Melawan Narasi Kampanye Politik Ketakutan

Oleh: Fadil Abidin. Bagaimana bisa seorang Adolf Hitler ter­pilih sebagai Kanselir Jerman pada ta­hun 1933? Hitler adalah seorang man­tan pecatan militer, per­nah menjadi nara­pi­dana kasus makar, dan sangat mem­ben­ci ras lainnya selain bang­sa Arya Jer­man. Hitler selalu mem­pro­pagandakan ke­takutan akan dominasi Ame­rika Se­rikat yang kapitalis dan Ru­sia yang komunis. Hitler juga selalu men­cip­takan narasi bahwa Yahudi ingin me­mulai perang dan memusnahkan bangsa Jer­man. Kampanye yang menyulut ke­ta­kutan ini, berhasil meningkatkan elek­ta­bilitas Partai Buruh Jerman (Nazi) se­hingga Hitler berhasil meraih kekuasaan.

Tidak hanya kaum Nazi yang fasis mempropagandakan kam­panye ketaku­tan. Orang-orang komunis juga menggu­na­­kan cara yang sama. Vladimir Lenin dan Josef Stalin selama memimpin Uni So­vyet juga menggunakan politik keta­ku­tan. Para teroris yang mengaku jihadis dari Taliban, Al-Qaeda, hingga ISIS juga mem­pergunakan hal yang sama.

Bagaimana di negara-negara kapita­lis? Ke­menangan Donald Trump di pil­pres Ame­rika Serikat dan makin mening­kat­nya elek­tabilitas partai-partai sayap kanan di Ero­pa. Peng­gunaan ketakutan se­bagai ba­gian dari kampanye politik sejalan dengan tren global untuk meraih kemenangan.

Brazil juga melangkah hal yang sama. Jair Bolsonaro dari partai sayap kanan ter­­pilih sebagai presiden. Bolsonaro yang juga dikenal sebagai Trump dari Bra­zil, saat kampanye ia dibimbing oleh Steve Bannon, yang merupakan konsul­tan politik Donald Trump di kampanye Pilpres AS lalu.

Politik Ketakutan

Sebagai penggemar film, saya teringat "Our Brand is Crisis" film tahun 2015 meng­gambarkan bagaimana narasi kam­panye politik ketakutan itu bisa berhasil. Film yang merupakan refleksi dari dokumenter pemilihan Presiden Bolivia 2002. Dikisahkan, politisi Bolivia yang tidak populer, Pedro Castillo, merekrut fir­ma konsultan politik dari Amerika Se­rikat. Kon­sultan politik ini sebenarnya muak dengan karakter Castillo, dan tak yakin tokoh itu bisa dipoles. Castillo ada­lah kartu mati. Namun, berkat kecer­di­kan konsultan, Castillo mampu mem­balikkan keadaan dan akhirnya meme­nang­kan pemilihan presiden.

Strategi apa yang disampaikan kon­sul­­tan politik tersebut? "Mulai sekarang, bran­ding kita adalah krisis." Mereka meya­kinkan kepada rakyat bahwa Boli­via berada di ambang krisis, rakyat hidup susah, dan harga-harga melambung ting­gi. Maka di setiap kampanye, tim ini se­lalu menggariskan isu utama terkait an­ca­man krisis dan selalu membuat na­rasi agar bisa menakut-nakuti rakyat. Pada akhir­nya, Castillo terpilih menjadi presi­den berkat jualan krisis dan ketakutan ini.

Apakah "jualan ketakutan" seperti di film "Our Brand is Crisis" tengah di­pakai tim kampanye pilpres saat ini? Ja­ngan-jangan, tim kampanye yang selalu membuat narasi ketakutan kepada rakyat saat ini masih sedang sibuk bekerja? Sehingga pantas saja jualan krisis dan ketakutan kian laku keras di negeri ini. Kini, isu yang sedang berkembang adalah jualan ketakutan.

Penciptaan rasa takut ini bukanlah hal yang baru. Dalam politik, rasa takut masyarakat seringkali diolah dan dikon­versi menjadi suara elektoral oleh sejum­lah politikus untuk meraih kekuasaan. Hal ini dilakukan oleh Donald Trump, de­ngan me­­nebar ketakutan terhadap te­naga kerja asing (warga imigran Muslim, Latin, kulit hitam, dan warga minoritas AS lainnya) yang dianggap telah men­curi lapangan pe­kerjaan warga kulit putih Ame­rika Se­rikat, hingga ketakutan ter­hadap Tiong­kok yang disebut Trump sebagai pelaku utama yang meng­ge­ro­goti ekonomi AS. Isu-isu ini berhasil mem­­bawa Trump meraih kursi kekua­saan. Padahal data sta­tistik menyatakan bah­wa AS baik-baik saja. Tapi Trump de­ngan tim kam­pa­nye­nya berhasil me­ya­kinkan rakyat bahwa kon­disi AS semakin memburuk dengan meningkatnya keja­ha­t­an, kemiskinan, pengangguran, dan kri­minalitas.

