Organisasi Ekstra Kampus, Ditakutkan dan Dibutuhkan

Oleh: Ikhwan Kurnia Hutasuhut, S.A.P

DI tengah prahara masuk dan berkembangnya ideologi transnasional (radikalisme), semua pihak (stake­hol­der) semakin kha­watir akan ancaman te­ror terhadap paham yang berbahaya ter­­sebut

Para elit bangsa ini mulai dari tokoh aga­ma, cende­kiawan, dan pemerintah mu­lai merasakan adanya aroma berbaha­ya dari paham radikal yang semakin hari perkem­bangannya semakin mening­kat.

Keutuhan Negara kesa­tuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah berpuluh ta­hun terjaga, tidak menutup kemung­kin­an mengalami keretakan kalau paham radikalisme itu terus ber­gentayangan.

Kekhawatiran para pen­jaga (garda) bangsa tersebut bukan tanpa dasar dan ana­lisis mendalam. Pasalnya, hal itu telah terjadi di beberapa negara Timur Tengah seperti Syria hari ini. Tidak untuk men­yamakan kondisi Syiria dengan Indonesia, tapi kalau diteliti secara cermat awal mula pecahnya perang sau­dara (civil war) Syria hampir mirip dengan cara-cara kaum radikal yang dimaksud untuk me­mecah belah bangsa Indonesia.

Tanda-tanda akan adanya perpecahan be­lakangan hari mulai terlihat. Konflik-konflik kecil atau besar, langsung atau tidak langsung mulai terjadi.

Di dunia maya (media sosial) sesama anak bangsa tidak henti-hentinya saling menghujat dan membenci satu sama lain, ketika adanya perbedaan pendapat atau pandangan.

Mulai dari pandangan politik sampai pandangan dalam beragama menjadi ba­han perdebatan tak sehat yang memicu perseteruan sesama anak bangsa.

Ironisnya dari sebagian per­debatan-perdebatan di medsos yang saya amati ti­daklah berbasis ilmiah atau tidak ber­pijak pada landasan yang kuat. Tetapi lebih ke­pada pendapat-pendapat yang ngaur dan tidak terarah.

Tidak hanya sebatas kon­flik di dunia maya saja. Kon­flik-konflik horizontal kem­­bali muncul. Kita masih ingat ke­jadian di Tanjung Balai dan Aceh Sing­kil yang terjadi bela­kangan ini.

Teror dan ledakan bom di beberapa kota. Dan yang baru saja terjadi konflik an­tara Banser dengan Hizbut Tahrir. Se­muanya itu disebabkan ka­rena dua hal, yakni pertama akibat berkem­bang­nya pa­ham-paham radikal. Dan ya­ng kedua mu­lai terkikisnya ideo­logi bangsa kita yakni ideo­­logi Pancasila. Hal de­mikian yang men­­dasari pe­me­rintah untuk segera me­res­pon terkikisnya ideo­logi Pancasila dan ber­­kem­bang­nya ideologi atau paham radi­kal.

UKP-IP

Beberapa bentuk nyata  telah dilaku­kan seperti pem­bentukan Unit Kerja Pre­siden Pembinaan Ideologi Pan­casila (UKP-IP) dan ter­bit­­nya Perppu Nomor 2 ta­hun 2017 tentang per­uba­han atas Un­dang-Undang Nomor 17 tahun 2013 ten­tang organi­sasi kemasyarakatan.

Setelah beberapa lama dibentuknya Unit dan terbit­nya Perppu tersebut, peme­rin­tah mulai evaluasi diri apakah ke­duanya telah efek­tif untuk menjaga ke­utuhan bangsa dari ancaman-anca­man yang ada.

Bukan berarti tidak ber­jalan, tapi pemerintah ingin kalau pencegahan paham radikal dan penanaman ideo­logi bangsa harus dimu­lai dari bawah. Cendekiawan Mus­­lim Azyumardi Azra pe­rnah mengata­kan bahwa perkemba­ngan paham-pa­ham radikal dimulai dari kam­pus-kampus atau Per­guruan Tinggi.

Hal itu senada dengan data dari BNPT yang menyebut 7 dari PTN di Indonesia terjerat paham radikalisme. Tentu hal itu sa­ngat berbahaya. Apalagi yang terpe­nga­ruh dengan paham-paham radikal adalah anak-anak muda para calon pe­mim­­pin bangsa kedepan.

Nasihar dari Azyumardi Azra pun mulai diterima pemerintah dan langsung di­jalankan. Masih dalam mo­men­tum peri­ngatan Sumpah Pemuda, Menteri Riset Tek­no­logi dan Pendidikan Tinggi me­nerbitkan Peraturan Men­teri Riset, Tek­nologi, dan Pendidikan Tinggi (Permen­ristekdikti) Nomor 55 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemaha­siswaan di lingkungan kampus.

