Terima Kasih Harian Analisa dan Kemdikbud

Oleh: Deddy Kristian Aritonang

AWALNYA saya hendak mengirimkan tulisan ini pada seg­men Surat Pembaca. Akan tetapi mengingat panjangnya tulisan dan isinya juga mengandung muatan argumentatif, akhirnya saya putuskan untuk me­ngirim ke rubrik opini. Ucap­an terima kasih pada judul di atas bukan berarti saya hendak pamer atau menyombongkan diri. Tapi, saya merasa perlu mem­bagikan hal-hal positif dengan tujuan memberikan inspi­rasi bagi siapapun yang membaca tulisan ini terlebih karena budaya literasi sedang digiatkan oleh pemerintah.

Pada bulan Oktober lalu tepatnya tanggal 24-26 Oktober 2018, tulisan saya masuk nominasi pemenang dalam Lomba Jurnalistik Pendidikan Keluarga Tahun 2018. Syaratnya adalah tulisan harus bertema tentang peran serta keluarga dan masyarakat dalam satuan pendidikan. Syarat berikutnya adalah tulisan itu harus dimuat di media massa. Akhir­nya saya buat tulisan sesuai tema dan saya kirimkan ke Harian Analisa. Tulisan itu berjudul 'Mewujudkan Indonesia Ramah Anak' dan dimuat pada edisi Selasa, 7 Agustus 2018.

Dengan demikian wajar bila saya me­ngucapkan terima kasih kepada Harian Ana­lisa yang sudah mempublikasi tulisan saya sehingga bisa saya ikut sertakan dalam lomba tersebut. Seba­gai catatan, baru inilah pertama kali saya ikut perlombaan karya tulis jurnalistik dan saya juga aktif menulis di media relatif masih baru yakni di tahun 2018. Dan Harian Analisa jugalah yang pertama kali memuat tulisan saya pada tanggal 4 Juni 2018. Saat itu saya menulis opini berjudul 'Pancasila Harus Mengalahkan Radikalisme'. Sejak itu saya semakin termotivasi dan terus menulis serta tetap belajar guna mening­katkan mutu tulisan-tulisan saya.

Saya juga harus mengucapkan terima kasih kepada Kemen­terian Pendidikan dan Kebudayaan yang tetap menganugerahi dan memberikan penghargaan kepada saya kendati saya tidak bisa hadir pada acara puncak di Jakarta. Hal ini dikarenakan saya harus menjalani rawat inap di sebuah Rumah Sa­kit hanya beberapa hari sebelum acara dilaksanakan. Saya sempat merasa sedih mes­kipun tetap percaya bahwa kesempatan akan terbuka di masa-masa mendatang. Setelah saya pulih dan tidak lagi menjalani opname, panitia menghubungi saya dan memberita­hu perihal nama saya yang masuk 10 besar dan menjadi pemenang harapan.

Cenderamata yang memang menjadi hak saya akhirnya tetap dikirimkan panitia. Mata saya sempat berkaca-kaca ketika membaca tulisan "Teruslah berkarya, bagikan cerita pendi­dikan yang menginspirasi seluruh Indonesia cerahkan masya­rakat dengan bera­gam informasi dan gagasan yang memba­ngun optimisme" di piagam penghargaan yang ditandatangi oleh Prof. Dr. Muhadjir Effendy selaku Menteri Pendidikan. Bagi saya pesan itu ibarat tugas yang langsung diucapkan dan diamanahkan Bapak Menteri kepada saya.

Menulis dengan Tanggung Jawab

Ada rasa bangga yang hadir ketika hasil karya tulis kita di­muat di sebuah media. Artinya gagasan kita memenuhi syarat yang ditetapkan media dan punya nilai untuk dise­barkan ke masyarakat.

Bukan cuma rasa bangga, tapi juga ada sejumlah ho­norarium yang diberikan sebagai penghargaan atas partisipasi kita menulis. Hanya saja dalam menulis kita tidak boleh mengesampingkan tanggung jawab lalu menabrak aturan-aturan yang telah digariskan.

Salah satu tanggung jawab dalam menulis opini di media ada­lah kita tidak boleh mengirimkan opini ganda. Artinya, kita tidak bisa mengirim satu tulisan opini ke media yang berbe­da apalagi dalam waktu yang bersamaan. Tulisan opini yang sama muncul di dua atau bahkan lebih media merupakan hal yang 'diharamkan'. Namun, pada kenyataannya peristiwa ini masih terjadi.

