Oleh: Abd Rahman M
Sepucuk surat kembali digenggam Bening. Ditulis tangan sama persis dua surat yang sudah diterimanya tanpa ada nama pengirimnya. Bening hanya bisa geleng-geleng membaca isinya. Geli plus agak mual-mual membacanya. Tentang mual-mual tadi abaikan saja karena Bening memang sedang masuk angin akibat kehujanan semalam. Yang pastinya Bening tak menyukai puisi dan tulisan tangan dari pemuisi misterius itu, tidak terlalu apik untuk dibaca. Butuh waktu lama, lantas agak mengernyitkan dahi supaya bisa memahami apa maksud dan tujuan si pengirim puisi misterius itu.
“Lin, kau tahu nggak teman sekelas kita yang suka atau hobi menulis puisi?” Bening duduk di sebelah Lince yang sedang lahap makan mi di kantin favorit mereka.
“Nggak.”
Lince yang lahap dengan setumpuk mi di hadapannya seketika mematung dan bengong seperti orang yang lagi terhipnotis. Bedanya kalau orang kena hipnotis di bawah kendali orang yang sedang menyugesti sedangkan Lince bengongnya seperti orang terpukau melihat cowok ganteng tapi bau ketiak sedang berada di dekatnya.
“Halo...halo..., Ish, gitu kali dirimu ya, Lin, dari tadi aku serius bertanya kamu malah bengong melulu.” Bening melambai-lambaikan tangannya ke arah Lince.
“Aduh, sori Ning, habis pertanyaan kamu aneh sih! Sejak kapan kau peduli dengan puisi? Bukannya kemarin sewaktu kita ada tugas membuat puisi kamu sengaja absen karena takut disuruh membacanya di depan kelas? Hayo, jangan-jangan kau mau minta dibuatkan puisi ya, sama Si Mardan? Supaya nggak dimarahi Pak Boy, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia?”
“Mar-dan?” Bening mengatupkan bibirnya mengeja namanya berkali-kali. Di lain sisi Lince jadi salah tingkah karena keceplosan menyebut nama Mardan. Sebab rahasia tentang surat-surat tanpa nama pengirim itu akhirnya hampir ketahuan.
“Aduh gawat, bisa-bisa ketahuan selama ini Mardan yang mengirimi surat itu kepada Bening. Aduh kasihan Mardan usahanya mendekati Bening jadi kacau balau gara-gara aku,” gumam Lince.
* * *
Sepucuk surat kembali diterima Bening. Lagi-lagi tanpa nama pengirim. Namun Bening tidak lagi sesibuk hari-hari sebelumnya ketika ia menerima surat bertulis tangan yang terangkai kata-kata bak pujangga. Lama-lama Bening risih juga dengan tingkah Damar.
“Ning, kau jangan memarahi Damar ya? Please... Dia itu suka sama kamu.” Mata Lince berkaca-kaca bukan karena sedih atau takut Bening marah, tetapi karena melahap mi level yang tingkat kepedasannya luar biasa sekali...
* * *
“Bening, aku mau jujur padamu, selama ini akulah yang menulis surat-surat tanpa nama pengirim itu. Bagaimana puisi-puisi yang kau baca itu? Kau suka?”
Belum sempat dijawab oleh Bening, Damar kembali berkata, lebih tepatnya membacakan, sebuah puisi singkat di depan Bening.
Aku menulis puisi itu hanya untukmu Ning
semenjak pertama kali melihatmu
aku langsung jatuh cinta padamu Ning
maukah kau menerimaku menjadi pacarmu?
“Maaf, tidak untuk saat ini, karena aku tidak suka puisi dan tidak siap untuk pacaran sebelum tamat SMA!”
* Prapat Janji, 17 Oktober 2017