Dari Lima Penyebab Kecelakaan Pesawat

Kesalahan Pilot Termasuk Paling Umum Terjadi

BERITA kecelakaan udara (pe­sawat jatuh) mem­buat kita ber­tanya-tanya terkait keamanan. Namun sam­pai fakta-fakta terkait terungkap, tidak bijak jika kita berspekulasi mengenai penyebab suatu kece­lakaan.

Meski begitu, ada beberapa pe­nyebab kecelakaan yang lebih me­mungkinkan daripada hal yang lainnya:

1. Kesalahan pilot

Karena pesawat terbang kini semakin dapat diandalkan, pro­porsi kecelakaan yang timbul akibat kesalahan pilot semakin meningkat dan kini mencapai 50%. Pesawat terbang terdiri dari mesin-mesin kompleks yang memerlukan banyak pemeli­haraan.

Karena pilot secara aktif ter­li­bat dengan pesawat pada tiap ta­hap penerbangan, ada banyak k­e­sempatan untuk terjadinya ke­sa­lahan, dari kegagalan untuk mem­program dengan benar flight-management computer (FMC) hingga salah hitung bahan bakar yang di­butuhkan untuk mengang­kat pe­sawat.

Meskipun kesalahan demikian patut disesali, penting untuk me­ng­ingat bahwa pilot berperan se­bagai garis pertahanan terakhir saat terjadi suatu kesalahan besar.

Pada Januari 2009, sebuah pe­sawat Airbus A320 dihantam seka­wanan angsa di atas Kota New York. Dengan mesin tidak hidup, Kap­­ten Chesley Sullen­berger h­a­rus dengan cepat mem­pertim­bang­kan berbagai hal dan membuat sua­tu keputusan.

Berdsarkan jam terbang yang pan­jang serta pengetahuan atas kemampuan penanganan pesa­wat, dia memilih mendaratkan pesawat di Sungai Hudson.

Sebanyak 150 penumpang pe­sawat tersebut tidak diselamatk­an kom­puter atau sistem otomatis lain.  Mereka justru diselamatkan dua pilot – komponen yang dise­but-sebut dapat tergantikan kom­puter dan para ground con­troller atau pemandu daratan.

2. Kerusakan mesin

Meskipun kualitas desain dan ma­nufaktur terus mengalami pe­ning­katan, kegagalan peralatan ma­sih menyumbang 20% dari ke­celakaan pesawat terbang.

Walaupun mesin-mesin pesa­wat dewasa ini jauh lebih bisa diandalkan ketimbang setengah abad yang lalu, terkadang mereka masih mengalami kerusakan yang mencengangkan.

Pada 1989, satu bilah kipas yang hancur menyebabkan mesin nomor satu (bagian kiri) pesawat Boeing 737-400 British Midland menuju Belfast kehilangan daya.

Instrumen yang sulit dibaca mem­buat pilot salah mengidenti­fi­kasi mesin mana yang kehi­langan daya. Para pilot yang ke­bingungan justru mematikan mesin nomor 2 (bagian kanan).

Tanpa satu pun mesin yang hi­dup, pesawat tersebut terhem­pas tidak jauh dari landasan 27 Ban­dara East Midlands, mene­waskan 47 penumpang dan me­lukai ba­nyak orang lain, termasuk kapten dan first officer.

Kasus lebih terkini adalah ke­gagalan mesin Qantas A380 yang mem­bawa 459 penumpang dan awak di atas Pulau Batam, Indo­ne­sia. Berkat kemampuan para pilot, pesawat terbang tersebut ber­hasil mendarat dengan aman.

Terkadang, teknologi baru jus­tru membawa kegagalan baru. Contohnya pada 1950, kehadiran pesawat jet bertekanan yang mam­pu terbang tinggi juga membawa potensi bahaya baru yaitu pelema­han besi yang timbul dari siklus tekanan yang terjadi pada lambung pesawat.

Beberapa kasus kecelakaan ter­kenal yang disebabkan masa­lah tersebut telah menyebabkan pe­na­rikan model pesawat de Ha­vil­land Comet, sembari menung­gu perubahan desain.

3. Cuaca

Cuaca yang buruk menyebab­kan sekitar 10% kecelakaan pe­sawat terbang. Meskipun pesawat sudah dilengkapi dengan berba­gai alat bantu elektronik seperti kom­pas bergiroskop, navigasi satelit dan data cuaca, pesawat terbang masih dapat jatuh dihan­tam badai, salju dan kabut.

Pada Desember 2005, pener­bangan 1248 milik maskapai Southwest Airlines yang terbang dari Bandar Udara Internasional Baltimore-Washington menuju Bandar Udara Internasional Chicago Midway, mencoba men­darat di tengah badai salju.

Pesawat tersebut tergelincir me­nuju sebaris mobil dan mene­was­kan seorang balita. Salah satu in­siden paling terkenal terkait cuaca buruk terjadi pada Februari 1958 ketika pesawat bermesin kembar milik British European Airways jatuh saat lepas landas dari Ban­dara Munich-Riem.

Para penyidik berkesimpulan bahwa pesawat tersebut menjadi lamban karena lumpur salju di lan­dasan pacu (hal tersebut dike­nal para pilot sebagai “kon­taminasi landasan” atau “run­way contamination”) sehing­ga pe­sa­wat tersebut gagal mencapai kecepatan lepas landas yang diperlukan. Perlu dicatat

bahwa petir bukanlah ancaman utama yang ditakuti penum­pang.

4. Sabotase

Sekitar 10% kegagalan pesa­wat terbang disebabkan sabotase. Sebagaimana sambaran petir, risi­ko kecelakaan dari sabotase jauh le­bih sedikit dibandingkan kekha­wa­tiran orang-orang.

Namun, sepanjang sejarah ter­dapat beberapa serangan men­ce­ngangkan yang disebabkan pelaku sabotase.

Pada September 1970, pem­ba­jakan tiga pesawat jet yang menuju Daw­sons Field di Yor­da­nia men­jadi titik balik dalam sejarah pe­nerbangan yang mence­tuskan eva­luasi keamanan. Dibajak para pe­ng­ikut Front Rakyat untuk Pem­be­basan Pales­tina, ketiga pesawat terbang ter­sebut menjadi liputan seluruh media dunia.

Meskipun perbaikan telah dila­kukan, beberapa pelaku kejahatan ma­sih bisa menembus tirai ke­amanan, termasuk Richard Reid, “pembom sepatu” pada 2001. Untunglah Reid tidak berhasil menjatuhkan pesawat di tengah pe­nerbangan.

5. Bentuk lain kesalahan manusia

Penyebab lain kecelakaan pe­sawat adalah kesalahan manu­sia, seperti kelalaian pengendali lalu lintas udara, dispatcher, pemuat ba­rang, pengisi bahan bakar atau teknisi pemeliharaan. Karena terkadang diharuskan be­kerja dalam shift yang panjang, para teknisi pemeliharaan pesa­wat yang kelelahan berpotensi mem­buat kesalahan fatal.

Pada 1990, copotnya kaca de­pan pesawat British Airways ham­pir menewaskan kapten pesawat ter­sebut. Menurut Ca­bang Inves­ti­gasi Kecelakaan Udara atau Air Accidents Inves­tigation Branch, hampir semua dari 90 baut di kaca depan “lebih kecil daripada diameter yang seharusnya.” Namun teknisi yang bertang­gung jawab bukannya mengakui bah­wa dia salah memilih ukuran baut; dia justru menyalahkan lu­bang-lubang baut yang terlalu besar. (ngi/idpc/tcc/es)

()

Baca Juga

Rekomendasi