Trotoar adalah Wajah Kota

Oleh: Poltak MS

Ada arsitek pembangunan kota yang menyebut bahwa orang­ Indonesia tidak pernah bisa membuat area pedestrian atau trotoar dengan baik dan benar. Ia mengungkapkan hal tersebut setelah melakukan kunjungan ke beberapa kota di Indo­nesia dan juga ke mancanegara. Hampir semua trotoar yang ada di kota-kota besar di Indonesia sangat menyedihkan kondisinya, terutama dalam aspek kenyamanan dan kesela­mat­an para pejalan kaki. Kalau pun ada suatu area pedestarian dengan kondisi yang ideal, biasanya malah tidak ada pejalan kaki menggunakannya sehingga terbengkalai dan rusak. Tro­toar yang sejati­nya ditujukan bagi para pedestrian atau pejalan kaki untuk melakukan perjala­nan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan kondisi yang nyaman, sangat sulit kita temui di negeri ini.

Kota Medan sebagai kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia dalam beberapa dekade belakangan ini telah meng­alami perubahan cukup signifikan dengan pembangunan infras­truktur perkotaannya yang masif. Salah satu yang turut mengalami perubahan adalah wujud trotoar yang ada di sepanjang jalan-jalan utamanya. Sudah ada sedikit keseriusan pembenahan, namun di lain hal juga masih banyak kekurangan jika dipandang dari sudut pedestrian yang ideal berikut aspek-aspek perencanaannya.

Pada beberapa area pedestrian yang sudah, sedang dan akan dibangun itu, sayangnya masih ada yang keliru dalam konsep dan perencanaan pembangunannya. Sejak awal disebut, alasan dari perubahan trotoar adalah untuk memperlebar ruas jalan untuk kendaraan kurang dari 1,5 meter di sebelah kiri dan kanan. Trotoar akhirnya harus bergeser mendekati batas lahan ma­syarakat dan menu­tupi saluran drainasi yang tadinya ter­buka. Semula, dengan konsep ini, kema­cetan yang sudah men­jadi momok di kota ini akan bisa berkurang. Padahal, nyata­nya harapan itu tidak sepenuhnya tepat karena kemacetan masih saja terus terjadi.

Jalan yang lebar tidaklah jadi jaminan kemacetan akan ber­kurang, karena ada banyak faktor yang menjadi pemicunya. Jika ingin kemacetan berkurang, setidak­nya ada perbaikan pada layanan transportasi publik yang baik sehingga ma­sya­rakat urban pekerja rela meninggalkan kendaraan pribadinya dan lebih memilih kendaraan umum. Pemerintah kota pun bisa membatasi jumlah kendaraan baru memasuki kawasan kota pada jam kerja, seperti yang dilakukan oleh DKI dengan kebijakan ganjil genap. Perilaku para pengendara kendaraan bermotor dalam berlalu lintas juga perlu mendapat perhatian lebih, karena perilaku ugal-ugalan di jalan raya bisa memicu kemacetan panjang.

Jakarta misalnya adalah contoh kota besar dengan kondisi jalan-jalannya yang lebar dan terintegrasi, namun tetap saja terjadi kemacetan yang parah dan diper­ki­rakan pada tahun 2025 nanti akan terjadi stagnasi kendaraan, artinya macet total dan kendaraan tidak bisa melaju ke mana-mana sama sekali. Lalu, dibuatlah fly-over atau under-pass yang dimak­sudkan untuk mengurai kemacetan itu. Apa yang terjadi? Kemacetan di DKI malah tidak beranjak dari status “parah” dan pembuatan fly-over dan under-pass itu tidak memecahkan masalah kemacetan.

Pemerintah kota Surabaya yang di­pimpin Ibu Risma telah bersepakat untuk tidak membangun fly-over karena dampak yang ditimbulkannya cukup banyak. Sebab, pembuatan fly-over hanya akan memperparah polusi udara dan merubah karak­ter kota menjadi lebih keras, lebih sangar dan tidak hu­ma­nis. Sayangnya, konsep pembangunan fly-over seperti ini malah sedang gencar dilakukan di beberapa titik rawan kema­cetan di kota Medan, termasuk pemba­ngunan jalur kereta api layang yang pembangunannya memakan waktu bertahun-tahun.

Konsep pedestrian yang baik

Area trotoar yang baik idealnya memiliki suatu ruang untuk berjalan kaki dengan jarak bersih minimal 2 meter sehingga nyaman untuk dua orang pejalan kaki saat berjalan bersamaan atau saat berpapasan dengan pejalan kaki yang lain. Tidak cu­kup sampai di situ, penting pula diperhatikan bagaimana agar kegiatan berjalan kaki bisa menjadi kegiatan yang nyaman dan menyenangkan. Pemilihan bahan material penutup permukaan jalan misalnya dapat dipilih bahan yang agak kasar dan tidak terlalu halus agar tidak menyebabkan insiden terge­lincir atau tersandung bagi pejalan kaki. Banyak material lokal yang mudah dirawat dan tahan terhadap berbagai faktor cuaca yang bisa dipilih, tanpa harus mengimpor dari luar.

