Melatih Berpikir Rasional Ala Sherlock Holmes

KALANGAN penggemar Sherlock Holmes alias Sher­lockian umumnya terpukau oleh keta­jaman de­duksi, kemampuan menyamar, dan keterampilan foren­sik sang detektif ketika menyelidiki kasus. Kualitas itu seakan tak terjamah orang biasa di dunia nyata.

Mungkin tak semustahil itu, mengingat inspirasi detektif kon­sultan itu dinukil Sir Arthur Conan Doyle dari tokoh nyata. Menurut keterangan Encyclopedia Britan­nica, karakter dan me­tode deduksi Holmes didasarkan pada Dr. Joseph Bell, salah se­orang mentor Doyle di University of Edinburgh Me­dical School.

Jika menilik kanon kisah petua­la­ngan sang detektif, dapat terbaca bahwa kemampuannya tak datang dari ruang hampa. Bukan pula ba­kat istimewa yang muncul tiba-tiba, tetapi sesuatu yang telah dila­tih sejak muda.

Holmes pertama memecahkan kasus saat kuliah. Kisah ini bisa di­simak dalam cerpen The Adven­ture of the Gloria Scott (1893). Da­­lam cerpen itu dikisahkan Hol­mes mulai menunjukkan kemam­puan deduksinya kepada kawan­nya Victor Trevor.

Menurut pengakuan Holmes, kasus tersebut jadi titik awalnya meng­geluti profesi yang hanya satu-satunya di dunia. Sejak itulah ia mulai menangani kasus-kasus ke­cil dan membangun ja­ringan. Da­lam cerpen lain berjudul Mus­gra­ve Ritual (1893), Holmes men­ce­ritakan kepada John Watson ba­gai­mana ia jatuh bangun belajar dan membangun reputasi sebagai detektif konsultan.

“Ketika saya pindah ke London, saya menyewa kamar di Jalan Montague, tak jauh dari British Mu­seum. Di sanalah aku menunggu kesempatan untuk membuktikan kemampuanku, mengisi waktu luang­ku yang berlebihan dengan mem­pelajari serbaneka sains yang menurutku bisa membuat kerjaku lebih efi­sien.

“Sesekali aku dapat klien, seba­gian besar atas rekomendasi te­man-teman kuliahku dulu, sebab pa­da tahun-tahun akhir kuliah ke­mam­puan dan metodeku banyak di­bicarakan orang,” ungkap Holmes.

Jadi, Holmes lebih tepat dise­but sebagai pekerja keras daripada jenius. Menurut ahli Psikologi, dari perspektif psikologi Holmes disebut cognition expertise karena ahli dalam satu tipe berpikir terten­tu yang dilatih dan dipakai ber­ulang kali.

Karena itu juga orang biasa bisa saja memiliki kemampuan seperti Hol­mes. “Orang dari bidang apa­pun sangat mungkin punya cognition expertise selama pengeta­huan­nya sering dipraktikkan dan di­evaluasi. Misalnya, pakar di bi­dang kedokteran punya cara kerja dan analisis mirip Holmes. Dia Hol­mes di bidang kedokteran,” te­rang Edward .

Efektif

 Penalaran deduktif Holmes, lanjut Edward, bisa efektif karena didukung basis pengetahuan yang kuat dan terus dilatih. Bahkan, Hol­mes menyusun basis pengeta­huan­nya dengan sangat ketat. Ia me­nye­leksi bahan-ba­han yang diang­gap­nya berguna. Ketimbang me­miliki pengetahuan yang luas, Hol­mes lebih suka memiliki penge­tahuan yang mendalam. Bahkan, dalam novel A Study in Scarlet (1887), dikisahkan bahwa Holmes membuat Watson terkejut karena ia sama sekali tak tahu bahwa bumi mengelilingi matahari.

“Apa manfaatnya bagiku? Kau mengatakan bahwa bumi mengor­bit matahari. Jika pun bumi me­nge­lilingi bulan tak ada perbedaan sig­nifikan bagiku dan pekerjaan­ku,” kata Holmes kepada Watson yang terkejut.

Holmes mengibaratkan otak manusia bagai loteng kecil. Orang semestinya menaruh perabot yang benar-benar berguna di sana, bukan menjadikannya bak gudang tempat menumpuk serbaneka ba­rang. Hanya pengetahuan-pe­nge­tahuan yang relevan untuk mem­ban­tunya memecahkan kasus kri­minal saja yang ia anggap penting dan la­yak diingat.

Maria Konnikova, psikolog dan penulis buku Mastermind: How to Think Like Sherlock Holmes, me­nilai argumen Hol­mes itu tepat tapi tak sepenuhnya benar. Penge­ta­huan yang mendalam tepat da­lam konteks peng­ambilan keputu­san. Ketika seseorang harus mem­buat keputusan, pikirannya akan mudah teralih jika terlalu banyak informasi yang terakumulasi di loteng pikiran.

