Metafora Sapi

Oleh: Azmi TS.

SAPI tak hanya dimaknai se­bagai hewan peliharaan ter­nak, juga telah berubah menja­di identitas senirupa. Mulai da­ri penciptaan k­arya lukisan, hingga patung merefleksikan be­­ragam metafora tentang sapi itu sendiri. Be­­gitu pula pelukis dan pematung melihat ob­jek sa­pi secara visual mengisah­kan ke­de­katannya dengan ma­nu­sia.

Wilayah nusantara begitu banyak dihuni oleh etnis ini bi­sa didapat berbagai identitas budaya tentang sapi dan manu­sia. Keakrab­an orang Madura terhadap sapi begitu unik, hing­ga menjadi bagian keluar­ga. Tak heran kan­dang sapipun di tempatkan istimewa di be­­ran­da rumahnya. Tujuannya agar sapi te­tap bisa di awasi da­ri depan bagian utama ba­­ngu­nan rumah tersebut.

Keberadaan sapi dalam ke­budayaan Madura juga banyak ditemukan dalam bentuk cerita lokal, pepatah hingga ukiran kayu. Sapi jantan yang punya tanduk panjang melengkung banyak menghiasi dekorasi ru­mah tradisional. Madura juga punya seni pertunjukan aduan balapan (karapan) sapinya.

Dahulu masyarakat Madu­ra mengadakan upacara aduan sapi setelah musim kemarau ke musim hujan. Aktivitas ini bahagian dari acara  ritual un­tuk memohon kesuburan tanah untuk panen yang berlimpah di tahun berikutnya. Pa­da masa kini sudah ada per­geseran fungsi dari simbol kebudayaan ke simbol ekspresi kekuasaan lelaki.

Pergeseran fungsi esensial statis (tetap) ke arah esensial non statis (berubah berdasar kan pemegang kendali kekua­sa­an dan ke­pen­tingan. Ide pen­ciptaan karya bertema­kan adu­an sapi atau karapan sapi be­gitu elok ter­lukis. Karya luki­san S. Toyo (Karapan Sapi, 1991) memperlihatkan betapa sapi sedang ber­pacu di bawah kendali sang joki.

Roediyat Martadiredja ber­temakan Ka­rapan Sapi (1968) dilukis dengan teknik go­resan warna. Lukisan ini menam­pak­kan kesan aduan sapi diga­rap dengan menon­jol­kan garis nan tegas, tetapi penuh dinami­ka. Suatu pertarungan yang menguras tenaga sang sapi, un­tuk meraih juara terpapar me­lalui irisan-irisan garis.

Konsep karya kedua pelu­kis ini menun­juk­­kan keperka­saan sapi jantan dengan pres­ti­se lelaki Madura. Karya seni patung Ivan Sagito tentang sim­­bol sapi sebagai sapi seu­tuh­­nya. Patung yang terbuat da­ri perak dan tembaga terse­but betul-betul realistis. Ivan sedikit bereksprimen dalam hal bentuk di mana ia melukis di kanvas, coba dipindah­kan­nya ke bidang tiga dimensi.

Tetap saja Ivan tak mau me­ninggalkan karakternya yang asli yakni surealisme, begitu kentara dalam karya seni patungnya. Kali ini Ivan menyadari keterbatasan ruang dimensi patung berbeda de­ngan dimensi kanvas. Akhir­nya karya patung sapinya tak sepenuhnya utuh, namun deta­il lekak-lekuk kulit sapi begitu mirip ukuran aslinya. Tak ba­nyak pematung yang memfa­vo­rit­kan sapi sebagai idiom ga­rapannya termasuk Agape­tus A. Kristiandana.

Narasi yang dihadirkan sung­guh meng­go­da imajinasi ketika melihat seni patung sa­­pinya. Keberanian menempel­kan lurik sapi yang berwarna ekstrim itu hendak meng­­gugah perasaan. Sapi gendut sebagai me­­tafora yang subur, sehat, gemuk dan cu­kup tersedia susu yang bisa dimanfaatkan. Ter­­le­pas dari gaya ungkapan pe­ma­tung dan pe­lukis berksarya di atas, telah melalui pro­ses panjang pengekalan hidup, dan olah rasa.

Karya lukisan dan patung sapi bagaikan suatu artefak yang secara historik punya ke­dekatan. Keintiman perupa kepada benda-benda hidup dan mati telah tersublimasi men­­jadi bahasa visual. Seni­man menjadikan pro­ses pan­jang dalam mengenali benda-ben­da itu, melahirkan suatu narasi hingga me­tafora sapi.

()

Baca Juga

Rekomendasi