Ketika kondisi trotoar nyaman dan aman untuk dilalui, pas­tilah masyarakat perkotaan yang melakukan proses berpindah (beraktivitas) dalam jarak dekat lebih memilih untuk berjalan kaki karena dianggap lebih ramah lingkungan dan lebih efi­sien. Bagi yang sadar lingkungan dan ingin mengurangi po­lusi udara, pastilah memilih berjalan kaki untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Menggunakan kendaraan motor misal­nya untuk kegiatan jarak pendek, tentu disadari bisa menam­bah jumlah kendaraan di jalan raya dan menambah kemacetan. Se­lain itu, fisik lebih sehat bila masya­rakat mau berjalan kaki ke tempat kerjanya.

Namun sayangnya, jalur pedestrian yang ideal selebar 2 me­ter itu sangat jarang kita temui di kota Medan. Kalau pun ada, biasanya berada di pusat-pusat perkantoran yang masya­ra­katnya sangat jarang ke sana kecuali para pekerja saja. Kondisi terbalik malah terjadi pada pusat-pusat keramaian se­per­ti pusat perbelanjaan, mal, plaza atau pasar modern maupun pasar tradisional. Trotoar dengan ukuran “mini” memang ada, tapi tunggu dulu, trotoar tersebut malah disu­lap jadi area parkir kendaraan karena ketersediaan lahan memang sangat terbatas.

Untuk membuat suatu kondisi yang nyaman dan aman bagi pe­jalan kaki di jalanan kota Medan memang cukup sulit. Kon­disi ini diperparah dengan aspek yang berkaitan dengan faktor alam, pe­ngaruh sinar matahari dan curah hujan yang sangat kuat di daerah tropis menjadi suatu faktor yang seringkali me­nyebabkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki, ditambah dengan faktor polusi udara dari asap pembuangan kendaraan bermotor. Belum lagi minimnya pepohonan atau sekadar bu­nga-bunga penghias jalan dan penetralisir polusi sangat jarang kita lihat. Jika pun ada, kondisinya banyak tidak terawat dan di­biarkan menjadi coklat akibat kekurangan pupuk dan ke­kurangan air.

Semuanya memang terletak pada keseriusan Pemkot Medan untuk dapat mewujudkan trotoar yang ideal dan bisa dimanfaatkan oleh warganya untuk beraktivitas. Jika kondisi trotoar memang tidak bisa diperlebar lagi, maka keberadaan pohon-pohon peneduh dari terik matahari dan hujan pun perlu menjadi prioritas pembenahan kondisi trotoar menuju ideal. Bisa pula membuat aturan bagi penduduk kota di sepanjang jalan besar ataupun kecil diwajibkan untuk menanam tanaman dari jenis yang bisa menyerap polusi udara. Tanaman kecil berupa lidah mertua, sangat ideal untuk ditanam di areal depan rumah penduduk karena tidak membutuhkan tempat yang tidak terlalu luas. Cukup beberapa pot kecil saja dan diletakkan di depan atau di dalam pagar.

Sebuah trotoar yang ideal pun tidak serta merta dapat ber­fungsi dengan baik bila tidak ada konektifitas atau ketersam­bungan trotoar dengan fungsi-fungsi publik lainnya seperti mal, sekolah, kantor, pasar dan lainnya. Jika ada keter­sam­bung­an, pasti masyarakat akan dengan senang hati meman­faat­kannya demi efisiensi dan penghematan. Halte bus pun harus terintegrasi dengan trotoar dan area parkir umum se­hingga penumpang tidak perlu harus menyambung kendaraan bila tujuan yang hendak dicapai hanya berjarak dekat. Keber­adaan halte bus pun harus dirancang agar tidak seluruhnya memakan jalur pedestrian dan memutus jalur trotoar, karena jelas diatur dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa pada area pedestrian tidak boleh ada yang menghalangi dalam bentuk bangunan atau fasilitas lainnya.

 Setidaknya, kita masih berharap pada Pemkot Medan agar lebih memerhatikan aspek aksesibilitas pada area pedestrian yang bisa diakses dan digunakan setiap orang apa pun kondisi fi­siknya. Mulai dari anak-anak hingga manula, dari orang sehat sampai orang sakit, ibu hamil, penyandang disabilitas seperti tuna netra, tuna rungu, pengguna kursi roda dan sebagainya. Faktor kemudahan menggunakan trotoar menjadi kunci di sini. Kondisi bangunan trotoar pun jangan terlalu tinggi sehingga menyulitkan para orang tua atau yang sedang sakit untuk me­naikinya, pun dikuatirkan ada yang terpeleset dan jatuh. Jika bagian trotoar memotong jalur masuk suatu area perkantoran, ha­ruslah dibuat landai dan tidak licin sehingga pejalan kaki merasa nyaman melewatinya.

Kita memang sangat menyayangkan kondisi hampir semua trotoar di jalanan kota Medan belumlah dapat disebut dalam kondisi ideal, karena tampaknya keberadaan trotoar masih di­pan­dang sebelah mata oleh pemangku kepentingan dan penata ruang kota. Namun kita tetap berharap Pemkot Medan mau men­curahkan segenap pikiran dan tenaganya untuk membuat kondisi pedestrian di kota ini menjadi lebih baik sehingga bisa dimanfaatkan juga sebagai ruang publik untuk interaksi sosial bagi warganya.

Sejatinya, pada trotoar tersimpan ba­nyak harapan masyara­kat urban untuk merubah wajah kotanya menjadi lebih baik. Yang dibutuhkan adalah kemata­ngan perencanaan dan pelak­sanaan mewujudkannya. Kita tunggu. ***

()

Baca Juga

Rekomendasi