Lahirnya Permen­ristek­dikti tersebut adalah salah satu upaya dari pemerintah untuk menekan paham radikalisme dan intoleran di dalam kampus.

Melalui Permen tersebut organisasi ke­mahasiswaan baik internal maupun eks­te­rnal dapat bersinergi dengan pihak ins­titusi Perguruan Tinggi untuk mence­gah paham radikal.

Selain itu, organisasi eks­ternal Cipayung seperti Him­punan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Maha­sis­wa Is­lam Indonesia (PM­II), Gerakan Ma­ha­sis­wa Nasio­nal Indonesia (GMNI), dll kini dapat kembali masuk kam­pus dan ber­sinergi den­gan organisasi intra kam­pus.

Hal ini tentu kesempatan bagi or­ga­nisasi ekstra kam­pus terutama kelompok Ci­pa­yung untuk kembali lebih mu­dah men­yebarkan syiar-syiar kebai­kan di kampus.

Permen­dikti

Selama ini ruang gerak or­ganisasi eks­tra sangat diba­tasi di kampus sejak tahun 2002 dengan adanya SK DIKTI Nomor: 26/DIK­TI/KEP/2002 tentang Pela­ra­ngan Organisasi Ekstra Kam­pus atau Partai Politik Dalam Kehidupan Kampus.

Dengan terbitnya Permen­dikti terse­but dapat kita sim­pulkan bahwa pemerin­tah te­lah tersadar akan pentin­g­nya Or­ga­nisasi Ekstra Kam­pus terutama kelompok Ci­pa­yung.

Selama ini ruang gerak orga­­ni­sasi eks­tra sangat terbatas. Organ-organ kelom­pok Cipayung dibatasi dan sama sekali tidak diberi fa­si­litas oleh kampus untuk ber­ekspresi. Padahal apa yang di­lakukan organ-organ ekstra tersebut semata-mata adalah untuk bangsa Indonesia.

Mungkin selama ini atau saat terbitnya SK DIKTI ta­hun 2002 tadi Pemerintah ter­­jerat penyakit lupa ingatan akan be­sarnya kontribusi organisasi ekstra kam­pus terutama Cipayung terhadap bangsa ini. 

Pasalnya, di awal-awal era kemerde­kaan bangsa organi­sasi-organisasi terse­but telah lahir dan turut andil dalam per­jua­ngan mempertahankan kemerde­kaan, mengha­dapi pemberontakan, dan meng­kri­tisi peme­rintah saat berbuat zalim dan tidak adil.

Dapat kita pahami bahwa selama ini pe­merintah takut kalau organisasi-or­ganisasi ekstra tersebut akan bersikap kritis terhadap institusi Per­gu­ruan Tinggi atau negara lebih luas kalau ruang gerak organ itu tidak dibatasi.

Padahal sebenarnya kekri­tisan mereka adalah bentuk ke­pedulian mereka akan la­­hirnya tatanan yang ideal sebagaimana mes­tinya. Kini ketakutan pemerintah akan sikap kritisnya organisasi ekstra telah dikalahkan dengan ketakutan ter­ha­dap ideologi radikalisme dan paham into­leran.

Terlepas dari uraian tadi, kini pe­merintah atau negara telah mengulurkan tangan atau meminta bantuan agar orga­nisasi ekstra kampus lebih berperan lagi dalam men­jaga ideologi bangsa.

Sebenarnya selama ini beberapa or­ganisasi ekstra kampus terutama ke­lom­pok Cipayung telah sadar akan bahaya ter­sebut. Dengan ke­kuatan dan kemam­pu­an yang ada, mereka juga telah ber­upaya untuk terus menjaga keutuhan dan ke­daulatan bangsa.

Hal itu karena memang su­dah menjadi tu­gas utama mereka sebagai kader-kader bangsa. Dan organisasi mereka didirikan ju­ga adalah untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga bangsa. Wa­lau­pun de­ngan latar belakang yang sedikit berbeda tapi mereka memiliki satu tujuan yang sama yakni untuk bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu, dengan keluarnya Per­men tersebut sudah saatnya organisasi ma­hasiswa baik intra maupun ekstra un­tuk memanfaatkan ruang ini dengan se­baik-baiknya. Dan kini saatnya bagi or­ganisasi intra, ekstra, dan PT untuk bergandengan tangan mencegah masuk­nya paham radikal di kampus demi terja­ganya keutuhan NKRI.

Penulis alumni FISP UMA dan sedang mengambil program master Pascasarjana PWD USU

()

Baca Juga

Rekomendasi