Mencintai Tanpa Pertemuan

Oleh: Alda Muhsi

SEGALA yang ada dalam harapan adalah keniscayaan, saat kita mengerahkan seluruh energi untuk mencapainya. Memang akan ada yang menghalang, seperti bebatuan yang menyakitkan tapak kaki, hingga dinding tinggi yang membun­tukan jalan. Ketika mendapatinya apa lagi yang bisa dilakukan? Bukankah perjalanan tetap harus dilanjutkan? Harapan itu sebentar lagi menjadi nyata. Kau memilih berhenti atau mencari jalan lain?

Pagi-pagi sekali ponselku berdering. Ada yang mengirim pesan. Isinya kerin­duan.

“Tapi bagaimana mungkin kau rindu, sementara kita belum pernah bertemu.”

“Pernahkah kau saksikan pertemuan laut dan langit? Lalu tiba-tiba saja ada hujan.”

“Ah, kau ini pandai sekali berkilah.”

“Entah apa yang kau buat, aku benar-benar rindu.”

“Coba periksa hatimu, jangan-jangan rindumu salah alamat.”

“Tidak, rinduku benar tertuju padamu.”

“Atau barangkali ini yang disebut anomali rindu?”

“Anomali rindu?”

Aku tak membalas lagi. Segera kutele­pon dirinya untuk mengisahkan hal ini.

Sebuah rumah yang maha luas memiliki berpuluh-puluh kamar. Setiap kamar diisi oleh satu atau paling banyak tiga orang. Rumah itu milik seorang raja yang menampung seluruh keluarganya. Raja memiliki delapan putra-putri, yang masing-masing telah memiliki putra-putri pula. Sebagian putra-putri dari putra-putrinya sudah pula memiliki putra-putri. Jadi di rumah itu tinggallah 4 generasi.

Dari sekian banyak cucu dan cicitnya, jarang sekali mereka berkumpul bersama-sama. Hidup mereka diisi kesibukan masing-masing. Jam makan yang bergan­tian pun menjadi alasan mereka sulit bertatap muka. Bahkan Raja pun tidak hapal betul nama-nama cucu dan cicitnya. Kadang ia salah panggil, ketika ditegur, dalihnya beragam. Maklum sudah sepuh, biasa raja yang mengurus banyak rakyat, atau orang pintar memang sulit menghapal nama.

Zaman yang serba canggih ini semakin membuat mereka berjarak. Seperti terpisah ribuan mil lautan. Di sebuah papan ruang keluarga dipajang nomor ponsel masing-masing anggota keluarga. Niatnya untuk memudahkan komunikasi satu sama lain. Awalnya keadaan berjalan seperti yang diharapkan. Akan tetapi lama-kelamaan keadaan berubah. Rumah maha luas itu kini sepi dari suara-suara. Walau banyak penghuni, tapi seperti tidak ada siapa-siapa. Raja mulai kesulitan memecahkan persoalan ini.

Persoalan semakin merebak ketika sesama anggota keluarga hanya saling sapa lewat ponsel. Lewat aplikasi chatting yang canggih. Mereka tidak saling hapal wajah masing-masing. Tidak ada pertemuan baik di ruang keluarga maupun di meja makan. Sampai akhirnya puncak persoalan yang paling dahsyat adalah ketika di antara cicit raja memiliki perasaan saling mencintai.

“Bagaimana bisa?” potong perempuan itu.

“Cinta lahir dari kedekatan hati, bukan kedekatan tubuh. Cinta dapat menyapa walau dua orang tak saling pandang.”

“Apakah mereka tahu bahwa mereka bersaudara?”

“Tentu saja, dan kau tahu semakin lama perasaan cinta yang ada semakin tumbuh. Sejalan dengan itu pula mereka tak ingin untuk bertemu.”

“Kenapa?”

“Kau pernah dengar sihir sebuah pandangan? Sihir sebuah ucapan? Tentu akan sangat mendebarkan ketika keduanya bertatap muka dan bertukar suara.”

Perempuan di ujung telepon tak mengeluarkan suara. Ia terdiam beberapa detik.

“Hei, kau masih di sana?”

“Ya, tentu saja.”

“Lalu kenapa diam? Apa aku salah bicara? Apa ada yang tidak kau suka dari ucapanku?”

Aku terus berkata-kata tanpa dibalasnya. Telepon tak diputus. Kurasa suaraku terngiang-ngiang di telinganya. Mungkin ia berpikir bahwa aku sedang menerka isi hatinya, yang enggan bertemu sebab takut mencinta.

“Bulan depan aku menikah,” suaranya bergetar.

* Obelia, Juni 2018

()

Baca Juga

Rekomendasi