Oleh: Budi Hatees. Laki-laki, barangkali, identik dengan senjata: tajam, runcing, panjang, pendek, yang bisa melesat seperti panah, atau yang bisa meledak seperti senjata api. Tidak hanya laki-laki di negeri ini, juga di negeri mana pun. Tak ada laki-laki yang tanpa senjata.
Setiap laki-laki yang memegang senjata, selalu ingin menunjukkan senjata yang dimilikinya kepada siapa saja. Sengaja atau tidak, siapa saja di sekitarnya akan tahu kalau ia memiliki senjata. Dengan begitu ia merasa bertambah gagah, berani, dan jantan. Ia pun menyukai kondisi di mana orang-orang menganggapnya gagah, berani, jantan, atau, malah, layak ditakuti.
Saya berteman dengan banyak laki-laki yang selalu membawa senjata. Salah seorang kawan saya bekerja sebagai pengusaha kontraktor. Ia termasuk pelaku usaha yang lebih banyak mengandalkan gertak ketimbang pengetahuan apalagi profesionalisme kerja. Ia punya proyek di lingkungan pemerintah daerah bukan karena pengalamannya, tapi karena ia sigap menalangi dana bila ada elite di pemerintahan yang butuh dana besar dan cepat. Karena itu, ia mendapat keleluasaan untuk memilih mengerjakan proyek apa saja sekalipun bukan spesialisasi usaha dari perusahaan miliknya.
Tiap kali kami bertemu kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing pertemuan itu selalu di tempat ramai. Ia datang sendiri dengan penampilan khas seorang pengusaha kontraktor di daerah; selalu penuh percaya diri karena di pinggangnya terselip senjata api. “Aku membelinya Rp. 40 juta. Itu termasuk murah,” katanya, suatu ketika, ketika saya bertanya untuk apa membawa senjata api.
Ia bukan orang tradisional, dan senjata api bukan senjata tradisional. Tidak ada suku di negeri ini yang menjadikan senjata api sebagai senjata kebanggaan warisan budaya. Senjata api kebanggaan laki-laki di negara lain sebagaimana laki-laki di Benua Amerika menyandang pistol sebagai simbol kejantanan. Banyak film produksi Hoollywood mengeksploitasi tradisi membawa senjata api dalam genre thiller. Kawan saya yang kontraktor tidak mirip cowboy, tapi lebih mirip agen 007 yang sedang menyaru jadi kontrator.
Suku-suku tertentu di dunia ini menyatakan eksistensi dirinya dengan senjata yang dipegangnya. Di negeri kita, senjata juga menjadi penanda suatu suku. Rencong identik dengan laki-laki Aceh, beberapa suku identik dengan badik, orang Dayak identik dengan mandau, dan orang Jawa identik dengan keris.
Senjata adalah warisan leluhur budaya dari suku-suku yang ada di negeri ini, satu-satunya warisan yang diwarisi para ahli waris tanpa merasa terbebani. Sebaliknya, para ahli waris merasa bangga dan mengkeramatkan warisan tersebut dengan menciptakan mitos-mitos agar kelestariannya dijaga. Mitos keris bisa terbang dikisahkan sebagai keris yang berisi, dan pemilik keris akan merawat kerisnya melebihi cara merawat diri sendiri. Mereka merawat keris berikut mantra-mantra atau jampi-jampi yang memungkinkan “isi” keris tetap bertahan. Orang dari kebudayaan berbeda akan menyebut sebagai sirik.
Tapi apakah budaya memiliki badik juga sirik. Senjata laki-laki di Lampung bernama badik. Badik itu, seperti halnya keris, adalah benda keramat. Sebut saja badik lado, sejenis senjata tajam berbentuk pisau yang matanya putih mengkilat. Bukan karena ketajaman mata badik itu yang membuat laki-laki Lampung ditakuti, melainkan pada tradisi yang menghidupi badik lado.
Senjata khas Lampung ini selalu disimpan di dalam rumah, di tempat yang rahasia. Dibungkus rapih dan tak akan pernah dipakai. Pada bilah besi badik lado ada racun ditanamkan. Racun itu mengikat pemiliknya. Apabila badik lado sudah lepas dari sarungnya, maka senjata itu harus ditusukkan atau disabetkan.
Ikatan laki-laki Lampung dengan badik lado bukan sebuah beban, melainkan kebanggaan. Badik lado menjadi warisan yang dijaga dan dilestarikan, dijadikan pengingat tentang betapa dasyatnya leluhur di masa lalu ketika menciptakan badik lado.
Berbeda halnya dengan warisan bernama kebudayaan yang tak benda, di mana setiap ahli waris budaya merasa dibebani untuk melestarikan warisan itu. Konon lagi untuk memikirkan kebudayaan guna mencari kemungkinan-kemungkinan kreatif dari warisan leluhur itu. Tidak heran bila banyak warisan kebudayaan yang bukan benda akhirnya punah.
