Konsep Pembentukan Perbankan Kristiani

Oleh: Dr. Salman Nasution SE.I.,MA

Dalam hubungan kepada Tuhan, umat Islam membentuk lem­baga ke­ua­n­gan yang menjalankan sistem Sya­­riah sebagai bagian dari perintah Allah SWT. yang tercatat dalam Al Qur­an dan Sunnah Nabi. Adapun satu perintah-Nya adalah larangan terha­dap riba yang sangat erat kaitannya de­ngan sistem bunga di perbankan kon­vensional.

Pada tahun 1992, Indonesia memi­liki lembaga keuangan ber­­sistem Syariah pertama yaitu Bank Muama­lah dan pada ta­hun 2018 ini, sudah ada 13 Bank Umum Syariah atau BUS, 21 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 167 Bank Perkreditan Rak­yat Sya­­riah (BPRS) yang tersebar di selu­ruh tanah air. Kese­mua lembaga ke­uangan tersebut hadir sebagai ba­gian dari pelaksanaan keuangan Islam yang menanggalkan ribawi dan men­ja­lankan sistem keuangan yang jujur dan saling membantu.

Cukup disayangkan, keberadaan lem­baga keuangan Islam ter­sebut tidak memberikan efek yang maksi­mal, disaat umat Islam merupakan agama mayoritas terbesar di Indonesia. Se­harusnya umat Islam secara mas­sal melakukan transaksi pada lem­baga keuangan Islam, namun lem­baga keuangan tersebut minim nasa­bah dibandingkan dengan lemba­ga keuangan kon­ven­sional yang rentan pada sistem bunga atau riba. Banyak alasan klasik dan tidak masuk akal di­antaranya administrasi perbankan Sya­riah dikenal sangat sulit diban­ding­kan dengan bank konvensional dan alasan lainnya yaitu bank konven­sio­nal lebih lama hadir di Indonesia di­bandingkan dengan bank Syariah. 

Syariah sangat berhubungan de­ngan sistem atau hukum un­tuk per­bai­­kan umat manusia. Dalam kaitan­nya dengan eko­nomi, maka Syariah dihadirkan untuk penerapan hukum-hu­kum untuk kemashlahatan eko­nomi umat. Tidak hanya umat Islam yang ingin menjalankan perintah Tu­han, namun peng­ikut agama lainnya se­perti Kristen Protestan dan Katolik juga mempunyai ayat yang sama dalam pelarangan terhadap bunga atau riba. Maka, dari itu, perlu adanya kerjasama antar umat beragama yang masih ingin menjalankan perintah Allah dalam berekonomi. Mereka yang pa­ham agama atau yang disebut de­ngan ulama, pastor, pendeta dan lain­nya harus membuat sis­­tem dalam ben­tuk kelembagaan bebas riba dalam menye­barkan ajaran bereko­nomi.

Riba atau bunga yang digunakan di perbankan konvensional akan men­jadi beban dan memperparah para na­sabah yang mi­nim pendapatan atau ma­syarakat miskin memperoleh pem­bia­­yaan usaha. Apalagi pembiayaan yang diberikan oleh per­bank­an tidak mengenal halal atau haramnya usaha sehingga me­nurunkan substansi nilai umat beragama. Adapun larangan da­lam hukum agama yaitu produksi mi­numan keras, kegiatan ekonomi fiktif, makanan yang diharamkan (dalam per­spektif ki­tab suci) dan transaksi bis­nis lainnya yang cendrung pada ke­jahatan.

Keserakahan dan kejahatan ekono­mi selalu hadir untuk memperkaya diri dan menafikkan ekonomi masya­ra­kat lain­nya seperti penimbunan ba­rang kebutuhan masyarakat atau ih­tikar. Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin (gap) selalu men­jadi permasalahan nasional yang da­pat mem­perburuk lingkungan sosial ber­masyarakat. Sepertinya peran pe­merintah kurang merespon hal ter­se­but, karena sedikit dari peja­bat pe­me­rin­tahan memahami kondisi ekonomi ma­syarakat yang berkelas rendah atau miskin, sehingga banyak program ekonomi kerakyatan milik pemerin­tah kurang tepat sasaran dan tidak stra­tegis dalam meminimalisasi ke­mis­­kinan.

Sebagai agama mayoritas, umat Islam sangat berkepen­ting­an dengan agama lainnya untuk menjalankan sistem per­ekonomian yang berdasar­kan pada kitab suci masing-masing agama. Adapun visinya adalah meng­han­curkan sistem riba yang cukup mi­rip dengan bunga. Para agamawan ha­rus bersatu dalam membasmi ribawi yang dapat menghancurkan per­eko­nomian masyarakat. Cukup banyak para nasabah yang gu­lung tikar dan pada akhirnya, menjual jaminan yang telah diberikan sebelumnya kepada perbankan. Maka tidak heran, cukup ba­nyak perbankan konvensional men­jual jaminan nasabah untuk menda­pat­kan kembali modal plus bunga dan biaya lainnya.

Cukup banyak umat Kristiani dan Ka­tolik masuk dalam daf­tar orang ter­kaya di Indonesia. Maka dari itu, ini ada­lah ke­sem­patan emas bagi para pas­tor dan pendeta untuk segera me­rencanakan pembentukan lembaga ke­uangan yang ber­sistem pada ajaran Kris­­tiani sebagai bagian dari perintah Tu­­han. Tidak ada bedanya dengan lem­­­baga keuangan Syariah, lem­baga yang dibentuk nantinya mempunyai tu­juan prioritas yaitu terkhusus mem­bantu umat Kristiani dan Katolik dan umat lainnya secara umum dalam men­­capai kesejahteraan berekonomi. Da­lam operasionalnya, lembaga ke­ua­ngan Kristiani membantu para na­sabah yang ingin memperoleh pembiayaan dan membantu dalam pengelolaan keuangan perusahaan agar tidak pailit.

 Adapun ayat Tuhan dalam Kitab Suci (Injil) yaitu dalam Imamat 25:36-37 “Janganlah engkau mengambil bu­nga uang atau riba dari padanya, me­lainkan engkau harus takut akan Allah­mu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan me­minta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan de­ngan meminta riba”. Dan banyak lagi ayat lainnya yang me­nolak tentang riba dan bunga termasuk agama Yahudi yang berperan dalam menghancurkan sistem ribawi.

Jika semua agama sepakat dengan sistem lembaga ke­uang­an yang meno­lak riba maka mereka secara bersama-sama me­re­komendasikan kepada pe­merintah untuk menghentikan sistem ribawi dan mengutamakan kerjasama dengan bagi hasil yang disepakati. Lem­baga keuangan Syariah dan Kris­tiani be­kerjasama dalam menjalankan sistem keuangan yang profes­sio­­nal, kejujuran, saling tolong-menolong dan membantu na­sabah.

Kekuatan suatu bangsa tidak hanya menuruti dari apa yang diinginkan oleh segelintir orang tetapi melalui ke­kuatan umat secara bersama-sama dan saling ba­hu membahu untuk mencip­takan kese­jah­teraan. Dalam operasio­nalnya, per­bankan yang agamis ter­se­but memanfaat­kan dan memaksimal­kan dana yang di­peroleh untuk kepen­tingan bisnis yang halal dan baik. Lebih dari itu, menjalan­kan perintah agama agar semua umat dapat merasa­kan kesejahteraan ekonomi di dunia dan kesejahteraan di akhirat. ***

Penulis adalah Dosen UMSU

()

Baca Juga

Rekomendasi