Oleh: Sion Pinem
KEBEBASAN berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat adalah dua hal yang berbeda walaupun keduannya mempunyai korelasi yang sangat erat. Kebebasan berpikir adalah proses mempertanyakan, menguji, mengkritisi bahkan menjungkirbalikkan kebenaran-kebenaran yang sudah mapan selama ini berdasarkan tingkat keilmuan seseorang. Ia bebas mempertanyakan apa saja yang dianggap “tabu” sekalipun untuk mencari kebenaran sementara yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian kebebasan berpikir adalah langkah awal untuk menyatakan pendapat atau pikiran secara bebas.
Pertanyaan seperti haruskah diberlakukan hukuman mati? Bolehkah dilakukan aborsi? Apakah perkawinan berbeda agama harus diizinkan? Apakah Tuhan harus dibela? Apakah agama satu-satunya sumber kebenaran? Apakah orang yang berbeda keyakinan merupakan sebuah kesalahan?
Tidak mudah menjawab pertanyaan seperti ini, tapi bukan tidak mungkin untuk dipertanyakan, sekalipun sudah ada kesepakatan tidak boleh membunuh, harus saling menghormati, hidup rukun, tidak boleh mencuri, dilarang berbohong.
Untuk menjaga dan menjamin kebebasan berpikir memang manusia sebagai makhluk sosial harus juga memperhatikan etika agar kebersamaan sosial tetap bisa berjalan dengan baik. Etika berpendapat mengatur apa yang baik dan apa yang buruk. Kita bebas berpikir dan berpendapat tapi apakah yang kita pikirkan tersebut berguna bagi masyarakat itu sendiri.
Dalam ilmu biologi, berkompetisi adalah hal yang lumrah dan yang paling unggullah yang akan menang dan meneruskan keturunannya. Teori evolusi mengatakan bahwa yang paling kuat dan unggullah yang akan bertahan (survival of the fittest ). Tapi tentunya seekor binatang sekalipun tidak sampai membunuh lawannya saat berkelahi jika lawannya tersebut sudah mengalah. Segalak-galaknya singa saat bertarung, ketika lawannya sudah mengalah dan berlari, pemenangnya tetap memberikan yang kalah kesempatan untuk hidup.
Bagaimana di Indonesia saat ini? Hemat penulis, saat ini kita tidak lagi takut terhadap tindakan represif negara terhadap warganya, seperti jaman Orde Baru. Yang ditakutkan saat ini adalah tindakan represif dan persekusi komunitas terhadap komunitas lain termasuk individu. Kebebasan menyatakan pendapat di media sosial sering sekali berbuah persekusi terhadap kelompok dan individu oleh kelompok yang merasa lebih kuat dan mengklaim paling benar dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Otoritas kebenaran seolah-olah bisa ditentukan oleh komunitas tertentu terhadap komunitas yang lain. Yang paling menyedihkan kerumunan-kerumunan orang yang menyatakan diri sebagai perwakilan kebenaran sering berbuat seenaknya dengan menguasai fasilitas publik seperti dengan menutup jalan umum dan mengganggu ketertiban umum.
Pada situasi seperti ini, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat menjadi terhambat karena diracuni oleh sikap intoleransi dan pikiran-pikiran yang jauh dari unsur-unsur nalar. Teriakan-teriakan koor dan nada-nada yang mengancam menguasai ruang publik sehingga lonceng kematian kebebasan berpikir dan berpendapat menemui ajalnya.
Beginikah negara demokrasi yang kita inginkan? Sejarah telah mencatat bahwa negara yang memelihara kebebasan berpikir dan berpendapat, telah melahirkan warga-warganya yang kreatif dan menemukan teknologi baru untuk kesejahteraan manusia. Mereka menguasai sains dan teknologi yang mensejahterakan warganya. Mereka memikirkan kehidupan manusia di luar planet bumi dan mereka berhasil menggapai impiannya.
Sedangkan negara yang terjebak dalam fundamentalisme agama dan ideologi lain, hanya berputar-putar dalam siklus kekerasan dan perang saudara yang ujung-ujungnya menghancurkan martabat manusia itu sendiri. Semua serba diatur dan tidak ada kebebasan bagi warganya, miskin dan menderita.
Orang yang tidak dapat menumbuhkan kebebasan berpikirnya jangan diharapkan akan mampu menyatakan pikirannya, apalagi pemikiran yang kreatif. Kebebasan berpikir adalah langkah awal untuk menyatakan pikiran. Bukankah untuk mencari kebenaran kita harus menguji segala sesuatunya dengan pikiran kita, sesuai dengan tingkat keilmuan kita masing-masing dan menyatakannya tanpa rasa takut? Yang dianggap benar saat ini belum tentu benar dikemudian hari bukan.
Galileo Galilei, seorang astronom, filsuf dan fisikawan, berkebangsaan Italia pernah dihukum oleh otoritas yang berkuasa saat itu karena pandangannya bahwa bumilah yang mengelilingi matahari sebagai pusat tata surya (heliocentrism), yang saat itu bertentangan dengan pandangan yang berlaku, yaitu : mataharilah yang mengelilingi bumi, bumi sebagai pusat tata surya (geocentrism). Dengan berjalannya waktu akhirnya pendapatnya diakui dan namanya direhabilitasi sebagai seorang ilmuwan yang diakui oleh otoritas yang menghukumnya.
Disinilah perlunya kehadiran negara untuk menjalankan amanat pasal 28 ayat 1 UUD 1945, untuk menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat bagi warganya. Semua warga, komunitas dan golongan tertentu harus tunduk kepada konstitusi dengan wujud yang nyata bukan hanya wacana. Bentuknya, aparat penegak hukum tidak boleh tunduk kepada komunitas atau kerumunan tertentu yang jelas-jelas melanggar hukum. Tindakan pembiaran, seolah-olah tidak tahu adalah wujud perlawanan terhadap konstitusi dan negara.***
Penulis adalah praktisi pendidikan dan pemerhati masalah sosial, bekerja di Jakarta.