Liberalisasi Sektor Industri Strategis Melanggar UUD 1945

Analisadaily (Jakarta) - Rencana Pemerintah merelaksasi Daftar Negatif Investasi dengan mengeluarkan 25 bidang usaha dari daftar DNI, dengan kata lain terbuka 100 persen untuk Penanaman Modal Asing (PMA), mendapat tanggapan masyarakat dan umumnya menolak dengan bermacam alasan.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis, Wisnu Adi Wuryanto menegaskan, kebijakan Pemerintah di bidang investasi pada empat sektor, khususnya TI dan ESDM saat ini sudah sangat liberal.

“Hendaknya tidak perlu ditambah lagi bahkan mestinya dikurangi agar kedaulatan Bangsa terjaga. Dengan kepemilikan asing boleh mencapai 67 persen di sektor TI dan 49 persen di sektor energi seperti yang berlaku saat ini sudah sangat terbuka. Mestinya dikurangi agar anak negeri masih menjadi pemilik mayoritas di rumahnya sendiri,” kata Wisnu, Rabu (5/12).

Lebih lanjut Wisnu menjelaskan, harus diingat, Telekomunikasi dan Energy adalah cabang produksi penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak. Undang-undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenaga Listrikan serta Undang undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan demikian.

"Implikasi dari hal tersebut, Pemerintah harus memegang kendali atas arah perkembangan dan kepemilikan Telekomunikasi dan Energi guna memastikan sumber daya yang terbatas itu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Jelas ini merupakan amanah Pasal 33 UUD Tahun 1945,” terang Wisnu.

“Kita bisa bayangkan, apabila penyelenggaraan jaringan telekomunikasi tetap, jaringan telekomunikasi bergerak, penyelenggaraan jasa konten dan aplikasi, pengelolaan energi di hulu serta pengelolaan energi hilir sepenuhnya dikuasai asing, maka negara ini seperti menyerahkan kedaulatan industri strategis ke pihak asing. Karena kita tahu betapa pentingnya sektor telekomunikasi dan energi dalam menggerakkan perekonomian, kesejahteraan, sosial budaya, bahkan pertahanan keamanan negara,” jelas Wisnu.

Wisnu mencontohkan, apa jadinya apabila misalnya nomor-nomor telepon para pejabat negara terregistrasi di operator telekomunikasi yang seluruh sahamnya dimiliki asing 100 persen? Lebih jauh lagi, sektor energy yang menjadi kebutuhan vital rakyat ternyata dilayani oleh perusahaan asing, maka akan mengakibatkan negara dan rakyat kehilangan kedaulatannya.

Ketua FSP Serikat BUMN Strategis yang membawahi Serikat Pekerja di Telkom, PLN, PJB, Indonesia Power, Telkomsel, dengan anggota puluhan ribu karyawan BUMN ini kemudian menambahkan, kekuatan satu-satunya yang kita miliki dalam rangka mempertahankan kedaulatan adalah kepemilikan modal.

Saat ini, lanjutnya, ketergantungan Indonesia kepada asing dalam hal produk teknologi telekomunikasi dan energy sangat tinggi. Jaringan telekomunikasi yang tersebar di Indonesia, perangkat konstruksi dan pengeboran migas dapat dikatakan hampir seluruhnya adalah produk impor. Apa jadinya bila para produsen perangkat dengan teknologi tinggi tersebut dibolehkan memiliki modal sampai 100 persen saat mendirikan perusahaan jasa turunan produk-produk tersebut?

"Jika hal tersebut tetap dilaksanakan, mari kita tunggu hancur dan matinya perusahaan, baik BUMN maupun swasta nasional yang mengelola sektor sektor tersebut. Kondisi yang sangat Jauh dari cita cita ingin berdaulat di sektor telekomunikasi dan energi," ungkapnya.

“Khusus untuk sektor Telekomunikasi/ICT, saat inipun dengan pemodalan maksimal 67 persen asing, sumbangan kepada defisit neraca perdagangan kita di bidang ini sekitar Rp 2,3 triliun, itu karena kita belum bisa memproduksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan, harusnya pemerintah lebih berkonsentrasi untuk mendorong dan menumbuh kembangkan industri sehingga dapat mengurangi defisit, bukannya membebaskan kepemilikan sampai 100 persen kepada asing, yang pasti akan membuat defisit semakin membengkak karena impor akan semakin banyak,” tambah Wisnu.

Namun demikian Wisnu menyampaikan, Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis tetap mengapresiasi kepada Pemerintah yang telah membuka ruang diskusi untuk mempertimbangkan masukan dari para stakeholder Industri. Memperhatikan pentingnya dua sektor strategis di atas, maka mereka meminta kepada Presiden RI untuk mempertimbangkan kembali rencana relaksasi DNI 100 persen terhadap sektor energi dan telekomunikasi.

"Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis menilai bahwa kebijakan 100 persen Penanaman Modal Asing di Sektor Industri Strategis, untuk bangsa dan negara diyakini akan lebih banyak keburukannya dibanding kebaikannya. Bila hal tersebut tetap dilaksanakan, maka dipastikan kebijakan Pemerintah tersebut bertentangan dengan amanah konstitusi UUD 1945. Terkait hal tersebut, Federasi akan melakukan perlawanan terhadap kebijakan dimaksut," tandas Wisnu mengakhiri penjelasannya.

(RZP)

Baca Juga

Rekomendasi