Oleh: Riduan Situmorang
Nasib guru honor memang penuh dengan horor. Mereka bekerja untuk pemerintah, tetapi tidak berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Penggajian mereka pun acap kali tak jelas. Bekerja sekarang, tetapi penggajian bisa ditunaikan pada akhir tahun. Di sekolah, mereka sering menjadi "budak" mengajar. Sudah bergelimang cerita, dan rasanya bukan rahasia lagi, manakala kepala sekolah marah, maka yang dimarahi adalah guru honorer, bukan PNS. Kalau pembelajaran tak berjalan dengan lancar, prestasi buruk, maka guru honorer pun akan dipaksa untuk lembur, melebihi batas kerja yang dibebankan kepada mereka.
Karena itu, sudah jamak kita dengar celotehan ini: guru honor yang menanam, PNS yang menuai. Tragisnya, guru honorer tak bisa melawan. Mereka tak punya pertahanan yang kuat. Mereka bukan guru PNS. Karena itu, mereka bisa dipecat begitu saja secara sepihak. Ini sudah dialami oleh banyak guru honorer. Partahanan Siregar, misalnya, yang sudah mengabdi belasan tahun di SD Negeri 103010 Sipenggeng, Paluta, Sumut, pernah dipecat begitu saja oleh kepala sekolah hanya karena ikut demonstrasi bersama Persatuan Guru Honor Komite (PGHK).
Tak lama ini, guru honorer di berbagai negeri mengadakan demonstrasi, bahkan mogok mengajar. Mereka ingin agar jerih payahnya dihargai. Karena itu, mereka menuntut agar CPNS tahun ini dihentikan. Pasalnya, menurut Permenpan RB No.36/2018 disebutkan bahwa syarat untuk menjadi CPNS untuk K2 maksimal 35 tahun. Padahal, sudah banyak guru honorer yang berusia di atas usia 35 tahun. Selain itu, mereka juga menuntut agar guru honorer kategori 2 (K2) segera diangkat menjadi PNS tanpa melalui tes lagi.
Selalu Seksi
Dari tahun ke tahun, bahkan dari rezim ke rezim, nasib guru (honorer) memang selalu seksi untuk dibincangkan. Boleh dikatakan, tak ada satu rezim pun yang berhasil menyenangkan guru (honorer). Walau demikian, demonstrasi guru honorer saat ini tak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi tahun ini adalah tahun politik. Mereka rentan dipolitisasi. Ini bukan pepesan kosong. Sebab, fakta sudah menyebutkan bahwa kepentingan politik yang secara konstan telah menarik sistem pendidikan menjauh dari tujuan mulia pendidikan itu sendiri (Bank Dunia 2017).
Pengangkatan guru honorer pun selama ini seringkali karena peristiwa politik. Setidaknya, setiap ada pilkada, maka ada pula penambahan penerimaan guru sebanyak 800 per wilayah. Setiap pilkada pula, probabilitas guru mendapatkan sertifikasi meningkat sebesar tiga persen. Guru honorer menjadi lahan basah para politisi, tentu saja. Sayangnya, menurut Sayafruddin, Menpan RB, pemerintah pusat tak bisa mendeteksinya dengan baik sehingga permasalahan guru honorer menjadi bom waktu. Perekrutan guru honorer sudah "dihentikan" dari pusat, tetapi kerannya malah dibuka lebar-lebar di daerah oleh berbagai pihak.
Bahkan, konon, pemerintah daerah sendiri pun sering tak mengetahui perekrutan guru honorer oleh kepala sekolah. Ini terjadi karena kepala sekolah, atau guru sekolah, memasukkan saudaranya untuk masuk ke sekolahnya sebagai guru honorer. Kekurangan tenaga pengajar acap dibuat menjadi alasan. Memang, kita tak menafikan alasan itu. Hanya saja, sudah menjadi rahasia umum juga, karena konon jika honorer sudah lama mengabdi, maka akan diangkat menjadi PNS. Atas dasar itulah maka beberapa oknum pun dengan gesit memasukkan koleganya menjadi guru honorer.
