaum realistis meskipun mau bertaruh me­ngorbankan idealismenya. Ketika menamatkan kuliah, mereka diberikan harapan tinggi yang menganggap bahwa pencapaian kesuksesan hanya direalisasi­kan pada setiap janji-janji itu. Kaum milenial telah berpikir bahwa kesuk­sesan adalah memiliki kepercayaan diri yang tinggi; bukan disiplin, pengetahuan diri atau kerendahan hati. Ini membuat ha­rapan mereka soal bakat mereka (yang dipersepsikan sendiri) tetap utuh, seolah-olah cepat atau lambat potensi luar biasa mereka akan ditemukan, bahkan jika mereka tidak mencurahkan banyak waktu untuk memanfaatkannya.

Kedua, hyper-connected, tetapi ter­obsesi pada diri sendiri. Media telah mem­percepat waktu interaksi manusia, ter­masuk interaksi kaum milenial. Mi­salnya, Facebook. Kaum milenial tidak perlu bersitatap antarsesama teman. Cu­kup berinteraksi dan berkomunikasi le­wat dunia maya. Thomas Chamorro-Pre­muzic menyebut kaum milenial terhu­bung secara hiper, tetapi mereka tidak begitu tertarik pada orang lain kecuali sebagai audiens belaka. Seperti slogan YouTube, ambisi utama mereka adalah untuk menyiarkan diri mereka sendiri kepada khalayak publik. Contoh paling nyata: mendoku­mentasikan keseharian dalam rekam video lalu dibagikan ke Youtube. Saya melihat kaum milenial akan bahagia jika memiliki banyak pe­ngikut. Tergila-gila dengan puja-puji. Bah­kan melupakan batas-batas penggu­naan teknologi. Mengeksplor diri terlalu jauh. Tidak peduli itu privasi atau tidak. Dia mengatakan fenomena ini adalah rev­olusi media sosial, tetapi mungkin jus­tru sebaliknya: kekuatan media sosial hanya menyoroti betapa kita telah men­jadi sia-sia. Tingkat narsisisme terus me­ningkat selama beberapa dekade terakhir, mem­buat generasi millennial lebih ter­ob­sesi pada diri sendiri daripada pen­dahulu mereka.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Now Sourcing and Frames Direct, dalam seminggu, milenial membutuhkan waktu se­kitar satu jam hanya untuk men­da­patkan hasil foto yang paling bagus. Waktu tersebut merupakan waktu yang di­butuhkan saat mulai mengambil foto, sampai melakukan proses editing lewat aplikasi yang diunduh via smartphone. Te­muan itu juga melaporkan foto selfie yang beredar di media sosial didominasi oleh milenial dengan 55 persen, diikuti oleh Gen X dengan 24 persen, dan baby boomers sebanyak 9 persen. Penelitian lainnya juga menemukan tingkat narsis­me kaum milenial. Sejurus dengan itu, la­poran doktor klinik Psikologi dari Case Wes­tern Reserve University, Joshua Grubbs menempatkan generasi milenial de­ngan skor tertinggi terkait narsisme. Me­reka mendapat nilai 65,3 dari keselu­ruhan 100 poin.

Ketiga, nonkonformis (perilaku me­nyimpang dari norma-norma) tetapi ma­terialistis: faktanya bahwa kaum milenial san­gat tertarik pada uang, status dan hal-hal berbau mahal. Namun, obsesi dengan “bling” ini kontras dengan sifat nonko­n­f­or­mis mereka. Memang, kaum milenial lebih indi­vidualistis, memberontak dan mandiri daripada generasi masa lalu, kecuali keinginan mereka untuk menye­suai­kan diri. Akibatnya, kaum milenial ter­jebak dalam lingkaran setan: di satu sisi, mereka ingin mengganggu sistem; di sisi lain, mereka lebih takut terhadap penolakan.

Keempat, sulit untuk memotivasi, tetapi lebih mau terli­bat: kaum milenial me­lihat pekerjaan kurang penting bagi ke­hidupan mereka. Mereka menghargai ke­seimbangan kehidupan kerja lebih dari ge­nerasi yang lain. Ironisnya, ini mem­buat tuntutan dan standar milenial lebih rendah-ketika Anda melihat pekerjaan se­bagai “hanya mencari nafkah”, Anda ber­harap menemukan makna di area ke­hidupan lain (misalnya pendidikan, hu­bu­ngan, atau hobi). Kaum milenial per­caya pada kesenangan daripada bekerja. Ka­renanya, mereka ber­harap untuk bersenang-senang di tempat kerja.

