Oleh: Hari Murti, S. Sos.
Biasanya durasi memori bangsa ini begitu singkat, terutama dalam hal politik. Tetapi tidak di bidang ekonomi, juga belakangan ini bencana. Peristiwa krisis ekonomi tahun 1997- 1998 begitu tersemat jauh ke alam pikiran, bahkan memotivasi hampir setiap keputusan ekonomi yang diambil individu, badan usaha, dan negara entah sampai kapan. Sepuluh tahun setelahnya, 2008, krisis finansial global melanda dunia. Walau tidak benar-benar heboh seperti 1997-1998, itu juga lebih karena ingatan dan pengalaman mengelola krisis ekonomi 1997-1998 oleh para pembuat kebijakan. Berkat ingatan pada kedua krisis besar itu, ekonomi di banyak negara lebih tahan banting atas perang dagang dua raksasa ekonomi dunia sepuluh tahun kemudian lagi, Amerika dan Tiongkok di 2018 ini.
Tapi, sebenarnya dua krisis itu, 1997-1998 dan 2008 berbeda penyebabnya. Krisis 1997-1998 dan 2008 lebih karena faktor internal negara-negara, atau tepatnya ketidakdisiplinan banyak negara mengelola fundamental ekonomi dan fiskalnya. Ada semacam simtom ekonomi yang diidap negara-negara, terutama negara berkembang yang terumbang-umbang oleh pujian ekonomi negara maju sebagai masa depan lokomotif ekonomi dunia. Sedangkan kali ini, sepuluh tahun kemudian lagi, 2018, krisis lebih disebabkan faktor eksternal. Berbagai kondisi ekonomi banyak negara kurang maksimal karena menguatnya populisme ekonomi negara maju, seperti brexit, perang dagang, dan khusus bagi negara produsen CPO seperti Indonesia adalah regulasi Uni Eropa yang menghambat perdagangan sawit Indonesia. Sehingga, ingatan dan pengalaman dua krisis sebelumnya bisa dikata kurang relevan untuk dijadikan teropong navigasi dan mitigasi kondisi ekonomi dunia saat ini yang sepertinya di ambang depresi ekonomi jilid II.
Malaise 1930
Sebagian terbesar - mungkin lebih dari 95 % - penduduk Bumi saat ini lahir di atas tahun 1930-an. Mereka yang lahir di atas tahun itu tidak banyak tahu tentang peristiwa besar ekonomi pada 1930. Pada saat itu, terjadi krisis ekonomi besar yang kita sebut sebagai depresi ekonomi atau kadang juga malaise. Depresi ekonomi adalah kehancuran perekonomian secara global karena perdagangan yang merupakan urat nadi perekonomian dan pertumbuhan itu mengalami kebuntuan. Kebuntuan disebabkan faktor besar, kalau tidak salah, perang dagang dan saling boikot produk ekspor-impor oleh korporasi-korporasi. Kabar burung berkata, salahsatu penumpang VIP dari objek bergerak terbesar di air kala itu, Titanic, tidak mati karena tenggelam pada peristiwa malam hari di tahun 1912 di Samudera Atlantik itu. Tetapi, karena bunuh diri tidak kuat menanggung depresi ekonomi 1930. Lebih besar dari peristiwa itu, adalah depresi ekonomi memaksa ilmu sosial yang baru lahir saat itu, ekonomi, untuk melahirkan satu subdisiplin baru mereka, yaitu ekonomi makro. Lain kata, setelah depresi ekonomi terjadi, para ekonom dan pemerintah melihat bahwa perlu campur tangan negara untuk mengatur beberapa aspek dalam perdagangan agar tak terlalu pasar liberal, yang buah dari campur tangan itu adalah lahirnya subdisiplin makroekonomi tersebut.
Sayangnya, dalam perkembangannya, ekonomi makro sepertinya tercerabut dari akar lahirnya sendiri. Kelahirannya karena didorong oleh kegelisahan akan munculnya “kiamat” ekonomi di kemudian hari, tetapi dalam perkembangannya ekonomi makro dominan membahas tentang bagaimana sistem perekonomian sebuah negara bekerja untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya sehingga bisa memiliki penghasilan untuk melakukan konsumsi, yang konsumsi itu pada gilirannya akan memicu pertumbuhan ekonomi. Sedangkan bagaimana mengantisipasi dan mengatasi krisis, lebih didasari oleh pengalaman krisis 1997-1998 dan 2008. Dengan lain kata, ekonomi makro yang diharapkan sebagai jalan besar bagi transmisi warisan-warisan informasi dan pengalaman ekonomi tentang depresi ekonomi 1930 ternyata kurang bisa diandalkan untuk menjadi bahan menghadapi kemungkinan situasi ekonomi yang relatif mirip di 2018 ini.