Di lingkungan masyarakat Batak beradat Angkola, masyarakat yang tinggal di wilayah Tapanuli bagian Selatan, ada warisan budaya bukan benda yang disebut sappal bibir. Sappal bibir adalah hukum adat yang mengatur masyarakat agar tidak sembarangan bicara tentang orang lain, menuduh, memfitnah, atau yang kita sebut hari ini sebagai hoax. Siapa saja yang bicara sembarangan hingga merugikan orang lain, maka pihak yang dirugikan dibolehkan menuntut keadilan ke lembaga sidang adat.
Jika lembaga sidang adat menyetujui gugatan si pengugat, maka akan diberikan sanksi kepada si tergugat dalam bentuk menyembelih hewan ternak, dan hewan yang disembelih itu dipakai untuk mangupa-upa tondi (memberkati lahir dan batin) si penggugat. Jika akibat perbuatan si pelaku berdampak serius yang merusak hamoraon (marwah), hasangapon (nama baik), dan hagabeon (ketenangan hidup) dari si penggugat, sanksi yang diberikan berupa menyembelih seekor kerbau.
Dalam adat masyarakat Batak Angkola, bila ada kerbau yang disembelih untuk mangupa-upa, wajib hukumnya mengundang seluruh warga dan kerabat dari seluruh daerah secara terbuka yang ditandai dengan menegakkan bendera adat. Bendera adat yang dikibarkan berarti akan digelar pesta adat yang disebut horja siriaon (pesta bahagia), lengkap dengan semua tata krama adat serta tor-tor (tari tradisional) dan iringan musiknya. Semua biaya yang keluar untuk menggelar pesta adat itu menjadi beban si tergugat.
Sanksi sappal bibir bisa membuat si tergugat jatuh miskin secara ekonomi. Keluarga si tergugat juga kehilangan kehormatan, sehingga tak sedikit dari mereka yang memilih keluar dari kampung. Setiap orang akhirnya ketakutan menjadi tidak terhormat karena gugatan sappal bibir, dan hal itu membebani mereka. Hidup terbebani oleh rasa takut membuat setiap orang menolak menerapkan hukum adat sappal bibir.
Dari cerita tentang dua warisan leluhur budaya itu, bisa disimpulkan bahwa warisan bukan benda cenderung akan punah karena para ahli warisnya merasa tidak punya sukup alasan untuk melestarikannya. Mereka baru akan melestarikan warisan budaya apabila warisan itu bisa dibanggakan, ditonjolkan, dan memberi keuntungan bagi dirinya.
Berbeda halnya dengan warisan budaya berupa benda. Para ahli waris selalu berusaha melestarikannya, bahkan, mengupayakan apa saja agar warisan itu bukan hanya menjadi kebanggaan dirinya. Untuk itu, para ahli waris sering menciptakan mitos yang kadang tidak ada kaitannya dengan benda warisan budaya itu. Sering, mitos yang diciptakan malah membuat warisan budaya itu kehilangan nilai-nilai yang sesungguhnya.
Belakangan, ada kecenderungan di kalangan ahli waris budaya untuk melakukan klaim-klaim budaya atas warisan budaya berupa benda. Di lingkungan masyarakat Batak beradat Mandailing, ada beberapa warisan budaya berupa benda yang diklaim sebagai warisan kebudayaan khas masyarakat Mandailing seperti kuliner sambal tuktuk. Klaim yang diajukan ke pemerintah melalui Departemen Kebudayaan itu membuat sambal tuktuk menjadi khas produksi budaya masyarakat Mandailing.
Sambal tuktuk secara harfiah berarti sambal yang cara pembuatannya ditumbuk. Hasil akhirnya berupa sambal yang digiling bersama ikan asin panggang, diberi perasan jeruk, irisan bawang merah, dan dimakan mentah-mentah bersama lauk. Sambal seperti ini ditemui di banyak lingkungan kebudayaan di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di lingkungan masyarakat Lampung, sambal seperti ini melengkapi kuliner seruit. Di lingkungan masyarakat Dayak, sambal seperti ini dinikmati bersama ikan panggang.
Klaim masyarakat Mandailing atas sambal tuktuk merupakan pernyataan tentang asal mula sambal tuktuk merupakan warisan budaya benda masyarakat Mandailing. Padahal, hampir di semua lingkungan masyarakat Batak di Provinsi Sumatera Utara, tradisi kuliner sambal sejenis bisa ditemukan dengan mudah dan dengan nama yang berbeda-beda. Di dalam sambal itu, nyaris tidak kita dapatkan nilai apapun selain urusan kenikmatan makan.
Berbeda halnya dengan kuliner rendang daging dari lingkungan masyarakat Minangkabau. Masakan khas masyarakat yang tinggal di Provinsi Sumatera Barat ini, merekam segala tradisi budaya masyarakat Minangkabau. Minangkabau identik dengan rendang. Rendang adalah jenis kuliner yang pembuatannya membutuhkan waktu lama, dan prosesnya seperti memadatkan segala yang cair. Ada filosofi atau nilai budaya yang diwariskan, tidak sekadar perkara selera makan. ?. ***
Penulis adalah peneliti di Sahata Institute.