Difteri, Penyakit Re-Emerging

Oleh: dr. Husin Rotan, MKT.

Difteri merupakan infeksi pada saluran pernafasan atas (nasofaring) dan kulit disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae.

Penyakit re-emerging merupakan pe­­nyakit (infeksi) yang muncul kem­bali setelah terjadi penu­runan yang sig­nifikan atau penyakit yang sebe­lum­nya pernah ada dan sekarang mun­­­cul kembali dengan pe­ningkatan yang cepat. Dif­teri dapat menyebab­kan simptom respiratorik dan non-res­pi­ratorik (kulit). Jenis (strain) tok­sigenik Corynebacterium diphtheriae memproduksi toksin protein meng­akibat­kan toksisitas sis­temik, mio­karditis dan poli­neuropathi.

Difteri berasal da­ri bahasa Yunani “diphthe­rite” berarti lapisan kulit. Penyakit difteri diperkirakan sudah ada pada abad ke-5 sebelum Masehi. Kuman penyebab difteri di­te­mukan di tahun 1882 oleh Edwin Kleb. Se­lama tahun 1735-1740, New England dan Atlantik bagian Tengah per­nah dihebohkan oleh pe­nyakit yang menyerang teng­gorokan, di­deskripsikan ham­pir keseluruhan di­pas­tikan difteri, penyebab kematian le­bih dari 20% dari populasi di ba­wah 15 tahun. Tahun 1856 oleh Vic­tor Fourgeaud melaporkan epidemi difteri di California. Tahun 1882 oleh Edwin Kleb meng­iden­tifikasi bakteri dan 2 tahun kemudian Loeffler mam­pu mengisolasikan bakteri, bak­teri tersebut dinamai Klebs Loeffler bacterium, sampai se­karang dikenal se­ba­gai Co­rynebacterium diphtheriae.

C.diphtheriae merupakan bakteri batang, gram positif, tidak berkapsul, ti­dak mem­punyai alat gerak dan tidak mampu membentuk spora. C.dip­htheriae mudah dite­gak­kan me­lalui isolasi selek­tif yakni tellurite, colistin dan asam nalidiksi, untuk mem­bedakan organisme lain di faring. Bakteri difteri secara fenotif saat diisolasi dibeda­kan non-toksigenik (tox-) dan toksigenik (tox+). Uchida dan Pappenheimer menjelas­kan bah­wa corynebacterio­phage beta mem­bawa (carrier) gen tox, menandakan tok­sin difteri. Corynebac­te­riophage bertanggung jawab dalam toksigenik di saat kon­versi tox- C.diphtheriae ke fenotif tox+ , sebagai me­kanisme patogenik se­lama terjadi infeksi pada manusia.

Ditinjau dari patogenesis dan sistem imun, toksin diphteri yang dihasilkan oleh tox+ C. diphtheriae me­rupa­kan faktor virulensi primer pada manifestasi klinis pe­nyakit, tok­sin yang dihasil­kan berupa lesi pseu­domem­bran dan masuk ke dalam pem­­­buluh darah serta didis­tribusikan ke sistem organ tu­buh, berikatan de­ngan sel re­septor permukaan dina­ma­­kan heparin-binding epidermal growth factor-like sebagai prekursor.

Lalu menerobos sisto­sol (sel eu­kariotik) dan meng­ha­­­silkan inhi­bisi irre­ver­sibel sintesa protein de­ngan NAD+-dependent ADP-ribo­sylation pada elogation factor2 (EF2) mengakibatkan kematian sel. Pada tahun 1926, oleh Ramon dari Pasteur Institusi menemukan for­malinisasi tokin difteri dihasilkan strain non tok­sin dengan immunogenik tinggi tok­soid difteri (antibodi) sebagai tok­sin neutralisasi dan sebagai preventif penya­kit.

Di tahun 1930, immuni­sa­si (dif­teri toksoid) massal pada anak-anak dan dewasa yang rentan di Amerika Se­ri­kat dan Eropa. Secara pato­logis me­liputi ulkus mukosa de­ngan lapi­san pseudomem­bran ter­susun atas fibrin dan neutrofil, secara progresif pseudomembran berwarna abu-abu, abu kehijauan dan nekrosis. Ulkus dan pseu­do­membran dapat menga­ki­bat­kan difteri respiratorik berat, meluas dari faring sampai bronkhial sehingga terjadi obstruksi pernafasan nan fatal.

Manifestasi klinis pada difteri res­piratorik, berdasar­kan pada sakit teng­gorokan yakni demam di atas 380C, tonsil membesar dan terjadi perlengketan, suara serak, kesulitan menelan, kesusahan bernafas disertai pernafasan cepat, limfadenopathi, dan adanya lapisan pesudomem­bran. Bila adanya pembe­sar­an leher (bull neck) dan sulit bernafas sebagai peri­ngatan (alarm) bahwa progesitas pe­nyakit berlanjut dan prognosis jelek.