Jika menganalisa pemikiran Thomas Cha­morro-Premuzic di atas menegaskan, kaum milenial telah berevolusi sangat cepat daripada generasi-generasi sebe­lum­nya. Dibandingkan dengan generasi se­belumnya, sikap kaum milenial dalam hal bekerja dan bersenang-senang mungkin membuat mereka lebih rumit untuk dipahami. Hal itu ditandai pula dengan pesatnya teknologi dan informasi di seluruh dunia. Kaum milenial dianggap sebagai kaum yang sangat mudah ber­adaptasi dengan lingkungan baru. Tetapi, dibalik itu ada beberapa masalah-masalah rumit yang dihinggapi oleh kaum milenial yang tentu saja berkaitan dengan sejauh mana wawasan kebangsaan mereka.

Krisis Wawasan Kebangsaan

Saya punya pengalaman yang unik: saya pernah berta­nyapada mahasiswa soal wawasan kebangsaan. Seberapa jauh me­reka punya pengetahuan soal wawasan ke­bangsaan. Beberapa pertanyaan yang saya lontarkan sebetulnya “re­meh-temeh” tapi imbasnya lumayan menge­ce­wa­kan. Pada kesempatan itu, saya ber­tanya-tanya seputar kapan sebe­tulnya Indonesia merdeka, siapa pahlawan na­sional atau pahlawan revolusi yang me­reka kenal, lalu saya kaitankan dengan satu contoh yang paling dekat dengan me­reka; berkaitan dengan suku. Siapakah pah­lawan dari suku mereka yang ikut mem­perjuangkan kemerdekaan dan me­rebut kehormatan bangsa? Lantas, apa ja­waban yang saya dapat­kan? Sungguh men­cegangkan: tak satupun dari mereka yang tahu siapa pahlawan dari suku mere­ka apalagi pahlawan nasional sampai se­karang ini.

Pengalaman yang lain, pada satu ma­teri kuliah yang mem­bahas identitas nasional, saya bertanya pada maha­siswa: apa itu identitas nasional atau pertanyaan saya ganti agar menjadi lebih mudah di­­pahami: apa identitasmu sebagai warga negara Indonesia? Meskipun, satu dua orang diantara mereka mampu menja­wab­­nya, tapi tidak cukup memuaskan pi­­kiran saya waktu itu. Ini membuktikan, kaum milenial telah mengalami kemero­so­tan identitas, krisis kesadaran dan pe­mahaman tentang wawasan kebang­sa­an Indonesia.

Saya pun tepekur seraya menghela nafas: apakah kaum milenial telah me­miliki pahlawan baru dalam kehidupan me­reka? Faktanya memang begitu. Pen­cipta, penemu dan raksasa-raksasa tek­nologi yang hari ini mereka baca, lihat, dan konsumsi setiap hari: Facebook, You­tube, Instagram, Google dan yang lainnya mungkin telah menjadi pahlawan baru dan sesungguhnya bagi mereka. Saban hari, kaum milenial disuguhi dengan ak­ses mudah, cepat, dan praktis dalam meng­gunakan internet.Mereka menemui se­galanya pada kemudahan internet. Ber­sebab itu, kaum milenial seakan me­lu­pa­kan jati diri, identitasnya sebagai bangsa Indonesia.

Siapa yang gagal dalam hal ini? Ini me­rupakan kegagalan terbesar keluarga, lem­baga pendidikan, guru, dosen dan ne­gara sekalipun dalam melahirkan ge­nerasi yang buta dengan sejarahnya sen­diri. Peran lembaga pendidikan, penge­na­lan sejarah, serta wawasan kebangsaan hing­ga hari ini masih perlu dipertanyakan. Lem­baga pendidikan seper­tinya belum meng­hasilkan pribadi yang mengenal sejarah bangsanya sendiri. Peran sekolah dan guru justru gagal dalam pengajaran: tidak melahirkan pelajar yang memiliki jiwa-jiwa nasionalis, patriotis serta tidak memiliki kemauan kuat mempelajari, menyesapkan keluhuran bangsanya dalam dirinya sendiri. Negara justru gagal dalam mensosialisasikan wawasan kebangsaan se­bagai landasan utama dalam usaha peletakan prinsip per­satuan dan kesatuan.

