Cari Ibrah dari 1001 Kisah

Banyak kisah kuno yang saat ini mu­lai diangkat kembali, yang tetap berta­han dan masih disukai hingga sekarang salah satunya Kisah 1001 Malam. Buku Kisah 1001 Malam Jilid 1 ini merupakan karya dari pengarang Muslim terkemuka, Abu Abdullah Muhammad Al-Jihsiyari dari total 8 jilid.

Buku ini merupakan terjemahan dari kitab Alfu Layla wa Layla, sebuah kitab epik legendaris nan fenomenal.

Sejatinya Kisah 1001 Malam merupakan kumpulan kisah berbingkai yang sambung-menyambung dari malam pertama sampai malam keseribu satu dan menam­pilkan beragam tokoh yang berbeda-beda pada tiap malamnya. Ada yang berbentuk legenda, cerita rakyat, dongeng, fabel, roman maupun fantasi dengan bera­gam latar seperti Baghdad, Basrah, Kairo, Damaskus, Tiongkok, Yunani, India dan Tur­ki yang muncul pada abad ke-9 M. To­koh-tokoh yang diceritakan-pun ada ya­ng tokoh nyata (misalnya Khalifah Ha­run ar-Rasyid, Abu Nawas, Shirin atau Zu­baidah) dan ada pula tokoh khayal (misalnya Jin Ifrit, Ali Baba, Aladin atau Sinbad).

Ratu Syahrazad sebagai sang narator dari kitab Kisah 1001 Malam ini mendongengkan kisah setiap malam di hadapan Raja Syahrayar, seorang raja penerus Dinasti Sa­saniyah yang adil lagi bijaksana. Tetapi, tatkala permaisuri ketahuan berselingkuh de­ngan budaknya saat ia pergi berburu, ia-pun beru­bah me­njadi raja yang bengis. Raja berjanji akan menikahi seluruh gadis dan akan membunuhnya tepat setelah malam pertama. Singkat cerita, Syah­razad-lah ‘tumbal terakhir’ yang dijadikan sebagai permaisuri Raja. Sanggupkah Syahrazad dijadikan permaisuri kerajaan? Akankah ia juga ikut terbunuh setelah malam pertama? Dan bagaimanakah ke­lanjutan narasi kehidupan Syah­razad? Membaca buku Ki­sah 1001 Malam akan menja­wab semua pertanyaan itu de­ng­an memuaskan.

Buku ini merupakan besutan terbaru dari penerbit DIVA Press. Bahasa yang digunakan dalam buku ini begitu mudah dibaca dan dipahami juga seakan dibuat penasaran akan kelanjutannya. Dalam penceritaannya, ada yang menggunakan sudut pandang “orang pertama”, “orang kedua” atau  “orang ketiga”. Penulisannya juga unik ka­rena dibungkus dalam bentuk puisi, la­gu, prosa atau surat. Dalam seluruh tek­nik penceritaan dapat dikatakan baik dan sebagai karya klasik yang memiliki ru­ang lingkup yang terbilang lengkap. Te­tapi, banyak dari akhir cerita ini yang cen­derung ganjil ketimbang ajaibnya. Tek­nik penceritaannya memang menarik di awal, tetapi semakin ke belakang sema­kin monoton.

Terlepas dari kekurangan tersebut, bu­ku ini  layak dibaca oleh para generasi mi­lenial karena memiliki makna yang men­dalam untuk dapat dijadikan ibrah dalam ke­hidupan.

Peresensi: Fenny Ade Annisah, mahasiswa Ekonomi Islam FEBI UIN Suma­tera Utara.

()

Baca Juga

Rekomendasi