Pentingnya Menjaga 'Roh' Acara

J Anto. DI tangan master ceremony (MC) profesional, acara peluncuran buku Biografi Supandi Kusuma, Totalitas Pengabdian sekaligus ulang tahun ke-76 tokoh Wushu Indonesia itu, ibarat pertunjukan teater sarat dramaturgi dan nilai. Alur acara dibangun berjenjang, mengaduk-aduk emosi hingga titik puncak rasa. Saat pulang, audiens mendapat sesuatu: nilai keteladanan orang yang jadi pusat acara.

Sorot mata ratusan undangan terarah ke panggung. Jurnalis olahraga senior Kompas, Korano Nicolash, baru saja usai memandu dialog dengan Master Supandi Kusuma. Di atas panggung duduk berjejer narasumber lain. Ada Pangdam I Bukit Barisan, Mayjen Sabrar Fadhilah, mantan Gubsu Tengku Ery Nuradi, Wakil Walikota Medan Achyar Nasution, mantan Ketua KONI Sumut yang juga anggota Komisi VII DPR RI, Gus Irawan Pasaribu, dan Ketua KONI Medan, Eddy H Sibarani.

Lalu muncul sesosok pria berjas liris hitam dan mengenakan dasi kupu-kupu. Laki-laki itu tersenyum semringah. Vokal suaranya terde­ngar empuk. Ia meminta Supandi Kusuma dan para narasumber lain berdiri. Acara ulang tahun yang menandai acara peluncuran buku akan segera dimulai.

"Kali ini kita akan mendengar ucapan ulang tahun dari para atlet wushu binaan Master Supandi Kusuma," ujar laki-laki itu. Ia tak lain MC acara, Herman Tristianto. Begitu ia selesai bicara, tiba-tiba tamu undangan dikejutkan teriakan-teriakan keras yang susul-menyusul memenuhi ruangan Kutaraja, di lantai 2, Tiara Convention Center Medan, Sabtu (27/10). Teriakan-teriakan itu mirip adegan orang-orang yang tengah melontarkan pukulan atau tendangan dalam film-film kungfu: haaaaaiit, haaaaaiit!

Dari arah pintu masuk, berlarian anak-anak usia belasan tahun. Mereka menge­nakan seragam wushu warna-warni. Satu persatu mereka melakukan atraksi. Ada yang tubuhnya melenting ke udara sembari melakukan xuan feng jiao (tendangan tornado). Begitu menda­rat, gesit ia berlari ke ujung sisi kiri dan berdiri menghadap ke panggung. Lalu di belakangnya muncul yang lain melakukan hou kong fan (salto ke belakang), setelah itu berlari ke ujung kanan menghadap ke panggung

Begitulah susul-menyusul 20 atlet junior yang tengah belajar seni beladiri wushu di Padepokan Yayasan Kusuma Wushu Indonesia (YKWI) melakukan berbagai gerakan akrobatik yang memukau. Tepuk tangan undangan riuh me­ningkahi setiap gerakan akrobatik itu.

Tak sedikt undangan berdiri melihat atraksi itu. Saat ke-20 atlet itu sudah berdiri berderet menghadap ke panggung, se­rentak mereka mengangkat kedua tangan ke depan. Mem­buat bao quan li (gerakan hor­mat) ke arah Master Supandi Kusuma yang sudah dalam posisi berdiri bersama narasumber lain. Dari mulut mereka meluncur ucapan: "Selamat ulang tahun Master Supandi Ku­suma, Happy Birthday! Sheng Ri Kuai Le!"

Tepuk tangan bergemuruh. MC terbaik di Medan itu lalu mengajak undangan menya­nyi­kan lagu Happy Birthday. Wajah-wajah ceria memancar. Tak hanya dari Master Supandi Kusuma, tapi juga undangan. Tak terkecuali Herman Tristianto, sang konseptor acara sekaligus pembawa acara.