Elit politik dan penguasa lebih sibuk mengurusi kepen­tingan politik ketimbang memi­kirkan nasib bangsa ini ditangan generasi selanjutnya.

Meminjam istilah Anderson (1991) mengatakan wawasan kebangsaan adalah socially and politically constructed. Artinya wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik. Artinya, wawasan kebang­saan adalah bagian penting dari konstruksi elit politik terhadap bangunan citra (image) bangsa Indonesia. Apa pun perbedaan pandangan, persepsi itu telah membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebang­saan, terutama dalam menghadapi pesatnya kemajuan teknologi, informasi dan ilmu penge­tahuan.

Lalu, bagaimana dengan wawasan kebangsaan kaum milenial zaman sekarang ini? Apakah mungkin bagi mereka bahwa pemahaman wawasan kebangsaan memang tidak dibutuhkan lagi ditengah cepatnya arus modernisasi, apa­lagi revolusi industri 4.0 yang sangat massif digaungkan? Saya pikir, wawasan kebangsaan sangat dibutuhkan di zaman yang serba cepat dan mudah ini. Akan tetapi, tak satupun jejak digital, survey atau laporan, yang meng­informasikan seberapa jauh sebenarnya pemahaman kaum milenial tentang wawasan kebangsaan Indonesia. Mestinya dibuat laporan khusus terkait sudah seberapa jauh wawasan kebangsaan kaum milenial zaman sekarang ini. Padahal, wawasan kebang­saan memiliki makna memahami kebera­daan jati diri sebagai suatu bangsa dalam memandang dirinya dan bertingkah laku sesuai falsafah hidup bangsa. Menguasai teknologi bukan berarti melupakan pedoman hidup bangsa.

Setidaknya, kaum milenial tidak melupakan jati dirinya sebagai bagian dari Indonesia. Bukankah, wawasan ke­bangsaan mengamanatkan kepada seluruh bangsa agar menempatkan persatuan, kesatuan, serta ke­pentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan individu atau go­longan?

Bahkan, jelas sekali bahwa nilai-nilai wawasan ke­bang­saan yang terwujud dalam persatuan dan kesatuan bangsa memiliki 6 (enam) dimensi yang bersifat mendasar dan fundamental: penghargaan terhadap harkat dan mar­tabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, cinta atas tanah air dan bangsa, demokrasi atau ke­daulatan rakyat, tekad bersama untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, dan bersatu, masyarakat adil-makmur, dan kesetiakawanan sosial.

Kaum milenial mesti mengamalkan dan mengaktua­lisasikan nilai-nilai itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun, kaum milenial disi­bukkan dengan kerja-kerja teknologis.

Perkembangan teknologi di bidang informasi, telekomu­nikasi, media elektronik, dan transportasi seharusnya mem­buat wawasan kebangsaan masyarakat (kaum milenial) semakin luas. Jangan pula ada kasus kaum milenial yang tidak bisa menghafal Pancasila, lupa lirik lagu kebangsaan, tidak tahu identitas dirinya, lupa simbol-simbol negara, dan kasus-kasus lainnya. Jangan ada idiom:“Menghafal Pan­casila saja tidak mampu, apalagi upaya menyadarkan diri dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehi­dupan sehari-hari.”Ini memang terlihat sepele tapi dam­paknya sangat luarbiasa besar. Bagaimana mungkin kaum milenial di masa depan mampu memperkenalkan budaya bangsanya kepada bangsa lain lewat kemajuan teknologi tanpa mengetahui siapa dirinya sendiri?

Pada titik ini, kaum milenial boleh-boleh saja maju dalam hal perkembangan teknologi dan informasi, tetapi mesti diingat, kaum milenial tidak boleh tertinggal dalam hal wawasan kebangsaan. Karena bagaimanapun, wawasan kebangsaan adalah salah satu faktor kunci yang mendorong majunya peradaban sebuah bangsa.***

Penulis adalah Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.

()

Baca Juga

Rekomendasi