Kasih Sayang Seorang Ibu

Seorang ibu menunggu telepon anaknya yang tinggal jauh di sana. Berhari-hari, berminggu-minggu dia tunggu tapi telepon yang ditunggu-tunggunya tak muncul juga. Padahal si ibu bisa saja menelepon langsung tapi dia takut mengganggunya.

Setiap hari, mungkin setiap waktu pikirannya selalu rindu anaknya. Terkadang di saat tidur pun nama anaknya sering disebut. Di saat kita masih terlelap tidur dia bangun lebih awal untuk memohon kepada Tuhan agar anaknya bisa menjadi orang yang berhasil.

Tapi si anak selalu sibuk dengan pekerjaa­nya. Sesibuk apakah sehingga tidak sempat untuk menghubungi orang tuanya?

Tuhan pun mungkin punya caranya sendiri untuk membuka pintu hati si anak.

Di saat tidur si anak itu bermimpi. Di mim­pinya itu dia melihat ibunya terkena musibah, sehingga ia pun terbangun dari tidurnya. Untung itu hanya sebuah mimpi. Ia pun menangis, alangkah bodoh dirinya tak pernah peduli dengan keadaan orang tuanya. Bagaimana kalau mimpi itu benar- benar terjadi?

Kini ia sadar telah melupakan orang yang telah membesarkan dirinya. Ia pun berjanji untuk sering menghubungi ibunya.

Apakah kita terlalu mementingkan urusan kita hingga tak sempat meluangkan waktu se­dikit untuk orang tua kita. Padahal dengan menya­panya walaupun cuma sekedar mena­nya­kan keadaanya, itu bisa membuat hatinya bahagia.

Apakah kita baru akan sadar setelah terjadi musibah yang menimpa? Bersyukurlah kita masih diberi kesempatan masih bisa bertemu dengan orang tua kita.(http://adnan-kisahkasihibu.blogspot.com/)

Kisah ini mungkin dialami bagi mereka yang sudah sangat berjauhan dengan orang tuanya. Ini karena si anak sudah punya tanggungjawab sebagai orang tua. Atau ia bekerja di tempat yang jauh sehingga jarang untuk berkomunikasi dengan orang tuanya.

Rasa rindu seorang ibu kepada anaknya tentu tidak bisa tertandingi dengan rasa rindu seorang anak kepada ibunya. Ibunya yang kini sudah termakan usia, pasti akan menunggu kehadiran anak-nakanya seperti masa di mana ia selalu mendampingi anak-anaknya.

Lalu saya teringat dengan dua anak saya yang masih duduk di sekolah dasar. Keduanya akan menangis ketika ‘jeputan’ datang terlam­bat. Bahkan dengan penuh kekecewaan mere­ka berkata, “Umi kok lama kali datangnya. Tadi pagi kan Umi janji mau jeput Ais sebelum Ais keluar dari kelas. Ini Ais udah keluar baru Umi jemput,”ujar anak ku yang bungsu penuh protes kepada ibunya.  Biasanya, istriku hanya ter­senyum dan mencoba menghibur anak bontot nya ini, sambil memberi alasan kenapa ia datang terlambat.

Itulah mungkin yang dialami oleh ibu-ibu yang luar biasa ini, mereka dengan penuh ka­sih sayang mengantar dan menjemput anak-anaknya ke sekolah. Bahkan sejak pagi mereka sudah menyiapkan makanan dan pakaian anak-anaknya. Namun pernahkah terlintas di benak mereka, apakah nanti pengorbanan mereka ini akan dibalas anak-anaknya. Tidak! Mereka tidak pernah berpikir bahwa apa yang mereka lakukan hari ini tentu akan mendapatkan hasil jika anak-anak nya  sudah besar nanti. Di saat usia mereka sudah senya, pasti anak-anaknya akan memelihara mereka. Hari ini yang mereka lakukan sebenarnya karena naluri keibuan dan kasih sayang mereka. Tidak terpikir oleh mereka, anak-anaknya akan membalas apa yang mereka perbuat. Mereka ikhlas biar pun nanti anak-anaknya tidak mengurus seperti mereka diurus sekarang.

Dulu ketika saya masih anak-anak, saya sangat dekat dengan ibu. Ini karena saya anak bungsu. Biasanya anak bungsu adalah anak yang penuh dengan permintaan. Jika permintaanya tidak dikabulkan maka ia akan merajuk atau merasa ibu tidak lagi sayang. Nah sekarang saya sudah menjadi seorang ayah. Apa yang dirasakan ayah dan ibu saya dulu kini saya rasakan. Betapa rasa cinta lebih menyampingkan berbagai hal. Bila anak minta sesuatu, maka apa pun dilakukan demi anak tersenyum bahagia.

Karena itulah Islam mengajarkan kepada kita jangan mencintai anak 100 persen, se­hingga apa yang diinginkan harus dikabulkan. Sehingga terkadang cinta kita akan menjeru­muskan anak. Itulah sebabnya Nabi Ibrahim as diuji Allah Swt, apakah ia lebih mencintai anak­nya Ismail atau lebih mencintai Allah. Dalam hal ini Nabi Ibrahim lulus dari ujian Allah, ka­rena ia lebih mencintai Allah daripada men­cintai anaknya.

Kita disuruh mengajarkan anak terlebih dahulu untuk mengenal Allah. Jika mereka kenal Allah pasti mereka akan ‘bertanggung­jawab’ dengan apa yang kita berikan kepa­danya. Karena Islam menyuruh seorang anak untuk selalu patuh dan taat kepada orang tua, selagi orang tua tersebut tidak membawanya ke jalan kezhaliman.

Seorang ibu, tidak perlu cemas terhadap anak-anaknya jika ia telah mengajarkan dan memberi keteladan kepada anak-anaknya nilai-nilai keislaman yang sejati. Anak akan paham posisinya dan tentu kelak akan tetap mencintai orangtuanya. Ibu tidak harus selalu menunggu telepon dari anaknya, karena anaknya selalu berkunjung dan bersilaturahmi dengan orang tuanya terutama kepada ibunya yang dulu dengan sabar mendidiknya.

Bagi mereka yang masih mempunyai orang­tua dan terkadang sering lupa dengan mereka. Mari kita rajut kembali nilai-nilai kasih sayang yang dulu pernah kita dapatkan dari mereka.

()

Baca Juga

Rekomendasi