Dalam sejarahnya, kepentingan ekonomi dan lingkungan baku hantam dalam keseharian. Kampanye hitam diteriakkan lantang oleh ekonomi, sedangkan lingkungan membalas dengan berteriak perusak ekosistem.
Mereka saling menghujat. Namun sejarah juga mencatat, sejauh ini lingkungan lebih sering terjegal di tengah jalan.
Teknologi terkadang hadir mencoba melerai. Kadang berhasil memberi solusi, techno-fixes, namun tidak jarang hanya menjadi janji semu.
Mana yang akan dipilih, laring atau rehabilitasi holistik “kali hitam”, hujan buatan atau restorasi hutan dan lahan gambut?
Ekonomi lalu berteriak, mahal. Maka lingkungan menjawab, alam memang diciptakan sempurna, karenanya terkadang harus ditebus dengan harga yang sangat mahal jika ada yang menginginkannya.
Pemerintah Korea Selatan menghabiskan dana 18 miliar dolar AS untuk menyelesaikan Restorasi Sungai Nasional mereka dalam empat tahun. Tujuannya, menyediakan energi hijau, suplai air bersih dan menghindarkan masyarakat dari bencana banjir.
Ada beberapa hal besar yang mereka kerjakan, antara lain merevitalisasi empat sungai besar, membuat proyek di 14 anak sungai dan merestorasi aliran-aliran sungai yang berukuran lebih kecil demi mengamankan sumber daya air.
Selain itu, mengendalikan banjir secara komprehensif, meningkatkan kualitas air dan memulihkan ekosistem sungai, menciptakan ruang multiguna untuk warga setempat, dan mendorong pengembangan regional yang berpusat di sungai.
Sekarang, jangan terlalu iri dengan warga Seoul yang bisa duduk santai di tepi Sungai Han sambil menyeruput kopi tanpa harus sesak mencium bau tidak enak yang menyengat.
Menengok
Jika kebetulan sedang terbang melintas pulau-pulau besar di Indonesia, rajin-rajinlah menengok ke bawah, mengagumi lanskapnya. Perhatikan liukan sungai-sungainya, pesisirnya, ketebalan tutupan hutannya, luasan danau atau rawanya, ketinggian bukit-bukit dan gunung karstnya.
Pernahkah bertanya apa yang akan terjadi seandainya bentuk alami mereka (sungai, pesisir, hutan, danau atau rawa, karst) berubah?
Pada Senin (12/11), 157 warga Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta, terdampak banjir setinggi hingga 100 cm akibat luapan Sungai Ciliwung. Pada hari yang sama di Kabupaten Pangandaran ribuan rumah mengalami bencana sama. Bahkan, kediaman Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ikut terendam sebatas paha orang dewasa.
Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata mengatakan banyak yang perlu dikaji mengingat selain banjir juga banyak wilayahnya yang longsor.
Akhirnya jeda (moratorium) pendirian perumahan dan pemukiman di daerah resapan air, seperti Kampung Tegaljambe, Dusun Bojongjati Pananjung dilakukan.
Bencana lain yang mengancam saat peralihan musim hujan tiba adalah tanah longsor. Tebing setinggi kurang lebih tujuh meter di Sukabumi pada Jumat (7/12), longsor setelah diguyur hujan deras, dan kejadian ini menewaskan Iyar (68), warga RT003/RW003, Desa Babakanpanjang, Kecamatan Nagrak.
Pada lokasi yang berbeda, di Desa Sidomulyo, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, empat warga yang masih satu keluarga dilaporkan hilang tertimbun material longsor yang menimpa pemukiman di kampung mereka sekitar pukul 21.30 WIB. Jasad mereka berhasil ditemukan sehari setelahnya.
Pada Sabtu (8/12), sekitar pukul 05.30 Wita, di Banjar (Dusun) Sasih, Batubulan, Gianyar, Bali, longsor mengakibatkan seorang ibu dan tiga anaknya tewas setelah rumah yang berada di tepi sungai ambles ke dalam jurang berkedalaman 10 meter.
“Pulang ke rumahnya”
“Bahasa kami, air selalu pulang ke rumahnya,” kata Manajer Kampanye Air, Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu A Perdana, saat ditanya perihal banjir yang semakin kerap terjadi.
Ketika ruang air diambil, maka akan lari ke mana-mana, ditambah lagi jika kondisi resapan tanah, seperti di Jakarta, banjir akan datang berkali-kali. Pembangunan dilakukan hanya dengan pendekatan teknis, tidak memikirkan aspek lingkungan.
Dia mencontohkan kondisi Jabodetabek dengan sungai yang secara alami meliuk-liuk dan memiliki daya resapan justru diluruskan dan ditembok.
Cara itu menghilangkan daya resapan dan membuat air semakin cepat datang. Ditambah pula wilayah tangkapan air di hulu hilang, karena di dalam tata ruang luasannya mengecil.
Kondisi hampir serupa menimpa Palembang di mana perubahan daerah konservasi di wilayah hulu terjadi.
Menurut dia, daerah rawa seluas 35.000 hektare kini tersisa 2.300 hektare. “Jadi kalau ditutup, ya (airnya, red) ke mana-mana,” ujarnya.
Tanah gambut pada dasarnya merupakan kubah air. Namun, seluruh air menghilang dengan besarnya wilayah konsesi di Sumatera dengan membuka kanal-kanal.
Gambut memiliki kemampuan untuk menyerap air 13 kali dari tanah mineral. Jika rusak, ruang air yang sangat besar akan hilang begitu saja di area tersebut. Tidak heran jika saat kemarau akan cepat sekali kering, sementara saat musim hujan datang air tidak terserap mengakibatkan banjir.
Sebenarnya, ingatnya, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Peta Kerawanan Bencana ada di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Tapi, kerap kali dalam implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) diabaikan.
Padahal, Pasal 16 Undang-Undang (UU) No 32/2009 sudah menyatakan, dokumen KLHS untuk memuat kajian, antara lain kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan.
Selain itu, perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan atau jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, dan tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Kerangka kebijakan menyangkut lingkungan hidup sudah cukup banyak. Namun, apakah sudah diimplementasikan? (Virna P Setyorini/Ant)