Mengganti Guru dengan Robot

Oleh: Rinto Tampubolon

"ROBOT akan menggantikan guru sebelum 2027" ungkap Anthony Seldon, pakar pendidikan Inggris. Seldon menyam­pai­kan hal yang mengejutkan ini di Festival Sains Inggris (the British Science Festival) September 2017 lalu. Pernyataannya dimuat di sebuah situs bernama futurism.com akhir tahun lalu. Itu artinya, kalau ramalannya betul, maka kita akan menyaksi­kan dalam 10 tahun ini revolusi pendidikan yang absurd! Ba­gai­mana tidak, anak-anak kita akan diajari bukan oleh manusia melainkan robot.

Sebelum saya membaca berita ini, saya sangat berkeyakinan bahwa hanya gurulah pekerjaan yang tidak akan mungkin di­gantikan oleh robot di masa depan. Pasalnya, proses pen­di­dikan tidak hanya sebatas mem­peroleh pengetahuan akademis me­lain­kan proses membentuk karak­ter manusiawi melalui interaksi alamiah antara guru dan anak yang juga sama-sama manusia. Robot tak akan mungkin bisa mengajarkan apa itu simpati, empati, kesedihan, sukacita, tawa, bahagia, dan emosi lainnya yang hanya manusia bisa menga­laminya. Bagaimana pula robot bisa mengakomodir cara belajar anak yang beragam, menghadapi tuntutan orang tua, merancang program yang akan dilakukan esok hari, dan peker­jaan lainnya yang menuntut kecer­dasan emosional lainnya?

Namun, setelah membaca lebih dalam penjelasan Seldon dan juga menyaksikan fenomena terkini ten­tang perkembangan Artificial Intelli­gent (kecerdasan buatan manusia), muncul se­dikit keyakinan bahwa robot menjadi guru bisa saja menjadi keniscayaan.

Adapun yang menjadi alasan mengapa robot diperlukan menggan­tikan manusia di dalam kelas dijelas­kan sebagai berikut. Pertama, UNES­CO mencanangkan sebuah program pengentasan kemiskinan melalui pemerataan akses dan kuali­tas pendidikan sebelum 2030. Target utamanya adalah pendidikan dasar dan menengah gratis dan akses ter­hadap fasilitas pendi­dikan yang terkini serta pengajaran dari guru yang berkualitas.

Tantangannya adalah tidak semua negara akan bisa men­capai target tersebut. Pasalnya lebih dari 70% anak yang tinggal di Asia Tenggara dan Afrika Sub Sahara putus sekolah (Data UNESCO 2014). Masih di negara-negara tersebut, kebanyakan sekolah belum dialiri listrik ataupun air bersih ditambah sekitar 26% (Asia Tenggara) dan 56% (Afrika Sub Sahara) guru belum profesional. Singkatnya, untuk mencapai tujuan besar tersebut, dunia sangat mem­butuhkan banyak guru profesional. Itulah sebabnya terpikirkan untuk menggunakan guru robot untuk mengisi kebutuhan tersebut.

Kedua, guru robot punya banyak kelebihan dibanding ma­nu­sia. Misal­nya, kita tidak perlu menggajinya setiap bulan. Dana untuk menggaji guru bisa digunakan untuk mening­katkan fasilitas sekolah dan memberi subsidi uang sekolah anak (efi­siensi ala kapitalis). Selain itu, robot juga tidak perlu mengikuti program sertifikasi guru yang menguras banyak tenaga dan dana. Cukup melakukan Upgrade program, maka robot akan segera tahu apa yang akan diajarkan. Guru digital (robot) juga tidak perlu cuti dan tidak akan terlambat ke sekolah. Admin cukup mengunggah bahan ajar apa saja dan sistem tidak akan pernah salah. Jika robotnya diprogram dengan benar, maka robot bisa mengajar tanpa memandang status sosial, gender, ras, kepribadian tertentu, dengan kata lain akan sangat objektif.

Lantas, apakah alasan-alasan di atas cukup kuat membuat kita siap menggunakan robot untuk mengajar dan mendidik anak-anak kita?

Kalaupun mungkin, di Indonesia, pemanfaatan robot seba­gai guru di sekolah masih jauh dari angka yang diprediksi Anthony Seldon, yakni tahun 2027. Hal ini disebabkan oleh masih belum meratanya pembangu­nan di setiap provinsi. Pemerintahan Jokowi memperkirakan, bila ekono­mi kita terus membaik, maka Indo­nesia akan menjadi negara maju di tahun 2045. Penyebab lainnya ba­rang­kali karena perkembangan tek­nologi robotik kita masih sangat lam­bat. Bila saja penggunaan guru digital menjadi tren di masa men­datang, maka butuh ang­garan yang sangat besar untuk mengimpor robot terse­but dari negara maju.

Namun, yang menjadi pertanyaan penting adalah apakah kita memang setuju menggunakan robot sebagai guru demi menjadi negara maju dan menjawab target dari UNESCO di tahun 2030 mendatang? Saya sendiri berpendapat bahwa penggunaan robot bukanlah solusi terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita di masa mendatang. Saya masih berkeyakinan bahwa manusia akan jauh lebih baik membentuk karakter manusiawi anak-anak kita dibanding mesin digital yang luar biasa canggih itu.

Prioritas utama

Dengan demikian, negara (baca: Pemerintah) mau tidak mau harus menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama dari strategi nasional. Itu artinya, semua elemen pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan masyarakat harus bersatu me­wujud­kan pendidikan yang merata dan ber­kualitas. Pe­merintah juga harus mencanangkan program-program prioritas untuk pendidikan sampai ke pelosok daerah, sama halnya dengan pembangunan infrastruktur dan pariwisata yang sedang menggelora saat ini.

Bentuk kongkrit program tersebut bisa dilihat dari berapa juta sekolah yang fasilitasnya direnovasi dan diba­ngun, berapa juta guru pro­fesio­nal yang harus disekolahkan atau dilatih, berapa ratus perguruan tinggi penghasil guru yang harus di­tingkat­kan mutunya sampai diakui dunia internasional dalam waktu kurang dari 20 tahun ini.

Revolusi pendidikan tidak melulu terletak pada perubahan kurikulum. Sarana dan prasarana yang men­dukung beserta sum­ber daya manu­sianya juga harus dipersiapkan de­ngan matang. Dengan demikian, bila kita tidak ingin robot yang mengajar dan mendidik anak-anak kita di kelas mereka, maka butuh komitmen dan pengorbanan yang sangat besar.

***

* Penulis adalah Guru Bahasa Inggris SMA Unggul Del

()

Baca Juga

Rekomendasi