Ya, mau atau tidak, kita harus mengakui bahwa dunia seperti sedang mengarah pada situasi seperti 1930 itu. Kalau kita telisik ke belakang, AS sebenarnya bukan pertama yang memicu kebuntuan perdagangan ini. Sebelum Presiden Trump memulainya dengan Tiongkok, ada Eropa yang mengalami gejala populisme internal dan eksternal. Dalam segmen internal Eropa, ada brexit yang implikasinya juga ke ekonomi, yang dampaknya pasti juga sistemik ke luar benua itu. Di segmen eksternal, kebijakan populisme Uni Eropa juga sering memicu keinginan balasan dari negara mitra dagangnya, khususnya soal sawit. Hanya saja, Eropa kalah besar di banding AS, sehingga aksi-aksi perdagangan mereka yang tidak adil masih bisa tertutupi oleh besarnya AS.
Tetapi ketika AS merasa defisit perdagangannya gila-gilaan dan mengambil aksi perdagangan yang dinilai sebagai AS menarik diri dari apa yang selama ini sebagai wajah depannya, globalisasi, dunia langsung merespon. Setiap negara kini secara implisit pasang-memasang tarif baru atas produk impor. Indonesia misalnya, baru-baru ini menaikkan tarif atas 1.147 barang impor, juga dengan alasan yang relatif sama dengan AS, yaitu mengatasi defisit transaksi berjalan.
Apa artinya ini? Keterlibatan pemerintah-pemerintah dalam kebuntuan perdagangan pada 1930 mungkin di belakang layar. Kini, dan bukan hanya kini, tetapi sudah relatif lama, pemerintah-pemerintah pasang muka terang-terangan, balas-balasan, dan pukul-pukulan tarif. Masih lebih mending 1930 mungkin, karena ketersembunyian di balik layar itu memberi ruang bagi pemerintah-pemerintah untuk menetralisir kebuntuan tanpa perlu malu-malu. Mereka hanya perlu menunjuk korporasi-korporasi sebagai penyebab malaise atau depresi ekonomi itu. Tetapi ketika sosok terbesar dalam negara itu langsung ikut terbuka, hanya pembicaraan dengan kepala dingin atas penderitaan dunia usaha yang bisa mengatasinya. Siapa lagi di atas pemerintah negara yang bisa mendamaikan keadaan kalau ternyata pemerintahnya sendiri yang seharusnya menjadi wasit malah ikut bertanding.
Maka, sebelum terjadi malaise jilid II itu, badan-badan dunia harus bergerak. Mereka dianggap sebagai lebih tinggi dibanding pemerintah-pemerintah negara. IMF, Bank Dunia, PBB, OPEC, dan sederet nama besar lainnya tak bisa hanya mengharap pengertian dari petarung-petarung ekonomi yang sudah siap dengan pedang pembabat pertumbuhan negara lawan, dan akhirnya pertumbuhan global. Tangan otoritas global itu tak bisa lagi hanya menyesali, tetapi mungkin memaksa agar negara-negara perang dagang itu berkomunikasi secara layak untuk kebaikan global.
Pidato Presiden Joko Widodo dalam Annual Meeting IMF - World Bank di Nusadua, Bali, baru-baru ini mencerminkan betapa badan-badan ekonomi dunia itu tidak punya nyali untuk mencubit ekor-ekor kekuasaan yang kadar populismenya berlebihan itu. Saya tidak yakin bahwa Presiden Joko Widodo adalah satu-satunya orang yang punya ide bahwa situasi ekonomi dunia saat ini seperti serial Games of Thrones itu. Tetapi, aplaus dari ekonom dan decision maker kelas dunia itu karena merasa suara keprihatinan mereka memperoleh jembatan melalui Joko Widodo. Itu cukup menggambarkan bahwa badan-badan ekonomi dunia itu masih perlu waktu dan peristiwa lebih besar lagi untuk memupuk keberaniannya bergerak mengatasi populisme ekonomi yang mengkhawatirkan ini.
Kesesuaian Dinamika
Ketika situasinya sudah seperti ini, maka kadang terasa oleh saya bahwa yang diperlukan saat ini soal nilai tukar rupiah bukan kuat, lemah, atau stabil. Yang diperlukan adalah, ibarat berkendara di jalan ramai yang tidak tertib dan fluktuatif, adalah selalu menyesuaikan kecepatan dan arah kendaraan dengan kendaraan lain yang ada di setiap sisi. Stabilitas nilai bukan jaminan saat ini, karena ketika nilai tukar negara lain menguat atau melemah, bisa jadi senggolan dengan nilai tukar rupiah. Misal, kalau nilai tukar kita stabil, katakanlah di level 15.000, tetapi mata uang negara kompetitor ekspor melemah sekian persen, ini artinya ekspor kita bisa lebih mahal sehingga volumenya bisa melemah.
Oleh karena itu, mengingat situasinya saat ini begitu sulit ditebak, akan lebih baik jika kita tenang atas nilai rupiah. Tenang di sini bukan tidak melakukan apa-apa, tetapi mengendalikan komunikasi kita bahwa nilai rupiah melemah, menguat, atau stabil harus dilihat selalu dari sisi peluang ekspornya.
Oh ya, mungkin dunia perlu rem karena terasa berjalan terlalu cepat. ***
Penulis adalah pemerhati sosial ekonomi. Ketua Pokja pada Forum Penulis Buku Muatan Lokal Sumatera Utara, pengajar komunikasi jurnalistik pada perguruan tinggi.