Jaminan Kesehatan Buruh, dari Jamsostek ke BPJS Kesehatan

Oleh: Manosor Panjaitan.

Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014, jaminan kesehatan buruh dan keluarganya yang selama ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Jamsostek (Per­sero) akan diambil alih oleh sebuah badan bernama Badan Penye­lenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ke­se­hatan. Buruh dan anggota keluar­ganya yakni suami/isteri beserta mak­simum 3 (tiga) orang anaknya men­jadi 1 (satu) paket peserta saat didaf­tarkan oleh perusahaan dimana buruh be­kerja. Iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dibayarkan oleh perusa­haan dan bu­ruh sebesar 5% dari upah buruh setiap bulannya. Perusahaan memba­yar 4% dan buruh mem­bayar 1%.

Ada sebuah layanan kesehatan yang tidak lagi dirasakan manfaatnya oleh buruh begitu jaminan kesehatan tidak lagi ditangani oleh Jamsostek yakni layanan kesehatan dalam kondisi emergency (darurat). Laya­nan ini memungkinkan buruh dan ke­luarganya untuk mendapatkan layanan medis diluar klinik rujukan apabila dalam kondisi emergency, lalu biaya perobatan dibayar dan nanti bisa diklaim ke Jamsostek dengan menunjukkan bukti pembayaran medis. Kondisi emergency difahami sebagai sebuah kondisi yang mengha­ruskan segera menerima penanganan medis untuk meng­hindari hal serius atau fatal. Kondisi emergency difa­hami untuk kondisi: persalinan, de­mam tinggi, diare, dan luka menge­luarkan darah. Bahkan Jam­sostek juga merekomen­dasikan layanan perobatan non medis, tabib patah tulang dengan syarat tabib sudah memiliki izin praktek.

Jadi, informasi terpenting yang saya peroleh dari pihak BPJS Kese­hatan adalah: tidak mengenal klaim pembayaran meskipun untuk kondisi emergency. Jadi, jika kepada buruh zaman now ditanya apakah ada perbedaan yang dirasakan antara layanan kesehatan Jamsostek dengan BPJS Kese­hatan, maka jawabnya ada. Peluang untuk mengutamakan kese­hatan dan keselamatan buruh diban­ding sebuah prosedur kerja tidak lagi diakui meski dengan alasan kondisi emer­gency atau darurat.

Layanan Kesehatan

Layanan kesehatan buruh dewasa ini sepertinya belum maksimal, masih banyak keluhan buruh yang disam­paikan ke perusahaan seperti: klinik rujukan yang tidak buka 24 jam, tutup di hari libur, atau keluhan tentang la­yanan petugas medis. Khusus ten­tang layanan medis yang tidak mak­simal maka baru-baru ini harian Ana­lisa mengulas terganggunya layanan kesehatan yang diduga ada kaitannya dengan tunggakan BPJS Kesehatan. Dalam Tajuk Rencana baru-baru ini (20/10) disebutkan bahwa sejumlah rumah sakit yang merupakan mitra BPJS Kesehatan mulai terganggu dalam layanan kesehatan.

Tunggakan klaim pembayaran kepada Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H Adam Malik mencapai Rp 25 miliar. Sedang ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pirngadi Medan selama 2 (dua) bulan menca­pai Rp 13 miliar. Di akhir tajuk maka BPJS Kesehatan didorong agar terus membenahi manajemen serta mela­kukan efisiensi anggaran. Termasuk mengevaluasi gaji Direktur Utama, demi keseimbangan keuangan.

Sistem Gotongroyong

Menurut hemat saya maka pembe­na­han manajemen sebagaimana yang diusulkan banyak pihak kepada BPJS Kesehatan adalah perlu. Hanya saja, efisiensi anggaran yang diusulkan agak riskan karena ini berhubungan dengan layanan kesehatan bagi selu­ruh peserta! Jangan hanya karena ingin efisisensi anggaran lalu kualitas layanan jadi “ter­ge­rogoti” ditengah masih banyaknya keluhan tentang layanan kesehatan oleh peserta BPJS Kesehatan. Dan, evaluasi gaji Direk­tur Utama juga sepertinya tidaklah begitu urgen.

Heboh tentang tersendatnya klaim pembayaran lembaga medis ke pihak penyelenggara jaminan sosial kese­hatan yang berakibat terganggunya layanan medis sepertinya belum per­nah terdengar oleh buruh saat masih berhubungan dengan Jam­sostek. Mendengar BPJS Kesehatan yang meng­alami defisit keuangan hingga triliunan rupiah dimana hal tersebut dapat meng­ganggu layanan kesehatan peserta khu­susnya buruh maka ada pemikiran jika sebaiknya Jamsostek diaktifkan lagi. Tidak terbebani dengan kabar defisit ke­uangan badan penyeleng­gara dan pengakuan terhadap per­obatan dalam kondisi emergency, dimana kesehatan dan keselamatan buruh dan keluarganya dianggap hal terpenting dibanding sebuh prosedur.

Di perusahaan kami maka peserta­nya saat ini sekitar 160-an orang, dimana iuran setiap bulannya menca­pai Rp 18 juta an. Bisa dira-ratakan bahwa pekerja yang meng­gunakan layanan kesehatan setiap bulannya 5 orang. Ini diketahui sebab setiap buruh yang sakit harus melampirkan surat pemeriksaan kesehatan dari klinik rujukan agar upah tetap dibayar perusahaan. Upah selama sakit wajib dibayar perusahaan sepanjang buruh dapat menunjukkan surat berobat dari dokter.

Jika buruh setiap bulan rata-rata berobat 5 orang, dan kita asumsikan anggota keluarganya 10 orang maka dalam se­tiap bulan bisa saja diasum­sikan peserta yang meng­gunakan dana iuran hanya 5 hingga 15 orang. Dana iuran lainnya itulah yang masuk dalam kategori gotongroyong. Jadi, dengan gambaran ini maka sesung­guhnya buruh sulit menerima kalau memperoleh layanan yang kurang prima dengan dikaitkan dengan isu defisit keuangan BPJS Kese­hatan.

Penutup

Sepertinya BPJS Kesehatan harus mempelajari jurus PT. Jamsostek dalam mengelola layanan kesehatan meskipun skopnya lebih kecil yakni hanya mengelola kesehatan buruh. Yang jelas, buruh berkeinginan men­dapatkan layanan kese­hatan secara maksimal dan kalau bisa cara metode perobatan dalam kondisi emergency sebagaimana dikenal semasa Jamsos­tek dapat dirasakan lagi oleh buruh. Tulisan “Safety First!” terpampang di banyak lokasi kerja. ***

(Penulis, adalah HRD di sebuah industri perkebunan)

()

Baca Juga

Rekomendasi