Membaca Situasi

Berpengalaman selama 30 tahun sebagai pembawa acara, pria kelahiran 1965 ini adalah MC kondang dengan ragam acara. Mulai ulang tahun, pesta kawin, launching produk perban­kan sampai hunian. Herman orang yang enak di­ajak bicara, wawasannya luas, gestur tubuh­nya selama bicara penuh gerak teatrikal. Ia juga dikenal memiliki sense of humor dan bersuara empuk. Semua paduan itu jadi modal kuat sebagai MC mumpuni.

"Namun MC bukan pelawak juga bukan penyanyi. Kalau ada MC sekaligus pe­nyanyi seperti Bob Tutupoli, Koes Hen­dratmo, Kris Biantoro, dan Tantowi Yahya, itu anugerah Tuhan," ujarnya saat dijumpai di kantornya, Medan, Rabu (31/10). Sense of humor lebih dari sekadar lawakan, melainkan kecerdasan membaca situasi audiens dibumbui humor.

Ia memberi contoh saat diminta sebagai MC pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan para pengusaha Medan. Potrokoler dari sekreta­riat presiden dan paspampres ketat memberi kisi-kisi dan mengawasi. Ia harus mem­bawa­kan acara se­cara formal. Namun Herman bukan MC karbitan. Intui­sinya, yang meng­hayati MC sebagai seni, muncul tiba-tiba usai seorang penyanyi mem­bawakan lagu He­ning. Lagu itu syairnya ditulis Presiden SBY.

Saat itu, SBY tengah asyik ber­bincang dengan Syamsul Arifin, sementara ibu negara, Ani Yu­­dhoyono te­ngah mena­tap ke arah pang­gung. Her­man lalu mem­buat re­torika ke penonton agar sua­sa­na tidak ter­lalu formal, “Lagu He­ning tadi bagus bu­kan?” Syair lagunya juga ba­gus bukan?” Ten­tu saja tiap retorika dijawab audiens, “Bagus.”

"Nah kalau lagunya enak dan bagus syair­nya. Mulai besok, Ba­pak Ibu harus segera cari CD-nya di outlet-outlet CD yang ada." Audiens pun tertawa mendengar guyo­nan Herman yang sedikit 'nakal' itu. Terma­suk Ani Yudhoyono yang lalu mene­puk pundak Presiden SBY yang asyik berbin­cang. Saat SBY berpaling dan eks­pre­sinya bingung meli­hat audiens tertawa, Ani Yudhoyono lalu berbi­sik ke suaminya. SBY pun langsung tersenyum.

Humor cerdas, menu­rut Herman Tris­tianto, lahir lebih dari pe­nga­laman mang­gung. Namun juga dari ke­mauan untuk bela­jar dan membaca buku. Tiap MC menurut bapak tiga anak itu juga punya tipikal sendiri. Melihat Kris Biantoro tampil sebagai MC misalnya, audiens ibarat diajak masuk ke lorong perpustaakan karena keluasan penge­tahuannya.

Sementara melihat Koes Hendratmo, audiens langsung merasa 'adem' karena se­nyum khas dan tarikan suaranya yang lembut. Pada Bob Tutupoli orang melihat ke­wi­bawaannya saat di panggung dan suara­nya yang empuk. MC di Indonesia yang mampu memadukan tiga ciri khas itu, menurut­nya, adalah Tantowi Yahya, kini Duta Besar di Selandia Baru.

Bersinergi

Herman mengidolakan mereka. Ia bahkan pernah tampil sebagai MC dan ditonton keempatnya. Bahkan dengan Tantowi Yahya, ia sudah berkali tampil bareng. Saat ia dipercaya merancang acara launching plaza baru di Batam dan Tantowi Yahya sebagai MC. Ada pelajaran yang dipetik Herman dari Tantowi Yahya.