Seperti yang baru-baru ini saya temukan. Di dua media yang berbeda, terdapat dua opini yang sama dan dari penulis yang sama pula. Boleh saya katakan 99% isinya sama-1% lagi hanya sebatas pada penghilangan satu dua kata yang tidak mengubah makna teks secara keseluruhan. Itu pun mungkin setelah meng­alami proses penyuntingan dari pihak redaksi. Saya tidak akan menyebut nama penulis dan nama medianya (yang jelas bukan Harian Analisa).

Tulisan itu terkait pada pidato 'The Game of Thrones' Pre­siden Joko Widodo. Entah karena penulis kurang sabar menanti artikelnya dimuat di media pertama, lantas me­ngirimkan ke media yang lain atau yang bersangkutan lebih mengejar popularitas dan royalti, yang jelas ini sudah melanggar rambu-rambu menulis opini. Cukup disayangkan memang karena penulis termasuk pu­nya reputasi mentereng karena tulisannya sering muncul di media lokal maupun nasional. Dan saya rasa beliau juga mafhum akan aturan itu. Saya pribadi cukup kagum dengan tulisan-tulisannya yang banyak menghiasi media. Se­harusnya jika tidak sabar, dan merasa yakin tulisannya akan dimuat di media kedua, penulis tersebut mengirimkan surel penarikan tulisan pada media pertama baru kemudian mengi­rimkan ke media ke­dua sehingga tulisan yang sama tidak mun­cul di dua media berbeda. Inisiatif seperti itu perlu dilakukan karena agak mustahil bila tim redaksi sebuah media mengecek terlebih dahulu apakah tulisan yang hendak dimuat sudah mun­cul di media lain sebelumnya mengingat begitu menjamurnya media cetak maupun elektronik saat ini.

Tanggung jawab kedua yang tak kalah penting adalah mena­warkan solusi khususnya pada opini yang bersifat kritik terha­dap kebijakan publik atau hal-hal lain yang me­nyangkut hajat hidup masyarakat jamak. Opini kritik memang sangat menarik baik bagi penulis atau pembaca. Tapi yang sering terjadi adalah seluruh isi tulisan hanya melakukan kritisi tanpa memberi feedback (masukan) dan solusi-solusi alternatif. Tulisan opini, meski berlandaskan pada kritik, harus disertai pemecahan ma­salah dan bersifat konstruktif. Menurut hemat saya, opini kritik tanpa solusi ibarat seseorang yang marah-marah atas kinerja orang lain tanpa menawarkan solusi sehingga hanya buang-buang waktu dan tenaga saja. Hal-hal lain yang harus diperha­tikan adalah menyangkut kemurnian tulisan seperti mencatum­kan sumber dan nama orang-orang yang terkait ketika ada ku­tipan yang muncul. Tanpa menyertakan referensi, maka penulis meng­klaim secara sepihak atas suatu hal yang dia kemukakan yang bisa menjurus pada tindakan plagiarisme, sebuah hal yang sangat tabu dalam ranah akademik dan jurnalistik.

Penutup

Meski saya tidak hadir pada acara puncak tadi, saya tetap masuk komunitas Grup WA seluruh nominator dan panitia. Di grup itu ada begitu banyak hal-hal berharga dan inspirasi yang saya dapatkan. Salah satu yang sangat penting adalah keaktifan mereka di daerahnya masing-masing berkarya secara nyata untuk menggiatkan literasi. Selain aktif menulis di media, banyak dari mereka yang juga menelurkan karya-karya dalam bentuk novel, cerpen, buku-buku pendidikan dan masih banyak lagi.

Karya-karya mereka ini juga dipublikasikan penerbit dan dijual di toko-toko buku. Artinya selain adanya upaya yang gi­gih untuk mencerdaskan bangsa, mereka juga bisa mense­jahterakan diri dari kemampuan menulis. Mereka adalah do­sen-dosen, guru-guru dan insan-insan pers yang hebat. Ini yang belum kita miliki secara maksimal di Suma­tera Utara. Ada banyak guru dan dosen yang bahkan telah bergelar doktor hingga profesor. Namun, produktiftas menghasilkan buku-buku yang berguna bagi masyarakat masih minim. Kita bisa lihat di toko-toko buku yang ada di Sumatera Utara di mana buku-buku yang dijual masih didominasi oleh penulis-penulis dari provinsi lain terutama Jawa. Mudah-mudahan kedepannya para akademisi semakin terlecut untuk berkarya dan berjuang melalui buah pemikiran yang dituangkan dalam bentuk buku-buku.

Ini semua demi pengabdian dan demi memperbaiki kualitas literasi masyarakat Sumatera Utara. Semoga.

* Penulis adalah alumnus Pascasarjana Unimed dan berprofesi sebagai guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS

()

Baca Juga

Rekomendasi