Kampanye Pilpres

Persepsi akan ketakutan dan pesimis­me dalam benak masyarakat lebih ba­nyak diciptakan oleh narasi-narasi dan dis­kursus media, terutama yang direpro­duk­si oleh tim kam­panye po­litik. Politik ke­takutan inilah yang ber­potensi mem­bawa kondisi saat ini pada apa yang dikatakan Graham Allison sebagai Thucydides Trap dimana ketaku­t­an masyarakat yang direkayasa diguna­kan sebagai instrumen untuk meraih ke­kua­saan. Seperti apa kata Thucydides, bah­wa ketakutan adalah unsur pemben­tuk kekuasaan, Fear is the Source of Power.

Fenomena Pilpres 2019 harus diakui telah mengarah pada penggunaan politik ke­takutan (politics of fear). Di Indonesia, politik ketakutan ini tampaknya telah di­impor dan dijadikan strategi politik kam­panye pilpres. Propaganda 'antek PKI', 'antek kapitalis', 'antek asing, asong', 'In­donesia bubar', 'negara di am­bang ke­han­curan dan kemiskinan', 'rak­yat 99 persen hidup pas-pasan', dan seba­gai­nya adalah na­rasi kam­panye yang khas.

Propaganda-propaganda yang berba­sis kebencian terhadap identitas agama dan etnis tertentu juga semakin mening­kat. Kebencian ini sudah muncul dalam ruang diskursus publik di jalanan, kedai kopi, pasar, rumah ibadah, media sosial, hing­ga media online. Sehingga, tidak he­ran jika istilah 'fearmongering' pun mun­cul. Secara etimologi dalam Kamus Ox­ford, fearmongering dimaknai seba­gai "the action of deliberately arousing pu­blic fear or alarm about a particular issue". Istilah tersebut menunjukkan ada­nya praktik retorika pada level publik yang membangkitkan sentimen ketakut­an atas hal tertentu.

Kampanye yang menakut-nakuti ini pada awalnya hanyalah imajinasi. Tapi ka­rena sering diucapkan terus-menerus, maka imajinasi atas ancaman ini bisa men­ciptakan ketakutan kolektif yang akan membentuk persepsi tertentu untuk me­yakini bahwa itu benar. Karena ma­nusia bersifat sosial dan relasional, maka ke­takutan pun bisa menular. Sebagai con­toh, anda mendengar­kan cerita tentang adanya hantu di sebuah rumah kosong, orang sekampung yang mendengarnya lama-lama akan ikut mera­sakan takut. Ketakutan tercipta dari testimoni subjek­tif dari fan­tasi orang-orang yang meya­ki­ninya. Hal ini kemudian me­nye­babkan mun­culnya rumor yang mana sering kali men­­dramatisasi ancaman dibandingkan kondisi aktualnya.

Kondisi aktualnya, memang masih ba­nyak orang miskin di Indonesia. Tapi ti­dak­lah sampai 99 persen, misalnya. Te­naga kerja asing memang banyak di In­donesia, tapi tidaklah seba­nyak 10 juta. Ne­gara memang banyak berutang untuk mem­­biayai pembangunan, tapi tidaklah akan sampai membuat bang­krut. Barang-barang impor memang banyak beredar di Indonesia. Tapi selain impor, negara juga melakukan ekspor, jadi tidak logis me­larang impor sama sekali. Kampanye po­litik memang kerapkali mendra­ma­ti­sasi dan memanipulasi keadaan.

Konsultan politik atau penasehat po­litik kini menjadi ladang bisnis. Bahkan kon­sultan politik dari Amerika bisa dipekerja­kan di Indonesia untuk kampa­nye pilpres. Politik ketakutan dengan men­jual ketakutan tampaknya tengah menjadi tren global. Siapa yang sebenar­nya yang memproduksi, siapa yang men­jual, dan siapa sebenarnya saat ini yang se­­dang membeli politik ketakutan ini? Ba­­nyak dari kita yang tak tahu ja­wa­bannya. Apakah politisi sontoloyo yang me­nunggangi hantu genderuwo, politisi yang suka menakut-nakuti rakyat?

Jika kita membaca novel Pramudya Ananta Toer "Arok-Dedes" kita seperti melihat fenomena yang terjadi saat ini ternyata identik dengan perebutan kekuasaan di Kerajaan Singasari ratusan tahun lampau. Adanya campur aduk antara politik, kekuasaan, agama, dan ketakutan yang diciptakan. Ujung-ujungnya adalah harta, tahta, dan wanita.

Lalu bagaimana kita melawan politik ketakutan ini? Ketika sebuah tren global tengah mewabah memang akan sangat sulit melawannya. Manusia adalah makhluk sosial dan relasional, maka ketakutan ini pun bisa menular. Maka cara yang terbaik adalah membentengi diri dari ketakutan-ketakutan agar tidak ikut tertular. Kita diciptakan sebagai manusia yang bebas, bebas berpikir, bebas berpendapat dan bebas bertindak. Jangan biarkan ketakutan merebut hal tersebut dalam diri kita. Kepada para politisi berikanlah kepada rakyat narasi kampanye politik harapan, bukan politik ketakutan. ***

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.

()

Baca Juga

Rekomendasi