Saat Tantowi minta briefing acara, Herman langsung memberikan rundown acara. Sebagai MC profesional, ia berang­gapan Tantowi otomatis paham dengan acara itu. Tak perlu lagi ada briefing. Ternyata dugaan itu keliru.

"Tidak boleh Herman, kamu jangan cela­kakan saya dan celakakan diri. Kamu harus briefing saya karena kamu yang punya aca­ra," tutur Herman. Peristiwa ini menya­dar­kan ­pentingnya sinergi MC dengan EO. Maklum tak selamanya MC satu grup dengan perusa­haan EO.

Kebetulan pada acara peluncuran buku Biografi Supandi Kusuma, Totalitas Pengab­dian, Sabtu (27/10), Mandiri Group, perusa­haan event management itu miliknya. Aki­bat­nya ia jadi konseptor sekaligus eksekutor acara. Ia leluasa mengeksplorasi ide-idenya untuk menggambarkan kepada audiens ketokohan Master Supandi Kusuma walau tetap mendis­kusikan dengan sang tokoh.

Bagi Herman yang saat remaja pernah belajar berteater selama 1,5 tahun di Lem­bang, Jawa Barat, seorang MC bukan seka­dar pem­bawa acara yang pintar melucu atau sekadar tampil beda untuk mendulang sim­pati audiens. Ia juga ingin usai acara, audiens pulang membawa sesuatu dari tokoh yang tengah jadi pusat acara. Sesuatu itu adalah nilai ketokohan yang bisa mengins­pirasi.

"Pada diri Master Supandi Kusuma misal­nya, audiens mendapat nilai integritas beliau yang telah mengabdikan segalanya untuk membela Merah-Putih lewat wushu yang dicintainya sejak kecil," katanya. Untuk menghadirkan nilai itu, ia meracik lewat kemampuan mengolah kata-kata saat mem­bawakan acara, testimoni sejumlah tokoh politik, eksekutif, tokoh olahraga, mantan atlet, dan tokoh masyarakat terhadap kiprah Supandi Kusuma dan dukungan foto-foto dokumentasi yang ditayangkan lewat layar LCD. Tiga indera audiens, dengar, lihat, dan rasa coba disentuh­nya.

"Dari situ saya harap nilai dari ketokohan Supandi Kusuma sampai ke audiens," katanya yang punya obsesi ingin berorasi di depan ratusan ribu orang itu. Belum lama ini saat diminta jadi MC perayaan 50 tahun sebuah produk peralatan rumah tangga – yang menandai suksesi mana­jemen dari generasi kedua ke generasi ketiga – ia tak mau mem­bawa audiens larut dalam kisah bisnis produk itu.

Ia memilih menerasikan perkisahan seorang anak yatim usia 7 tahun yang harus bekerja dan berjuang jadi tulang punggung keluarga. Ia rela tak bersekolah dan secara sadar memilih bekerja di tukang kaleng. Gajinya untuk biayai sekolah adik-adiknya. Saat dalam perjalanan waktu anak yatim itu tumbuh jadi pengusaha besar, ia membalas masa sekolahnya yang hilang dengan belajar otodidak lewat acara-acara seminar. Bahkan diusianya yang ke-60 tahun, ia masih mau sekolah manajemen.

Anaknya tak langsung diberi posisi empuk di perusahaan walau ia tamatan universitas luar negeri. Mereka harus meniti dari bawah. Ada nilai kerja keras, tanggung-jawab, dan integritas yang ingin bisa dipetik audiens dari sang pengusaha.

Itulah Herman Tristianto, suami dari Meiling Jap, ayah dari Klara Kristi, Karina Kristi, dan Lary Barnabas Kuntara. Ia bukan sekadar MC yang hanya memastikan bahwa seluruh mata acara berjalan sesuai ranca­ngan, atau hanya memuaskan klien. Herman juga ingin audiens pulang membawa sesuatu yang lebih subtil, sesuatu yang bisa mengins­pirasi hidup mereka.

()

Baca Juga

Rekomendasi