Manifestasi sis­temik dari toksin difteri dapat menye­babkan kelema­han diakibat­kan neurotoksisitas dan mio­karditis. Difteri cenderung pada anak-anak, masa inku­basi 2-5 hari, dengan variasi berbeda tergantung pada lo­kasi pseudomembran. Mem­bran berwarna putih-abu, karakte­ris­tik infeksi diaki­bat­kan efek dek­struksi toksin pada sel epitel. Mem­bran ter­susun atas penggumpalan leu­kosit, bakteri, debris sel dan fibrin, terjadi perleng­ket­an kuat dan terjadi penda­rahan bila membran tersebut di angkat.

Difteri kutaneus, saat ini lebih umum didapati dari pa­da difteri naso­faring di Ero­pa. Difteri kutaneus le­bih ren­dah toksisitas, ulkus bia­sa­nya susah sembuh dengan mem­bran abu-abu dan kotor terutama pada al­koholisme, gay dan pemakaian obat (nar­koba), cenderung mani­fes­tasi ke neuritis daripada miokarditis.

Komplikasi pada difteri yang sa­ngat diwaspadai bila terjadi obstruksi pernafasan, meluas pada laring dan ba­tang trakhea-bronkhial, ter­utama pada anak-anak dika­renakan saluran pernafasan kecil. Miokarditis dan poli­neuropathi komplikasi lam­bat dari toksin difteri. Selama wabah dif­teri di Republik Kyrg di tahun 1999, mio­kar­ditis 22% dan polineuropahi 5% pada 656 penderita dif­teri yang dirawat di RS. Angka mortalitas sebesar 7% pada miokarditis dan 2% tanpa miokarditis. Rata-rata median kematian di RS se­kitar 4,5 hari. Miokarditis berhubungan dengan dis­rit­mia dan dilatasi kardio­mio­pathi. Komplikasi lainnya se­perti pneumonia, gagal gin­jal, encefalitis, infark cerebral, emboli paru dan serum sickness dari terapi antitok­sin.

Penegakkan diagnosa dif­teri ber­dasarkan gejala dan tanda klinis serta konfirmasi laboratorium. Difteri respira­torik perlu per­timbangan se­rius saat individu me­ng­alami sakit tenggorokan, eksudasi faring, dan demam, simptom lain se­perti suara serak, stridor dan paralisis palatum. Diagnosis laboratorium de­ngan kultur C.difteri atau toksigenik. Pada difteri kuta­neus menunjukkan lesi lokal dengan karakteristik histo­pa­tologis, dalam membedakan dari in­fek­si kulit lainnya. Isolasi C.di­phtheriae dengan pewarnaan gram dan kultur tenggorokan dari spe­si­men klinis dan histopatologis diag­no­sis pada difteri dengan pe­warnaan Albert.

Klasifikasi kasus difteri di bagi atas:

1. Probable: kasus kom­pa­tibel se­cara klinis, belum ter­konfirmasi la­bo­ratorium dan tidak secara epide­miologi de­ngan kasus konfirmasi la­boratorium.

2. Konfirmasi: kasus kom­patibel secara klinis, bersa­maan konfirmasi laboratori­um dan epidemiologi dengan kasus konfirmasi laborato­rium.

3. Carrier: individu positif kultur C.diptheriae, baik asimptomatis mau­pun simp­tomatis, tapi tidak mem­­­pu­nyai pseudomembran

Penatalaksaan pada difteri, di­utamakan preventif dan promotif de­ngan pemberian imunisasi sesuai jad­wal, imu­nisasi diusahakan leng­kap (tidak parsial) untuk menda­pat­kan titer antibodi difteri optimal, terutama pada nega­ra berkembang. Pemberian vak­sin difteri merupakan pro­gram dasar kesehatan WHO, ter­bukti lebih dari 90% kasus difteri me­nurun secara global di antara ta­hun 1980 dan 2000.

Tahun 1990 dan 1999, lebih dari 158.000 kasus dan 4000 kematian dilaporkan terjadi di Uni Soviet. Tiga ka­li vaksin difteri memberi­kan efek­tivitas 95%, efekti­vitas vaksin terse­but sekitar 10 tahun, setelah itu boos­ter vaksin difteri diperlukan. Vak­sin difteri sangat aman sekali dan efek samping tidak terbukti ber­makna. Ke­aman­an vaksin difteri teruji bila dibe­rikan pada kehamilan dan in­di­vidu yang mempu­nyai sis­tem imun rendah. Pemberian me­di­kamentosa tergantung derajat ringan be­­rat simptom dan tanda kli­nis dif­teri, mencakup pemberian antibiotik dan anti-toksin difteri.

()

Baca Juga

Rekomendasi