Menurut Konnikova, jadi serba tahu atau punya daya ingat kuat tak ada gunanya kecuali orang tahu apa yang sebenarnya relevan untuk situasi tertentu. Mengetahui apa yang harus digunakan dan apa yang harus diabaikan adalah salah satu keterampilan mendasar dari pem­buat keputusan yang baik.

Akan tetapi, Konnikova tak se­tu­ju dengan Holmes soal tak ada­nya ruang untuk basis pengetahuan umum yang luas. Pasal­nya, orang tak pernah tahu pengetahuan mana yang akan ia butuhkan ketika ber­hadapan dengan suatu masalah tertentu. Karena itulah, keluasan pengetahuan juga penting.

“Apa yang orang baca, de­ngar, dan pelajari meski tampak tak ber­guna secara langsung, dapat me­warnai cara orang meng­hadapi ma­salah dan memberi wawasan ten­tang masalah yang tampaknya tidak berkaitan,” tulis Konnikova dalam “Lessons from Sherlock Hol­mes II: Cultivate What You Know to Optimize How You Decide” yang tayang di laman Big Think.

Disempurnakan

Loteng pikiran itu disem­pur­nakan Holmes dengan kete­ku­nannya mengarsip kasus dan riset. Soal ini sempat disinggung dalam cerpen A Scandal in Bohemia (1891) danThe Adventure of the Speckled Band (1892).

Holmes punya kebiasaan meng­arsipkan kasus yang pernah ia ta­ngani dan mengkliping kasus-ka­sus kriminal di masa lalu. Arsip inilah yang membuatnya cepat me­ngetahui latar belakang suatu ke­jahatan. Baginya tak ada kejahatan yang benar-benar baru, karena se­mua sudah pernah dilakukan. Hanya perinciannya yang berbeda.

Kebiasaan lain Holmes ada­lah melakukan riset untuk mendukung pe­nyelidikannya. Meski­pun ter­dengar aneh, Holmes bisa menge­ta­hui jenis cerutu yang diisap se­orang pelaku pembunuhan karena telah meriset 140 jenis abu rokok. Dalam cerpen A Case of Identity (1981) ia bisa menemukan pelaku p­enipuan dengan meneliti pola hu­ruf mesin ketik yang digunakan pe­laku. Ia bahkan bermaksud me­n­u­lis makalah tentang hubu­ngan an­tara mesin ketik dan krimina­litas.

Menurut Edward, paduan antara pengetahuan dan pengalaman Holmes yang intens itulah muasal kehebatan Holmes. Ia jadi lebih cepat menangkap informasi. Dan observasinya jadi lebih tajam. Me­tode Holmes pun sebenarnya uni­­versal, bisa diterapkan dan efek­tif bagi profesi seperti dokter, pe­masar, analis, wartawan.”

“Dengan pengalaman terkait in­vestigasi yang berulang jadi punya banyak strategi pengolahan data dan tahu penggunaan setiap strateginya. Penyelidikannya juga jadi lebih efisien sehingga Holmes dapat menangani bebe­rapa kasus secara bersamaan,” ujar Edward.

Akan tetapi, orang-orang de­ngan cognition expertise seperti Hol­mes juga punya kelemahan. Se­cara teori, semakin efisien dan ce­pat kerjanya, semakin besar ke­mung­kinan untuk cepat puas dan ter­jebak bias.

Edward mengatakan, “Ana­lo­ginya seperti orang yang kebiasaan memukul. Kalau seseorang biasa pa­kai palu untuk memukul, se­se­orang itu akan selalu pakai palu un­tuk memukul karena terbiasa, se­mentara sangat mungkin meng­gunakan alat lain untuk memukul.”

Holmes pun pernah mengala­mi hal semacam itu, misalnya ketika berhadapan dengan Irene Adler. Rencananya yang rapi untuk merebut foto Adler dan Raja Bohe­mia gagal karena kecerdikan Adler yang luput dari perhitu­ngannya. Sebab lainnya adalah pandangan patriarkisnya yang cenderung me­re­mehkan perempuan.

Kepercayaan diri dan keyakinan berlebih Holmes pada efektivitas metodenya pada kasus Irene Adler membuatnya buta. Keyakinan berlebih juga membuat diri cepat puas dan, lagi-lagi, mengarah pada penilaian yang tak berimbang.

Karena itulah, Konnikova me­nekankan pentingnya untuk selalu rendah hati.

“Terlalu percaya diri kejuma­waan sering mengarah pada kece­ro­bohan, penilaian gegabah, dan ke­salahan umum. Banyak pi­kiran hebat telah menjadi mangsa kecero­bohan itu,” tulis Konnikova. (tid/fif/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi