Oleh: Nurudin. Melalui akun Facebook (FB)-nya, seorang teman menulis pesan, "Tayangan berita Pilpres lebih membahayakan dibanding tayangan sinetron".Tidak biasanya teman saya menulis kegalauan seperti itu. Namun demikian, bisa jadi perasaan yang terungkap itu mewakili banyak orang. Hanya ada yang menuliskannya secara vulgar dan ada juga yang hanya membatinnya.
Dalam banyak hal tayangan televisi kita memang sudah tidak asyik lagi, ini semua gara-gara kita mau melaksanakan Pemilihan Presiden (Pilpres), bukan sekadar Pemilihan Legislatif (Pileg). Pilpres telah menyita energi masyarakat pada aktivitas yang sering remeh temeh. Kita juga sudah menghabiskan tenaga yang kadang sia-sia; penuh caci maki, sindir-menyindir, dan menjelekkan pihak lain.
Bangsa ini juga sudah mulai kehilangan rasa humor karena Pilpres. Selera humor yang hanya sindiran halus dan bertujuan baik pada sesuatu yang berjalan tidak pada tempatnya dianggap "menghina". Tak heran jika teman saya di atas akhirnya mengungkapkan perasaannya melalui FB.
Realitas Sinetron
Pada tahun 1997 saya menulis buku berjudul Televisi, Agama Baru Masyarakat Modern, dilanjutkan dengan Tuhan Baru Masyarakat Cyber di Era Digital (2012), lalu Media Sosial Agama Baru Generasi Milenial (2018). Dalam buku-buku saya itu terungkap betapa masyarakat kita telah menuhankan media elektronik di atas. Segala sesuatu diukur dari tayangan televisi (kalau sekarang informasi dari media sosial). Media berkembang dengan pesat sementara masyarakat kita belum mempunyai akar yang kuat dalam menerima dampak teknologi media itu. Hasilnya, serba gagap dan menganggap televisi sebagai Tuhan manusia.
Salah satu bahasan dalam buku saya di atas berkaitan dengan sinetron. Sinetron pernah menjadi primadona masyarakat dengan rating yang sangat tinggi. Kita ingat bagaimana serial sinetron yang sukses dari segi kuantitas penonton seperti; "Tersanjung", "Kehormatan", "Cinta Fitri", "Tukang Bubur Naik Haji" dan sejenisnya. Sinetron itu telah memberikan "kekayaan" melimpah pada stasiun televisi.
Bagaimana dengan alur cerita sinetron? Tidak usah ditanya. Sinetron kita umumnya bercerita tentang konflik orang tua-anak, percintaan, hamil di luar nikah, eksploitasi kesedihan dan sesekali membangkitkan sentimen agama. Jadilah sinetron yang mempunyai rating tinggi.
Namun demikian tidak jarang orang menganggap tayangan sinetron dengan sinis. Sinetron hanya mengumbar angan-angan sebab realitas yang dihadirkan dalam tayangan jauh berbeda dengan fakta nyatanya. Sinetron juga hanya mewakili budaya angan-angan masyarakat pada kondisi ideal yang diharapkan.
Sinetron juga mampu membuat masyarakat hidup konsumtif yang membuat segala bentuk barang dan jasa dikapitalisasi. Sinetron telah mampu mewadahi dunia angan-angan masyarakat pada sebuah mimpi indah.
Dampak yang terasa, sinetron mengarahkan masyarakat kita pada gaya hidup hedonis. Masyarakat yang sebenarnya tidak suka hedonis ikut-ikutan karena tolok ukurnya semua dilihat dari perilaku "hedon". Tentu saja, ini tidak menggeneralisasi bahwa semua sinetron kita seperti itu. Namun demikian, mayoritas tayangan sinetron tidak jauh berbeda dengan yang digambarkan di atas. Yang jelas, realitas sinetron dengan realitas masyarakat sesungguhnya sangat berbeda jauh. Sementara masyarakat dengan akar budaya yang tidak kuat masih menganggap bahwa tayangan sinetron sama dengan realitas yang ada.
Pilpres dan Sinetron Kita
Ada kemiripan antara berita Pilpres dengan sinetron kita. Sinetron memang tidak disukai oleh seluruh lapisan masyarakat, tetapi tetap menjadi idola sekelompok komunitas penontonnya. Meskipun sinetron itu dianggap sebagian masyarakat membodohi, ia tetap dipuja dan disiarkan oleh stasiun televisi. Sudah jelas, bahwa sinetron juga mengantarkan masyarakat hidup konsumtif, pengelola televisi bisa berkilah kenapa masyarakat juga mau saja diajak konsumtif. Jadi selalu ada sisi dibenci dan disuka.
Bagaimana dengan berita Pilpres? Hampir sama dengan tayangan sinetron. Televisi dan media kita yang lain, juga tidak jauh berbeda. Maunya baik, memberitakan Pilpres dengan segala pernak-perniknya. Namun, siapa bisa menjamin bahwa media kita bisa netral dalam peliputan? Tidak ada jaminan soal itu. Dalam perspektif teori kritis, media adalah kepentingan entah pada oposisi atau pada yang sedang berkuasa.
Barangkali apa yang dikatakan teman saya di media sosial sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini, menekankan betapa berita-berita Pilpres itu sudah tidak seimbang, menuruti selera "pasar" atau "pemesan" berita. Itu sama dengan sinetron. Siapa yang bisa dan mampu memproduksi serta menjamin bahwa banyak iklan masuk pada tayangan sinetron tersebut, ia akan diproduksi seberat dan sehebat apapun protes dari masyarakat.
Bisa jadi, bahwa berita Pilpres sudah tidak sesuai dengan aspirasi dirinya. Sebab, individu itu punya kecenderungan hanya mau menyimak, memperhatikan dan mengingat pesan-pesan media yang sesuai dengan kecenderungan dirinya. Ini sejalan dengan kecenderungan manusia yang menyukai segala sesuatu yang mendukung dirinya.
Jika hal itu terjadi, maka berita Pilpres tentu tetap mempunyai peminatnya sendiri-sendiri. Individu akan menyukai tayangan yang sesuai dengan kecenderungan dirinya. Jika mayoritas tayangan mendukung kandidat tertentu, hanya pengikut kandidat itulah yang kebanyakan akan menonton. Yang pasti, media dimanapun dan kapanpun berusaha mendekat dengan kekuasaan karena beberapa alasan historis dan kepentingan.
Sebenarnya, berita Pilpres harus dinikmati dengan riang gembira. Masalahnya, individu dalam masyarakat kita yang tidak punya akar kuat dalam berdialektika lebih menonjolkan "rasa" dirinya. Tak terkecuali, tidak bisa membedakan antara tayangan sinetron dengan dunia nyata. Termasuk agak susah membedakan berita politik dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Yang jelas tayangan sinetron dengan berita Pilpres hanya secuil bingkai kecil dengan segala tafsirnya dari dunia nyata.
Masyarakat kita berada dalam dunia hiperrealitas (hyper reality). Hiperrealitas berarti ketidakmampuan membedakan kesadaran membedakan apa yang nyata dengan yang tidak nyata. Tayangan menggunakan dunia palsu untuk mendefinisikan pada setiap orang suatu karakter yang diinginkan.
Bagi sekelompok masyarakat tertentu tayangan sinetron memang membahayakan masyarakat. Sinetron tak jauh beda dengan bingkai tayangan lain, tak terkecuali berita Pilpres. Tayangan sinetron atau berita Pilpres sedang menguji mental dan kedewasaan kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. ***
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi dan Kepala Pusat Kajian Sosial Politik (PKSP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).