Inilah yang membuat guru honorer semakin membludak. Harus diakui, bahwa pemerintah pusat, jika mengekor pada peraturan yang ada, sebenarnya sudah hampir menuntaskan masalah guru honorer. Setidaknya, sebanyak 13.300 guru honorer akan mendapat perlakuan yang sama dengan PNS. Yang menjadi permasalahan adalah guru honorer yang selama ini masuk dari jalur "ilegal". Mereka tak bisa diangkat begitu saja. Walau demikian, meski "ilegal", mereka tentu sudah berkeringat banyak untuk pendidikan. Mereka juga sudah merasakan getirnya menjadi honorer di mana pada akhir bulan karena dana BOS belum dicairkan, mereka tak digaji.
Kini, pengangkatan guru baru melalui CPNS sedang digalakkan. CPNS ini sekaligus menutupi celah kekurangan guru kita. Sebab, menurut Mendikbud, saat ini, kita masih saja kekurangan guru PNS sebanyak 988.133. Bahkan, dari data Kemendikbud, pada kurun waktu 2017-2021, akan terjadi pula gelombang pensiun guru PNS dalam jumlah yang besar: 295 ribu. Sayangnya, kekurangan guru ini tidak akan serta-merta teratasi karena tahun ini, hanya 112.000 orang saja yang akan diangkat menjadi PNS. Ini sudah termasuk guru honorer sebanyak 13.300 yang otomatis menjadi PNS.
Di sinilah masalah itu semakin dilematis. Sebab, di luar 13.300, masih ada ratusan ribu lain guru honorer yang nasibnya tidak jelas. Ratusan ribu pula terhalang karena sudah berumur di atas 35 tahun. Namun, pemerintah masih memberikan pintu kepada mereka melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Kepada guru honorer berusia di bawah 35 tahun, pintu bahkan lebih terbuka lebar lagi. Sebab, selain mengikuti CPNS, mereka juga bisa mengikuti jalur P3K.
Pola Satu Pintu
Yang menjadi masalah adalah, ketika dari dua jalur ini, guru honorer juga tak lolos. Tanpa ada dukungan dari pemerintah setempat, nasib mereka sudah pasti akan kembali semakin horor. Umur semakin menua, sementara perekrutan CPNS belum tentu tiap tahun. Seperti dikemukakan di atas, getirnya nasib guru honorer saat ini bukan semata tanggung jawab pemerintah pusat. Membludaknya jumlah ini adalah karena terlalu gesitnya pemda atau pihak sekolah mengangkat sendiri guru honorer.
Bahkan, kepada mereka juga diiming-imingi akan menjadi PNS. Karena itu, sudah saatnya, perekrut guru honorer ini bertanggung jawab dengan mengusahkan gaji yang ideal bagi mereka. Tanggung jawab tak bisa dipikulkan semata ke pemerintah pusat. Namun, langkah ini pun tidak akan mengatasi masalah juga. Pasalnya, masalah guru honorer saat ini sudah terlanjur menjadi benang kusut. Justru, bom guru honorer kelak akan semakin membuncah. Karena itu, jalan terbaik agar nasib guru honorer tidak semakin kusut adalah dengan cara memperbaiki rekrutmen guru honorer.
Karena itu, ke depan, perekrutan guru honorer harus dibuat menjadi satu pintu. Semuanya harus terpusat. Teknisnya, masing-masing sekolah harus melaporkan kekurangan guru. Setelah itu, dilakukanlah perekrutan nasional atau regional. Kepada pihak yang menyalahi aturan, sanksi harus dibuat tegas. Saya yakin, jika skema ini sudah dilakukan, guru honorer tidak akan membludak lagi. Tidak akan ada lagi iming-iming dari kepala sekolah atau pemda. Bahkan, jika skema ini dilakukan, kualitas guru kita akan semakin baik.
Perlu diketahui, kualitas guru kita saat ini sangat rendah. Target UKG selalu melempem. Tentu, salah satu penyebanya adalah karena pola rekrutmen guru dibuat asal-asalan, terlebih karena faktor kedekatan. Jika pola rekrutmen guru sudah terpusat, guru-guru kita akan semakin berkualitas. Percayalah, di antara jutaan calon guru hasil produksi LPTK, ada banyak calon guru berkualitas. Hanya saja, selama ini, mereka jauh dari radar karena tidak punya link dengan kepala sekolah atau pemda. Ringkasnya, untuk memperbaiki nasib guru honorer sekaligus memperbaiki mutu guru, perekrutan honorer harus dibuat satu pintu.***
* Penulis adalah Guru di Yayasan Don Bosco Medan, Pengajar di Prosus Inten, Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF)